Kamis 07 Aug 2014 12:00 WIB

Bank Bertekad Kurangi Risiko

Red:

JAKARTA — Bank Indonesia (BI) mengusulkan pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan bahwa bank boleh memiliki saham di sistem pembayaran. Perbankan menilai hal tersebut akan berpengaruh pada perkembangan ekonomi Indonesia.

Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Budi Gunadi Sadikin mengatakan, sudah seharusnya bank dapat memiliki saham di perusahaan yang bergerak di sistem pembayaran dan perusahaan penunjang di bidang sistem pembayaran. Di samping itu, dengan masuknya saham bank pada perusahaan sistem pembayaran maka risiko yang didapat bank dapat diminimalisasi. "Bank (juga) bisa diversifikasi pendapatan," ujar Budi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, dalam sistem pembayaran terdapat beberapa risiko, seperti settlement risk (risiko kegagalan penyelesaian), sovereignty risk (risiko kerugian karena potensi suatu negara gagal atau risiko tertinggi), dan counterparty risk (risiko akibat kegagalan pihak lawan. Budi mengatakan, risiko yang paling berbahaya, yakni risiko kedaulatan negara.

"Misalnya, Bank Mandiri mau transfer valas ke bank lain. Bank Mandiri harus transfer ke AS dulu. Kalau di sana sedang bermasalah dengan Indonesia, uangnya bisa tidak masuk ke Indonesia," katanya. Menurut Budi, alasan seperti itu yang menyebabkan bank sebaiknya memiliki perusahaan sistem pembayaran. "Sebaiknya, institusi yang pegang sistem pembayaran ini di Indonesia," ujarnya.

Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Ronald Waas mengatakan, BI telah mengusulkan penyertaan modal bank kepada perusahaan sistem pembayaran agar masuk ke RUU Perbankan. BI juga telah mengeluarkan aturan penyertaan modal bank kepada perusahaan sistem pembayaran dalam Peraturan BI (PBI) No 15/11/PBI/2013.

Selama ini, Ronald menjelaskan, bank hanya boleh memiliki saham di perusahaan-perusahaan keuangan. "Di UU baru kita coba untuk mengusulkan dia juga bisa punya saham di perusahaan yang menyediakan jasa untuk mendukung sistem pembayaran," katanya. Hal tersebut dilakukan karena ketergantungan pada layanan jasa di luar sektor keuangan semakin tinggi. "Itu kan menunjang operasional bank."

Selain itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menganggap pertumbuhan kenaikan bunga deposito sudah normal. Sebelumnya, bank di Tanah Air melakukan perang suku bunga karena likuiditas yang ketat.

Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pertumbuhan kredit yang sudah melambat menjadi alasan kembali normalnya pertumbuhan kenaikan bunga deposito. Ekspansi fiskal pemerintah juga diprediksikan meningkat pada kuartal III 2014 sehingga likuiditas perbankan melonggar. "Selama Juni-Juli ini, pertumbuhan kenaikan deposito sudah jauh lebih normal dibanding Januari ke Juni kemarin yang naik tajam," ujarnya.

Suku bunga deposito rupiah beberapa bank besar bervariasi. Suku bunga deposito rupiah BRI dengan nominal lebih dari Rp 1 miliar dengan jangka waktu tiga dan enam bulan 7,75 persen. PT Bank Mandiri Tbk memberikan bunga 7,5 persen dan 6,5 persen untuk deposito di atas Rp 1 miliar dengan tenor tiga dan enam bulan. BCA memberikan bunga 8,5 persen dan tujuh persen untuk deposito tenor tiga dan enam bulan dengan nominal Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.

Saat ini, bunga penjaminan LPS sebesar 7,75 persen untuk simpanan rupiah bank umum, 10,25 persen untuk simpanan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan 1,5 persen untuk simpanan valas bank umum. Kartika menjelaskan, LPS akan tetap menjaga 90 persen dari rekening yang ada. rep:satya festiani  ed: zaky al hamzah

***

Risiko Sistem Pembayaran

1. Settlement risk

2. Sovereignty risk

3. Counterparty risk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement