Jumat 08 Apr 2016 11:00 WIB

Membedah Al-Hikam dari Mahaguru Ulama Nusantara

Red:

Judul: Syarah Al-Hikam

Penulis: KH Sholeh Darat (1820-1903)

Penerbit: Sahifa

Cetakan: I, Januari 2016

Tebal: 348 hlm

Kitab Al-Hikam sudah tidak asing lagi di telinga umat Islam karena kitab karangan Syekh Ibnu 'Atha'illah al-Iskandary itu merupakan karya monumental yang telah memancarkan keindahan spiritualitas dalam agama Islam.

Di kalangan para santri, kitab ini telah sangat dikenal, bahkan ada yang menyebut kefenomenalan kitab ini setara dengan karya besar Imam Al-Ghazali, yaitu Ihya Ulumuddinn. Hikmah dan nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya bukan saja enak diresapi, melainkan juga kaya makna.

Sejak dituliskannya pada 1868, sudah puluhan ulama yang turut andil dalam memberikan penjelasan, komentar, dan catatan perinci tentang kitab klasik ini. Salah satu ulama yang mencoba memberikan penjelasan terhadap kitab fenomenal ini adalah KH Sholeh Darat. Mahaguru para ulama nusantara tersebut menulis syarah Al-Hikam dengan bahasa yang mudah dipahami pada masanya, yaitu dengan bahasa Jawa beraksara Arab pegon. Hal ini diupayakan agar pembacanya saat itu, terutama kalangan awam, tidak keliru dalam memahaminya.

Kiai Sholeh Darat mengatakan, pada awal tulisannya, bahwa penerjemahan kitab Al-Hikam ini dimulai pada 1928 Hijriyah. Dalam buku ini, ia menulis syarah Al-Hikam mulai dari syarah hikmah ke-1 sampai syarah hikmah ke-137. Ia hanya berharap buku ini bermanfaat bagi segenap kaum Muslimin, khususnya kaum Muslimin di Indonesia.

Kiai Sholeh atau yang dikenal dengan Mbah Sholeh ini bernama lengkap Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani. Kiai Sholeh dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Maying, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820 Masehi. Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Mbah Sholeh adalah pendiri NU Kiai Hasyim Asy'ari dan pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan.

Kehadiran buku baru terbitan Sahifaini menerjemahkan ulang gagasan Kiai Sholeh Darat ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga, khazanah keilmuan di dalamnya dapat dipetik secara lebih luas. Selain itu, untuk melestarikan khazanah kitab turats ulama nusantara, buku ini juga mencantumkan teks pegon aslinya yang ditulis Kiai Sholeh.

Buku Al-Hikam karya Ibnu Athaillah ditulis dengan sangat sederhana karena tidak ada ratusan lembar halaman dan tidak juga berjilid-jilid. Sekilas mungkin banyak orang yang akan menganggap remeh kitab ini. Tapi, jika Anda menyelaminya lebih dalam maka akan dapat menemukan banyak mutiara kehidupan.

Kitab Al-Hikam menjabarkan secara runtut dan teliti tentang rintangan perjalanan bagi hamba untuk menuju Tuhannya, sekaligus juga dibahas cara menyelesaikannya. Keindahan dan kesederhanaan kata, diksi, dan kalimat demi kalimat dalam Al-Hikam menunjukkan jati diri Ibnu Athaillah yang merupakan seorang tokoh sufi, fikih, filsuf, juga ahli sastra terkemuka.

Karena itu, dalam pengantarnya, KH Said Aqil Siraj mengatakan bahwa tidak heran jika ada yang berkata bahwa Al-Hikam adalah referensi utama setelah Alquran dan hadis yang bisa memandu orang awam untuk mengerti hakikat kehidupan manusia.

Saat ini, keterbukaan dunia lewat media sosial telah banyak menimbulkan bertebarnya fitnah dan caci maki. Kita juga tidak bisa menyangkal bahwa kecintaan terhadap keduniawian masih menjadi moto dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian dari kita bahkan tidak sedikit yang lupa terhadap arti akhlakul karimah, tawadhu, husnuzhan, dan takwa.

Seperti dalam salah satu renungan dari Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam, hikmah ke 41, yang berbunyi: "Sesungguhnya mengherankan, seseorang lari (menjauh) dari apa yang dia tidak bisa terlepas darinya dan malah mencari apa yang tidak kekal baginya." (Ibnu Athaillah/Kairo: 1980, hlm 8).

Ajaran semacam itulah yang coba dijelaskan kembali oleh Mbah Sholeh dalam buku ini. Sehingga, umat Islam tidak buta terhadap dunia. Oleh karena itu, upaya penerbitan kitab-kitab klasik karya ulama nusantara sangat patut untuk digalakkan kembali. Apalagi, seperti yang diketahui, kualitas kitab-kitab ulama nusantara pada awal abad 20 telah diakui oleh kalangan umat Islam di dunia.

Buku ini sangat cocok untuk dijadikan referensi di perguruan tinggi maupun sebagai panduan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak hanya itu, buku ini juga bisa menjadi obat bagi kita yang merindukan ketenangan batin dan dahaga spiritual di tengah rutinitas pekerjaan di kota yang kian gemerlap.  c39, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement