Jumat 05 Feb 2016 15:00 WIB

Tayangan Berkualitas untuk Anak Minim

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA – Hak anak dalam penyiaran tayangan televisi semakin hari semakin terabaikan, yang ditandai dengan minimnya proporsi tayangan untuk anak di stasiun televisi saat ini. Hal itu makin diperparah dengan isi tayangan yang tidak ramah terhadap anak.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah Anshor menilai perlu adanya kanal atau program khusus anak dalam tayangan televisi. Menurut dia, hal itu penting agar anak mendapat tayangan yang sesuai dengan haknya sebagai anak.

"Selama ini nyaris tidak ada, yang ada hanya di TV pemerintah, itu pun kecil porsinya," kata Maria dalam diskusi "Perlindungan Anak Dalam Regulasi Penyiaran" di gedung Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Kamis (4/2).

Ia mengatakan, selama ini hampir seluruh tayangan berisi kekerasan, pornografi, dan mistis yang memengaruhi anak. Pemantauan KPAI, hampir semua kekerasan atau pelecehan seksual kepada anak disebabkan tayangan televisi. "Angkanya meningkat dari tahun ke tahun dan banyak karena pengaruh tontonan atau media lain selain TV," kata Maria.

Terlebih, kata Maria, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga tak begitu kentara dalam hal menghentikan tayangan tak ramah untuk anak. Oleh karena itu, penting untuk KPI untuk konsisten memberi teguran kepada tayangan yang diketahui melanggar ketentuan. "Memperkuat pemantauan dan pengawasan setiap penindakaan terhadap media yang melakukan pelanggaran pemberitaan atau tayangan tak ramah anak," katanya.

Selain itu, ia juga menekankan, ini juga yang perlu menjadi perhatian dalam merevisi UU Penyiaran, khususnya perlindungan bagi anak. "Enggak hanya KPI juga, tapi bagaimana pendekatan multisektor, ya, karena untuk mengubah kan harus sistemis, termasuk revisi UU penyiaran, ditekankan untuk tayangan perlidungan anak," kata dia.

Hal sama diungkapkan direktur lembaga riset media dan komunikasi Remotivi, Muhammad Heychael, yang menilai negara belum hadir dalam menyajikan tayangan ramah terhadap anak. Menurut dia, negara harus hadir dan memastikan bahwa penyiaran sebagai wilayah publik bukan privatisasi oleh kapitalisme pemilik modal. "Kan yang sekarang penyiaran itu privatisasi, bukan publik lagi, kaburnya batas publik dan privat," katanya.

Ia mengungkapkan, saat ini publik dipandang sebagai konsumen bukan lagi sebagai warga negara. Hal itu pun yang menurut dia terjadi pada tayangan penyiaran saat ini. "Kan aturannya enggak boleh kalau iklan lebih dari 20 persen dari tayangan, tapi sekarang kan lebih dari itu," ujarnya.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Azimah Subagijo membantah jika KPI dikatakan tidak melakukan penindakan kepada program-program tersebut. Menurut dia, KPI terus memantau tayangan yang dinilai melanggar ketentuan, lalu menindaklanjutinya. Memang, diakui Azimah, tindak lanjut tersebut terbatas sampai pada sanksi administratif, yakni penghentian sementara.

Menurut dia, meski sanksi paling berat penghentian tayangan tergolong menakutkan bagi pemilik program, ia menilai hal itu belum memberi efek jera kepada pemilik program tersebut. Nyatanya, meski telah ditegur, diperingati, dikurangi durasi sampai penghentian program, kadang masih disiasati oleh program tersebut untuk tetap tayang.

Hal ini berbeda dengan di luar negeri, yang mana sanksi denda juga diberlakukan untuk tayangan atau program acara yang melanggar. "Kami melihat ada efek jera lain dari efek denda itu karena dendanya cukup tinggi dan pasti mereka berpikir profit mereka akan turun jika mereka melakukannya," katanya.

Namun, ia mengatakan, saat ini KPI tidak memiliki porsi untuk memberlakukan sanksi denda tersebut. Pasalnya, belum ada regulasi terkait sanksi denda tersebut. n ed: erdy nasrul

Anggota Majelis Pustaka dan Informasi Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Edy Kuscahyanto mengatakan, saat ini sekolah Muhammadiyah dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama mulai menyediakan ruang bagi para siswa-siswinya untuk menuangkan kreativitasnya dengan cara menggarap dan memproduksi program atau tayangan kreatif.  Hal tersebut digiatkan, kata dia, karena stasiun televisi yang menayangkan program khusus atau ramah terhadap anak-anak semakin menyusut.

Ia mengungkapkan, saat ini Muhammadiyah sedang berupaya untuk menyediakan sarana dan ruang untuk para siswanya berkreativitas. "Kami berikan pelatihan-pelatihan agar mereka nantinya bisa memproduksi film-film kreatif untuk anak-anak," ucapnya kepada Republika seusai menghadiri seminar bertema "Perlindungan Anak dalam Regulasi Penyiaran", di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/2).

Dalam proses kegiatan, Edi menerangkan, para murid diarahkan untuk bisa mengonstruksi dan menampilkan tokoh anak-anak teladan. Tentu tokoh tersebut harus dibentuk dengan mempraktikkan nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. "Ini biar memperlihatkan bahwa ibadah atau shalat bukan hanya urusan orang tua atau orang dewasa, tapi juga anak-anak," tuturnya.

Edy mengatakan, para siswa Muhammadiyah cukup antusias dengan program ekstrakurikuler tersebut. "Responsnya luar biasa. Mereka seperti berlomba-lomba dalam mengikuti ini," jelasnya.

Kendati hanya dilaksanakan di lingkungan internal Muhammadiyah, Edy berharap, kegiatan-kegiatan serupa dapat ditiru oleh sekolah-sekolah lainnya. Dengan begitu, secara tidak langsung anak-anak akan diajarkan seperti apa tayangan yang pantas dan tidak pantas untuk dikonsumsi. rep: Fauziah Mursid, Lintar Satria c23 ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement