BOGOR – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan, urusan pemerintahan yang berkenaan dengan SMA/sederajat akan dialihkan ke provinsi. Hal ini secara nyata akan mulai dilaksanakan pada Januari 2017.
Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Disdakmen) Kemendikbud, Haryono, menjelaskan, pengalihan ini berdasarkan perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Isi UU ini telah direvisi menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
Menurut Haryono, pada UU sebelumnya disebutkan bahwa urusan SMA/sederajat ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. "Kemudian dengan adanya perevisian UU tersebut, urusan tersebut pun dialihkan ke pemerintah provinsi," kata Haryono dalam Diskusi Kebijakan Kemendikbud bersama wartawan, di Bogor, Rabu (16/12) malam.
Haryono menerangkan, saat ini UU tersebut memang masih dalam proses pembuatan agar dasar hukumnya semakin kuat untuk diterapkan nanti. Penerapan secara serentak UU ini, kata Haryono, akan mulai dilaksanakan awal Januari 2017.
Mengenai UU tersebut, Haryono menjelaskan, aturan itu telah diperkuat dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/sj Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan. Surat ini muncul setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang tertanggal pada 16 januari 2015.
Kemendikbud juga menanggapi aturan itu dengan mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 3603/d/dm/2015 tentang pengelolaan pendidikan menengah. Surat ini terbit setelah penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang tertanggal pada 24 agustus 2015.
Sementara itu, Kepala Badan Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BLKM) Kemendikbud Asianto Sinambela mengakui, penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki potensi tarik-menarik. Hal ini terutama terjadi antara pemerintahan kabupaten/kota dan provinsi. Melihat ada potensi tarik-menarik tersebut akan terus terjadi, Kemendikbud tengah berupaya mendikskusikan hal ini dengan pemerintahan daerah lainnya.
Menurut Asianto, diskusi itu sangat penting dilakukan karena mereka harus mengetahui betul implementasi UU tersebut ketika diterapkan pada 2017 mendatang. Dengan begitu, dia melanjutkan, keributan akibat kurang siapnya pemerintah daerah terkait hal ini dapat dihindari.
Menumpang
Sementara itu, Dewan Pendidikan Kabupaten Tangerang, Banten, menginventarisasi dan menemukan sekitar 10 persen sekolah di daerah tersebut masih menumpang pada gedung pihak lain. Hal itu membuat sekolah rawan digugat. "Ini membuktikan pemerintah daerah lamban dalam mengurus administrasi kepemilikan lahan sekolah," kata Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tangerang Eny Suhaeni.
Eny mengatakan, keberadaan sekolah itu masih berada di lahan milik orang lain. Artinya, sekolah tersebut belum mempunyai kekuatan hukum berupa surat pembelian atau pengurusan sertifikat. Bahkan, ada sekolah yang sudah dihibahkan oleh ahli waris tetapi tidak memiliki sertifikat atau surat lain sebagai bukti.
Menurut dia, pihaknya berpatokan pada kasus SD Negeri Panongan II, Kecamatan Panongan, yang digugat oleh ahli waris lalu kalah di Pengadilan Tangerang dan di Pengadilan Tinggi Banten. Sedangkan, Pemerintah Kabupaten Tangerang harus membayar ganti rugi seperti diamanatkan putusan hakim pengadilan karena ahli waris sebagai pengugat berhak atas kepemilihan lahan yang dijadikan sekolah itu.
Namun, sekolah yang rawan digugat tersebut mayoritas adalah SD dan SMP karena tidak memiliki administrasi kepemilikan lahan dan bangunan. Bila sekolah tidak ada bukti tertulis sebagai pendukung kepemilikan tanah, maka ada celah bagi ahli waris untuk menggugat meski lahan tersebut telah diwakafkan orang tuanya. N c13/antara ed: muhammad hafil