Kamis 29 Jan 2015 13:00 WIB

Inflasi 2015 Diprediksi Stabil

Red:

JAKARTA — Inflasi sepanjang 2015 diprediksi akan relatif stabil, yakni dalam kisaran 7,5-8,0 persen. Prediksi tersebut merupakan hasil riset yang dilakukan oleh PT Danareksa baru-baru ini.

Hasil riset itu juga memperlihatkan bahwa laju inflasi diperkirakan akan menurun tajam pada November 2015 dan menjadi kurang dari lima persen. Peneliti Danareksa Damhuri Nasution menuturkan, pada Januari 2015 inflasi bulanan masih berpotensi cukup tinggi mengingat faktor musim.

Hal tersebut, menurut Damhuri, ditunjukkan dari harga kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan cukup tinggi. "Terlebih, pemerintah tidak banyak melakukan upaya pengendalian kenaikan harga, seperti misalnya operasi pasar," ujarnya dalam seminar bertajuk "Prospek Ekonomi Indonesia 2015 dan Urgensi Pembangunan Infrastruktur" di Jakarta, Rabu (28/1).

Meskipun begitu, ia mengungkapkan, kenaikan harga diperkirakan akan terendam oleh penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan diikuti dengan penurunan tarif angkutan serta harga gas elpiji dan semen. "Dengan demikian, inflasi bulan ini diperkirakan sekitar 0,5 persen, lebih rendah dari inflasi bulan yang sama tahun lalu. Sehingga, inflasi tahunan pada Januari diperkirakan akan turun menjadi sekitar 7,7 persen," katanya.

Dari sisi eksternal, Damhuri melihat bahwa tekanan inflasi diperkirakan relatif terjaga. Penyebabnya, harga komoditas di pasar global diprediksikan akan relatif stabil sampai akhir 2015. Badan Energi Internasional (EIA) memperkirakan harga minyak mentah dunia pada tahun ini akan cenderung flat di kisaran 82-86 dolar AS per barel.

Riset ekonomi yang dilakukan Danareksa juga menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekonomi pascakenaikan harga BBM bersubsidi akan menyebabkan kenaikan tekanan inflasi yang diikuti pula oleh kenaikan suku bunga serta penurunan daya beli masyarakat dan investasi. "Dampaknya akan terjadi perlambatan aktivitas perekonomian secara keseluruhan," ujar Damhuri.

Karena itu, untuk meminimalkan dampak perlambatan tersebut, menurut Damhuri, pemerintah perlu menggulirkan kebijakan moneter dan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Otoritas moneter, ia mengungkapkan, diperkirakan akan mempertahankan suku bunga pada level yang relatif tinggi untuk mengendalikan inflasi dan menurunkan current account deficit ke level yang lebih terjaga.

Pada 2015 Bank Indonesia (BI) memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan tetap di atas tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB) karena gencarnya pembangunan infrastruktur akan menaikkan impor barang modal. "Dengan begitu, kondisi transaksi berjalan kita yang bagaimana masih defisit selama tiga tahun perlu dipertimbangkan," kata Gubernur BI Agus Martowardojo.

BI, Agus menyatakan, akan selalu memperhatikan kondisi pasar keuangan dan tetap fokus untuk menyesuaikan laju pertumbuhan dengan stabilitas perekonomian. "Tetapi, kita tidak ada menargetkan  nilai tukar tertentu. Itu hanya asumsi untuk menyimpan postur anggaran," ujar Agus.

Sebelumnya, pemerintah bersama Komisi XI DPR sepakat untuk menurunkan asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015. Sejumlah asumsi makro yang berubah selain kurs rupiah terhadap dolar AS, yakni pertumbuhan ekonomi dari usulan sebelumnya sebesar 5,8 persen menjadi 5,7 persen, tingkat inflasi 5,0 persen, dan suku bunga SPN tiga bulan sebesar 6,2 persen. c78/antara ed: Nidia Zuraya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement