Jumat 24 Oct 2014 13:30 WIB

guru menulis- Menyiasati ‘Krisis’ Buku Teks Pelajaran

Red:

Baru-baru ini sebuah buku paket pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga Kesehatan di Bandung dan beberapa kota lainnya menuai protes dari pelbagai pihak. Pasalnya, dalam buku tersebut memuat materi memahami dampak seks bebas. Meskipun sebenarnya yang mengundang protes, yakni ilustrasi bukunya, gambar itu menunjukkan contoh pacaran sehat.

Mundur sedikit ditemukan pula  buku teks pelajaran yang juga menuai kritik karena dianggap memuat ajaran radikal. Yaitu, buku Sejarah Kebudayaan Islam kelas VII Kurikulum 2013 untuk pedoman guru. Buku ini akhirnya ditarik dari peredaran dan akan direvisi oleh Depertemen Madrasah Kemenag selaku instansi yang menerbitkan buku.

Sebelum meruyaknya kontroversi buku SKI pedoman guru itu, penulis artikel ini juga menemukan paham radikal pada buku pelajaran lain meski tidak pada semua bab. Tepatnya pada buku paket mata pelajaran Fikih berjudul Mendalami Fikih 2 yang menjadi pegangan belajar siswa kelas XII MA Program keagamaan. Buku ini diterbitkan oleh swasta.

Kali ini bukan buku pedoman guru, melainkan buku paket pedoman siswa. Juga sudah jamak kesan dari banyak kalangan bahwa umumnya buku-buku teks pelajaran itu isinya menjemukan ketika dibaca. Asumsi ini tentu tidak menggeneralisasi bahwa semua buku teks pelajaran kurang baik mutunya. Bagaimanapun, terdapat buku-buku teks pelajaran yang disusun dengan cukup layak untuk dijadikan rujukan belajar para siswa.  

Jika pengajar hanya membatasi sumber teks belajar siswa pada buku paket atau teks pelajaran, itu jelas kurang memadai. Guru sudah semestinya meluaskan cakupan media belajar lain selain buku teks pelajaran. Alternatif yang dapat dipilih, di antaranya menugaskan siswa membiasakan mengkliping artikel yang bersumber dari koran, majalah, dan buku umum. Mereka diperintahkan agar memilah dan memilih artikel yang sesuai atau setidaknya ada kaitan dengan materi yang dipelajarinya. 

Tradisi mengkliping artikel ini bisa memberi nilai plus pada siswa. Antara lain, secara tidak langsung siswa dapat mengenal karakter media massa, mendapatkan cakrawala wawasan yang lebih variatif, menyadari pentingnya dokumentasi tulisan, dan merangsang siswa untuk juga menulis.

Sudah barang tentu praktik di atas menuntut tiap-tiap satuan pendidikan atau sekolah memiliki perpustakaan yang representatif. Karena itu, sekolah harus selalu berusaha memperbanyak koleksi daftar bahan bacaan di perpustakaan sekolahan. Selain buku-buku paket pelajaran, perpustakaan sekolah haruslah melengkapi buku-buku nonpaket pelajaran, seperti buku-buku sastra yang bermutu, buku-buku karya para penulis besar baik dalam negeri atau luar negeri, juga enslikopedi, kamus, serta tidak kalah pentingnya, yakni berlangganan koran dan majalah.

Lalu, bagaimana dengan pengayaan materi mata pelajaran yang diakses dari internet? Menolak pemanfaatan akses internet merupakan sikap yang kontraproduktif, tapi menggunakan internet secara permisif tanpa menyeleksi siapa penulis dan dari mana sumbernya juga tindakan konyol.

Jika siswa mengakses internet demi mencari bahan dan materi tambahan yang belum ada di dalam buku teks pelajaran, guru haruslah mendampingi dan mengarahkan pencarian materi yang dapat dipertanggungjawabkan dari internet.  N

M Haromain,

Guru Madrasah An-Nur, Wonosobo, Jawa Tengah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement