Senin 14 Jul 2014 12:00 WIB

Indonesia Masih Hadapi Risiko

Red:

BANDUNG -- Perekonomian Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang harus bisa diatasi pemerintahan baru. Bank Indonesia (BI) mencatat, sedikitnya ada empat risiko ekonomi yang bakal mengadang pertumbuhan dan perbaikan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, keempat risiko itu adalah risiko pelebaran defisit transaksi berjalan, risiko peningkatan perlambatan ekonomi, risiko inflasi, dan risiko defisit fiskal. Atas munculnya risiko-risiko ini, Juda menjelaskan, BI pun telah melakukan berbagai upaya untuk meredam atau meredakan risiko ini.

"Salah satunya, dengan mempertahankan BI Rate pada level 7,5 persen," kata Juda, akhir pekan ini. Kondisi ekonomi global yang masih belum stabil, menurut dia, menjadi salah satu sebab masih tersendatnya ekspor Indonesia. Apalagi, kecenderungan ekspor barang tambang terus turun dan belum menunjukkan adanya tren perbaikan hingga kuartal ketiga 2014 ini.

Pada sisi lain, impor minyak dan gas (migas) masih tinggi di tengah menurunnya impor nonmigas. Hal ini berdampak pada membuka kran lebih lebar bagi defisit transaksi berjalan. Dari sisi domestik, Juda memaparkan, konsumsi rumah tangga mulai termoderasi atau cenderung melemah. Sementara, investasi melambat di sektor properti. Memang, investasi nonbangunan trennya naik.

"Jadi, dari sisi domestik sudah melakukan penyesuaian yang menunjukkan adanya risiko perlambatan ekonomi," kata Juda. Demikian juga pada risiko inflasi dari gejolak harga pangan yang meningkat. Kenaikan juga terjadi pada inflasi produk-produk yang harganya diatur Pemerintah, seperti listrik, elpiji, dan ke depannya bahan bakar minyak (BBM).

BI mengasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih lambat pada 2014 dibandingkan setahun sebelumnya. Pada tahun ini BI memperkirakan pertumbuhan berada pada kisaran 5,1 sampai 5,5 persen, masih di bawah 2013 yang mencapai 5,8 persen.

Konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin pendorong pertumbuhan yang mencapai 5,6 persen atau lebih tinggi dari 2013 yang hanya 5,3 persen. Konsumsi Pemerintah malah turun dari 4,9 persen menjadi 3,6 persen, sementara ekspor barang dan jasa minus 0,8 persen.

Perlambatan ekonomi Indonesia juga sudah diperkirakan Dana Moneter Internasional (IMF), beberapa waktu lalu. Kondisi ekonomi global yang ditunjukkan dengan belum membaiknya ekonomi Amerika Serikat dan masih lambatnya pemulihan ekonomi Cina. Negara itu, saat ini, sedang melakukan program keseimbangan baru dalam ekonominya. Akibatnya, permintaan impor atas komoditas pun ikut turun.

Menko Perekonomian Chairul Tanjung (CT) mengungkapkan, melihat perkembangan ekonomi dan sejumlah risiko yang mungkin dihadapi oleh Indonesia, negara ini masih dapat bersaing dengan sejumlah negara tetangga. Terutama, ketika era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai direalisasikan.

MEA akan mulai diberlakukan mulai 1 Januari 2016. Meskipun kesiapan masih di bawah Singapura atau Malaysia, Indonesia termasuk negara yang siap menghadapi MEA dibandingkan negara ASEAN lain. "Dari penilaian yang telah dilakukan, skor stabilitas ekonomi Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam, Laos, dan Kamboja," jelasnya.

Menurut CT, Indonesia masih memiliki waktu yang cukup untuk meningkatkan berbagai lini. Jika tidak mampu mempersiapkan diri dengan baik, Indonesia hanya menjadi pasar dari barang-barang luar negeri. rep:elba damhuri/c88 ed: fitria andayani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement