Senin 30 Nov 2015 13:00 WIB

147 Anak Kerja di Tambang

Red:

KLATEN -- Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Klaten, Jateng, menemukan 147 anak usia sekolah bekerja pada sektor pertambangan. Mereka bekerja sebagai buruh tambang bahan galian golongan C, atau pasir batu di kaki lereng Gunung Merapi.

Pihak Dinsosnakertrans berusaha dan terus mencoba mengajak 147 anak tersebut agar bersedia kembali ke sekolah. "Mereka di bawah pembinaan kami, sehingga kembali ke bangku sekolah," kata Sugeng Haryanto, Kadinsosnakertrans Kabupaten Klaten, Sabtu (28/11).

Menurut Sugeng, anak sebanyak itu bekerja pada sektor pertambangan. Sentra tambang bahan galian golongan C tersebar di sejumlah wilayah. Seperti, Kecamatan Kemalang, Kecamatan Karangnongko, dan Kecamatan Manistrenggo.

Pembinaan terhadap mereka terus dilakukan. "Alhamdulillah, mereka sadar. Dan, bersedia kembali ke bangku sekolah," kata Sugeng. Mereka rata-rata masih sekolah dibangku SD dan SMP.

Jajaran Dinsosnakertrans prihatin atas kondisi anak di bawah umur yang turut bekerja pada sektor pertambangan. Selama ini, mereka masih berstatus atau tercatat sebagai pelajar. Hanya saja, mereka tidak aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Namun, mereka malah masuk sekolah saat ujian semester dan ujian kenaikan kelas.

Sugeng menjelaskan, 147 anak itu tersebar di tiga kecamatan, yakni Kemalang, Manisrenggo, dan Karangnongko. Mereka rata-rata bekerja sebagai buruh yang meratakan pasir, menaikkan pasir atau batu split ke atas bak truk, atau buruh borongan pemecah batu split.

Menurut Sugeng, salah satu alasan anak-anak tersebut bekerja, yaitu membantu perekonomian keluarga. "Dasar namanya masih anak-anak, sudah seneng kalau pegang uang. Makanya, mereka lebih senang bekerja ketimbang sekolah. Kalau sekolah, tidak pernah pegang uang."

Sugeng mengatakan, tingkat pendidikan mereka ada yang masih SD dan SMP. Untuk pembinaan dilakukan pelan-pelan, agar mereka mau kembali belajar di sekolah. Hal ini perlu melibatkan banyak pihak. Seperti, tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa, RT/RW, hingga dinas terkait.

Selain 147 pekerja anak yang membutuhkan pembinaan, 150 anak dari keluarga tak mampu tercatat mendapat bantuan pendidikan. Dalam sebulan, masing-masing anak tersebut mendapat bantuan senilai Rp 100.000.

Tetapi, dari 150 anak itu, baru sekitar 80 persen yang mendapat bantuan. Dalam pemberian bantuan ini, telah dilakukan pengecekan apakah mereka memang benar-benar aktif sekolah atau tidak.

Kepala Bidang (Kabid) Tenaga Kerja Dinsosnakertrans Kusnin mengatakan, 150 anak itu sebelumnya dalam kondisi putus sekolah. Kemudian, mereka diminta melanjutkan pendidikan. Bantuan diberikan sebesar Rp 100.000 per bulan. Kalau ternyata bantuan itu tidak digunakan untuk pendidikan, 90 dari 150 anak akan melanjutkan pendidikan melalui Kejar Paket A, B, dan C.

Sumber di Dinas Pendidikan menyebutkan, jumlah anak pekerja tercatat 400 anak. Mereka tidak aktif dalam proses belajar-mengajar. Untuk itu, jumlah anak sebanyak ini musti dientaskan, agar mereka bersedia masuk sekolah kembali.

Dinsosnakertrans mendapat suntikan dana Rp 600 juta dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengentaskan 150 anak tersebut. Selebihnya, anak belum dapat dientaskan karena belum ada alokasi dana.

Dana yang disediakan tersebut, di antaranya untuk biaya makan 150 anak, membeli fasilitas selama kegiatan berlangsung, serta honor pendamping. Untuk menutup semua kebutuhan itu, Dinsosnakertrans terpaksa menanggung utang hingga ratusan juta kepada berbagai pihak yang diajak bekerja sama dalam program itu.

"Kami terpaksa utang kepada pihak yang diajak kerja sama dalam kegiatan ini. Termasuk, honor pendamping anak-anak selama sebulan. Sebab, hingga saat ini belum ada kejelasan turun sisa dana dari pusat," kata Sugeng menambahkan. ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement