Rabu 25 Nov 2015 14:00 WIB
HARI GURU NASIONAL-

Indonesia Butuh Guru Pendidik

Red:

Tanggal 25 November adalah hari istimewa bagi guru di Indonesia. Pemerintah telah menetapkan 25 November sebagai Hari Guru Nasional. Dari zaman ke zaman, guru telah memainkan peran yang sangat penting bagi bangsa ini. Di tangan para guru, anak-anak bangsa dididik untuk menjadi generasi penerus yang memiliki daya saing dan berkarakter.

Tantangan zaman yang terus berubah membuat para guru harus terus berbenah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, guru pada abad ke-21 bukan hanya sekadar pengajar, melainkan juga pembelajar. Tantangan ke depan, tegas Anies, guru harus mau menjadi pembelajar seumur hidup bukan hanya sekadar pengajar.

"Proses belajar mengajar saat ini adalah bagaimana menyiapkan anak-anak abad ke-21. Masalahnya gurunya abad ke-20, yang bersekolah pada abad ke-19," ujar Mendikbud usai acara penyerahan penghargaan Guru dan Tenaga Kependidikan Berprestasi dan Berdedikasi di Jakarta, akhir pekan lalu.

 

Saat ini, berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), jumlah guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) mencapai 1.765.410 orang atau 40,35 persen dari total PNS di republik ini. Di tengah persaingan global yang semakin ketat, kualitas dan kuantitas guru di Indonesia dinilai masih belum ideal.

Kualitas guru Indonesia saat ini beragam, ada yang berkualitas bagus dan ada pula yang rendah. Pengamat pendidikan nasional Darmaningtyas menegaskan, para guru di Indonesia harus terus dipacu untuk belajar.

Menurut dia, jika guru sudah berhenti belajar, sesungguhnya profesi guru itu sudah mati. "Guru harus dipacu untuk memiliki semangat yang tinggi. Kalau guru sudah berhenti belajar, sesungguhnya profesi guru itu sudah mati," kata pengamat asal Yogyakarta itu kepada Republika.

Seorang guru yang sebenarnya, kata dia, adalah guru yang terus belajar dan mencari hal yang baru untuk diberikan kepada murid-muridnya. Walaupun, kualitas guru tersebut juga bergantung pada kondisi wilayahnya, seperti infrastruktur, transportasi, dan telekomunikasinya. "Jika listriknya jelek, ya mungkin susah mendapat guru-guru yang bagus, yang ter-update oleh informasi," kata pria kelahiran 9 September 1962 itu menegaskan.

Dalam pandangan pengamat pendidikan nasional, Andreas Tambah, rendahnya kualitas guru di Indonesia karena selama ini paradigma lama masih melekat pada guru-guru saat ini. Tidak sedikit dari guru-guru tersebut yang masih menggunakan paradigma lama dalam menerapkan kurikulum.

Ia mencontohkan, Kurikulum 2013 merupakan sebuah pembelajaran yang menekankan pada aspek afektif atau perubahan perilaku. Kompetensi yang ingin dicapai adalah kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, di samping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan.

"Masih mengikuti paradigma lama sehingga sulit untuk mengikuti perkembangan pendidikan yang sekarang. Karena itu, pelatihan untuk guru harus ditingkatkan lagi," kata Andreas saat dihubungi Republika.

Pengamat dari Universitas Paramadina tersebut menambahkan, memang sulit untuk mengubah paradigma guru Indonesia. Menurut dia, di negara Irlandia saja untuk meningkatkan kualitas guru membutuhkan waktu selama tiga tahun dengan pelatihan secara intensif.

"Saya optimis guru Indonesia bisa lebih baik lagi. Tapi, perhatian pemerintah dalam hal meningkat kualitas guru harus serius, tidak sekadar pelatihan-pelatihan saja," katanya menegaskan. Ia menilai, selama ini pelatihan-pelatihan yang diberikan pemerintah masih kurang terarah.

Dia mengungkapkan, inti pelatihan tersebut kadang-kadang juga tidak sesuai dengan kebutuhan seorang guru. "Yang melatih kurang profesional sehingga penyampaiannya ke guru tidak efektif," ucapnya.

Ia menambahkan, sosok guru ideal adalah guru yang bukan hanya sebagai pengajar, melainkan juga sebagai pendidik. Pendidik berbeda dengan pengajar. Menurutnya, kalau pendidik itu menyangkut pengembangan karakter dari peserta didik. "Sayangnya, sekarang ini peran guru sebagai pendidik mulai berkurang karena banyak hal yang memengaruhi independensi guru," ujar Andreas.

Asep Sapa'at, pemerhati karakter guru yang juga Co-Founder Character Building Indonesia, berpendapat, kebijakan pendidikan Indonesia masih menitikberatkan pada peningkatan kompetensi semata. Soal peningkatan kompetensi guru, misalnya, sudah banyak dilakukan dengan segala keterbatasannya.

"Gelaran seminar, pelatihan, workshop, dan beasiswa guru sudah menjamur di mana-mana. Sayang, bagaimana cara meneguhkan karakter pendidik (jujur, disiplin, tanggung jawab, dsb) pada diri seorang guru belum bahkan (takutnya) tak terpikirkan oleh para pengambil kebijakan," katanya menegaskan.

Kompetensi, kata dia, bagaikan mendirikan tangga. Tetapi, karakterlah yang menentukan apakah tangga itu bersandar di tempat yang tepat. Menurut dia, guru kompeten (mungkin) banyak. "Siapa bisa jawab, berapa banyak guru berkarakter? Karakter tak bisa diajarkan, tapi harus dilatih dan dibiasakan dalam tempaan ujian kehidupan," ungkapnya.

Idealnya, kata dia, setiap kebijakan terkait profesi guru mesti meningkatkan kompetensi dan memperkokoh fondasi karakter guru secara terintegrasi dan berkesinambungan. Menurut Asep, hak hidup guru dicukupi dan guru didukung infrastruktur kebijakan yang kondusif terhadap pelaksanaan segenap tanggung jawabnya.

"Satu tak boleh dilupa, perilaku elite pengambil kebijakan harus bisa tunjukkan keteladanan. Jika program kerja pemerintah masih berbasis proyek dan korup, apa yang bisa diharapkan guru dari sistem dan para pemimpinnya yang tak berkarakter?" ujarnya. n c39/c13

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement