Kamis 24 Mar 2016 18:00 WIB

Menjadi Muslim Cinta Lingkungan

Red:

Bulan Februari hingga April menjadi momen peringatan kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup. Dari Hari Sampah Nasional, Earth Hour, Hari Air, Hari Hutan se-Dunia, hingga Hari Bumi diperingati pada bulan-bulan tersebut. Momen ini hendaknya menjadi masa introspeksi, sejauh mana kaum Muslim peduli terhadap upaya-upaya pelestarian alam dan lingkungan.

Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) Ali Yusuf mengatakan, Islam mempunyai perhatian besar terhadap lingkungan hidup. Hal ini tercantum dalam firman-firman Allah SWT yang secara khusus memuat perintah dan larangan tentang itu.

"Ada tak kurang dari 40 ayat yang berisi perintah kepada manusia untuk menjaga alam dan mencegah kerusakan di muka bumi. Dalam Alquran jelas alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia," ujar dia saat dihubungi Republika, Selasa (22/3).

Alam, kata Ali, tak hanya menjadi tempat hidup, tapi juga sumber kehidupan bagi manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa adanya sumber-sumber energi yang disediakan oleh Allah SWT di alam semesta. Karena itu, perintah untuk menjaga dan mencegah kerusakan alam diatur dengan sangat tegas. Dalam Islam, melestarikan lingkungan juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah SWT.

Dalam pelaksanaannya, respons manusia terhadap perintah Allah SWT amat beragam. Walau telah dilarang dengan tegas, ada saja oknum-oknum manusia yang membuat kerusakan. Kehadiran agama mengingatkan kembali manusia untuk memelihara lingkungan. "Itu kan untuk kebutuhan manusia itu sendiri," ujar dia.

Sebagai salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam yang berkembang di Indonesia, PBNU mempunyai kewajiban untuk turun tangan langsung dalam upaya-upaya pelestarian alam dan pencegahan kerusakan. LPBI NU dibentuk atas dasar keprihatinan akan semakin banyaknya kerusakan yang terjadi di bumi, terutama di Indonesia.

Ali berpendapat, kerusakan lingkungan di Indonesia semakin lama semakin parah. Ini merata di semua daerah. Bukti nyata dapat dilihat dari semakin banyaknya bencana ekologis yang terjadi, seperti banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya.

Perubahan iklim menjadi salah satu isu yang menjadi perhatian bagi LPBI NU. Sayangnya, isu ini masih dirasa cukup elitis. "Ini isu yang cukup ilmiah. Masyarakat agak susah memahami perubahan iklim, dampaknya, dan apa yang harus dilakukan. Bahasanya masih bahasa langit," ujar dia.

Selain perlu disampaikan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, pendekatan terhadap isu-isu ini seharusnya dilaksanakan secara lebih praktis. Kesamaan pola pikir antara lembaga dan masyarakat menjadi dasar untuk dapat bergerak pada tataran ini.

Dalam isu perubahan iklim, LPBI NU sering kali mengadakan diskusi dan berbagi pendapat dengan masyarakat, terutama kalangan tua. Diskusi ini bertujuan membangkitkan kembali ingatan mereka agar melihat perubahan yang terjadi 10 hingga 20 tahun terakhir.

Setelah ada kesamaan persepsi, para orang tua ini diajak untuk membuat rencana dan melaksanakan upaya pelestarian lingkungan sesuai dengan kapasitas mereka. Diawali dengan isu-isu ringan, secara bertahap mereka diajak untuk memahami isu-isu yang lebih serius yang mengarah pada perubahan iklim.

Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Muhjidin menambahkan, pendidikan lingkungan hidup perlu didasari dengan landasan keagamaan, selain didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ini sangat penting, terutama untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap lingkungan dan alam semesta.

Menurut Muhjidin, pandangan Islam tentang lingkungan hidup sudah sangat jelas. Menjaga lingkungan dan memelihara alam, kata Muhjidin, hukumnya wajib karena manusia sudah dipilih Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi.

"Peran itu mestinya, Muslim mampu merepresentasikan sifat-sifat Tuhan dalam menjaga lingkungan. Misalnya, ar-Rob al-alamin," ujar Muhjidin saat dihubungi Republika, Selasa (22/3).

Selain menjaga alam, Islam juga melarang manusia merusak lingkungan. Manusia dilarang untuk berbuat kerusakan dan kefasikan terhadap apa yang telah dipelihara oleh Allah SWT.

Sayangnya, pandangan Islam yang mulia ini terdistorsi oleh berbagai pandangan lain, misalnya, antroposentris. Menurut Muhjidin, paham antroposentris menempatkan manusia sebagai penguasa alam. Padahal, perkara penguasaan alam ini juga telah diatur dalam Islam.

"Islam mengajarkan, penguasaan alam dibenarkan jika bertujuan untuk memenuhi hajat hidup bukan sekadar untuk menguasai," kata Muhjidin.

Penguasaan alam tersebut diikuti dengan serangkaian konsekuensi, yaitu memanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan memelihara agar fungsi alam dapat dirasakan secara berkelanjutan. Karena itu, dikenal adanya konsep konservasi lingkungan hidup.

Landasan teologis ini diterjemahkan dalam segenap perilaku praktis yang disebut dengan akhlak lingkungan melalui pendidikan lingkungan. Sikap ini tercermin dalam langkah-langkah sederhana, misalnya, menjaga kebersihan, membuang sampah pada tempatnya, dan sebagainya.

Akhlak lingkungan akan terwujud dengan adanya perubahan cara pandang. Di sinilah landasan teologis berperan. "Karena itu, butuh proses panjang. Tidak semudah membalik telapak tangan," ujar dia.

Muhammadiyah menggagas pendidikan lingkungan hidup sebagai kegiatan dakwah lingkungan. Upaya ini dilakukan mulai dari tingkat taman kanan-kanak hingga perguruan tinggi. Pendekatan yang digunakan tentu berbeda-beda. "Ada kelompok masyarakat tertentu yang memerlukan pendekatan praktis, ada yang perlu pendekatan ilmiah, teologis, filosofis itu tadi," kata dia. 

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Hamamain, Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Haji Hasanain Juwaini, menyebut aksi nyata penghijauan yang dilakukan pesantrennya adalah buah amal dari nilai Alquran.

"Alqurna meminta kamu memakmurkan bumi, menjaga bumi, sebegitu kuat ajaran Islam untuk kehidupan sosial, dan ini belum terangkat di dunia pesantren, seharusnya pesantren menjadi pionir dalam bidang lingkungan," ujar peraih Tokoh Perubahan Republika 2015 ini.

Ia menyebut bumi saat ini sudah amat rusak. Perhitungannya ada 33 juta hektar lahan kritis di Indonesia. Itu artinya jika bangsa Indonesia ingin menyembuhkan lahan kritis yang ada, memerlukan 33 miliar pohon.

"Kalau setengahnya itu 48 miliar ditanam, Kalau satu miliar setahun, itu butuh waktu 50 tahun untuk selesaikan masalah," ujar Tuan Guru Hasanain.

Tidak sampai disitu, dalam risetk kecilnya setiap orang dalam hidupnya menghabiskan 127 batang pohon sehari untuk kebutuhan hidupnya. Itu artinya, setiap orang yang hidup harus bisa menanam 127 batang pohon sebagai ganti dari yang dipakainya.

Hal itulah yang mendasari dirinya bersama segenap santrinya berupaya menyelamatkan lahan kritis di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan harapan, hal itu juga dilakukan di tempat lainnya. Oleh Sri Handayani, Fauziah Mursid ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement