Kamis 27 Oct 2016 14:00 WIB

Alat Deteksi Merkuri UGM Berjaya di Kanada

Red:

SLEMAN -- Alat deteksi merkuri karya mahasiswa UGM berhasil menyabet juara dalam ajang International Invention Innovation Competition Canada (ICAN) 2016 yang berlangsung di Toronto, Kanada. Alat yang dinamai Mercury Auto Detection System (MADS) ini memperoleh medali emas setelah mengalahkan puluhan pesaing dari negara lain.

MADS dikembangkan oleh lima mahasiswa fakultas teknik, yaitu Andy Aulia Prahardika, Al Birru Kausal, Luthfia Adila, I Made Wiryawan, dan Tirta Inovan. Alat ini dibuat karena keprihatinan mereka terhadap maraknya penjualan berbagai produk makanan, obat, serta kosmetik berbahan merkuri yang membahayakan kesehatan.

"Sebenarnya sudah ada alat deteksi merkuri pada makanan maupun obat, yakni sepktrofotometer serapan atom (AAS). Tetapi, dimensinya terlalu besar sehingga tidak bisa digunakan untuk pengujian di lapangan," ujar Andy Aulia dalam keterangan tertulis, Rabu (26/10).

Selain itu, kata Andy, harga alat tersebut pun mahal, yakni sekitar 15 ribu dolar AS atau sekitar Rp 200 juta. Karena itu, Andy dan kawan-kawan mencoba mengembangkan alat deteksi merkuri yang bersifat portabel dengan dimensi yang lebih kecil dari alat yang sudah ada.

Dengan begitu, alat ini pun dapat digunakan dalam proses pengujian bahan makanan saat sidak. Hasilnya pun dapat diketahui saat itu. Tidak hanya itu, MADS juga diproduksi dengan harga yang jauh lebih murah, yakni sekitar Rp 1 juta.

Adapun prinsip kerja alat ini hampir sama dengan spektofotometer. Larutan yang dijadikan objek pengujian ditembakkan oleh sinar monokromatik, kemudian akan diserap oleh detektor warna. Selanjutnya, warna yang diperoleh akan dideteksi dengan kriteria zat-zat yang ada. "Nantinya MADS tidak hanya bisa mendeteksi merkuri, tetapi juga bisa mendeteksi zat lain," kata Andy menjelaskan.

MADS sendiri lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) 2015 dan mendapatkan dana hibah penelitian dari Dirjen Dikti pada 2016. Hingga saat ini, MADS telah mengalami dua kali pengembangan dan kini tengah menjalani proses pengembangan ketiga.

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta lainnya juga menghasilkan penemuan soal efektivitas buah dan biji pare dalam membunuh jentik nyamuk demam berdarah dengue (DBD).

Mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Diyah Tri Utami menerangkan, dalam buah dan biji pare terkandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan terpenoid yang cukup tinggi. "Keempat senyawa itu memiliki kemampuan untuk membunuh jentik nyamuk," ungkap Diyah, Rabu (26/10).

Ia menuturkan, berbagai upaya pencegahan dilakukan guna meminimalkan munculnya DBD di masyarakat, salah satunya dengan pemberian abate. "Penggunaan larvasida kimia terbukti mampu mengendalikan jentik atau larva nyamuk Aedes aegypti. Namun, penggunaan secara terus-menerus dapat menimbulkan sejumlah efek samping, seperti menyebabkan resistensi, pencemaran lingkungan, serta persoalan kesehatan masyarakat karena efek karsinogenik dari abate," kata Diyah menerangkan.

Ia menambahkan, penggunaan buah dan biji pare dalam membunuh jentik nyamuk DBD terbukti efektif dalam memberantas perkembangbiakan nyamuk DBD. "Sekaligus, penggunaan buah dan biji pare meminimalisasi penggunaan bahan kimia dalam memberantas jentik nyamuk DBD. Termasuk di dalamnya, buah dan biji pare ramah lingkungan," ujar Diyah.      rep: Rizma Riyandi/antara, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement