Jumat 15 Jan 2016 11:00 WIB

Prof Jimly Asshiddiqie: Sikapi MEA dengan Positif

Red:

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjanjikan peluang sekaligus ancaman. Umat Islam yang punya kesiapan dan suka tantangan tentu akan akan bertahan. Sedangkan mereka yang hanya bisa menyalahkan ini dan itu, tak akan bisa mengambil manfaat dengan optimal.

Hal inilah yang dipesankan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, MEA sebuah tantangan besar yang jika disikapi dengan bijak akan menciptakan peluang baik dalam kehidupan. "Kita harus berpikir positif untuk menerima MEA ini sebagai realitas," jelasnya. Berikut petikan wawancara selengkapnya dengan wartawan Republika, Hannan Putra.

Bagaimana umat Islam Indonesia harus memandang MEA?

MEA sudah jadi keputusan. Kita tidak bisa lagi mundur. Pertama kita mengikatkan diri sebagai negara. Kedua kenyataan ekonomi dan budaya memang tidak bisa dibendung. Karena arus barang, jasa, serta informasi sudah secara dinamis beredar di Asia Tenggara.

Kita harus berpikir positif untuk menerima MEA ini sebagai realitas dan dihubungkan dengan sejarah di masa lalu. Memang kawasan ini satu kawasan. Pusat peradaban Nusantara di zamannya dulu menjadi satu kesatuan. Kerajaan besar pertama yang kita miliki Sriwijaya, justru melingkupi Asia Tenggara. Thailand dan Kamboja, itu bagian dari wilayah Nusantara.

Selain itu, dari segi kebudayaan, anggota MEA adalah bangsa Melayu yang erat kaitannya dengan umat Islam. Kemelayuan itu lengket dengan ajaran Islam. Sebutlah orang Melayu di Pulau Kokos. Ketika Bangsa Portugis datang, mereka memberi nama pulau itu dengan Crismas Island. Padahal di sana itu orang Melayu dan agamanya Islam.

Ini soal perbenturan peradaban yang pernah terjadi dulu. Tapi perlu kita pahami wilayah Asia Tenggara ini adalah wilayahnya bangsa Melayu yang identik dengan Islam. Dengan adanya MEA ini, kita bisa menghidupkan kembali semangat Melayu yang akrab dengan keislaman di masa lalu untuk perkembangan Islam dan peradaban Nusantara di masa depan.

Kita tinggal sekarang ini di Melayu Indonesia. Sekarang memang kita tidak bisa menyebut hanya Melayu. Karena Indonesia jauh lebih kompleks dari sekedar Melayu. Orang NTT dan Papua mungkin tidak tepat kalau kita sebut Melayu. Dari segi latar belakang sejarahnya berbeda. Jadi orang Indonesia bukan hanya Melayu.

Sekiranya bangsa kita dan umat Islam berpikir positif menghadapi MEA dan tidak perlu ada ketakutan. Menghadapi MEA harus dihadapi dengan kebesaran hati dan jiwa, lalu optimisme yang direalisasikan dengan keinginan untuk mengambil peran yang lebih produktif.

Apa kekuatan umat saat MEA datang?

Kawasan Asia Tenggara ini adalah kawasan yang perkembangan ekonominya sangat pesat. Penduduk Asia Tenggara ini 50 persennya adalah orang Indonesia. Orang Melayu yang menjadi mayoritas di sini.

Dari segi pemetaan umat Islam di dunia, bisa kita bagi peta umat Islam menjadi dua. Pertama, "kawasan hijau" yang ada di Timur Tengah sampai ke Asia Tengah sampai ke India. Itu besar sekali. Kedua, di samping kawasan ini ada kawasan lain yang jauh yaitu di Melayu. Kalau kita lihat, penduduk Muslim yang ada di Melayu ini jadi yang terbanyak sekarang ini.

Orang Kristen terbanyak di Amerika, orang Hindu terbanyak di India, dan orang Islam terbanyak di Indonesia. Jadi Orang Islam Indonesia harus menangkap peluang, bahwa umat Islam di kawasan Asia Tenggara ini bisa bersatu untuk membangun peradaban Islam yang damai.

Tidak perlu sama seperti yang di Timur Tengah. Kalau di sana ribut terus dan banyak konflik. Apalagi sekarang perang Syiah dan Suni. Saudi dan Iran yang tengah berperang, sudah hancur-hancuran dunia Islam. Sebab, orang Syiah sendiri sangat banyak. Di Irak saja mereka menjadi mayoritas, bukan hanya di Iran. Jadi Islam yang berwajah berbeda itu ada di kawasan Asia Tenggara ini.

Apa saja yang harus diwaspadai?

Pasti banyak dampak negatif yang datang dari MEA ini. Pasar ekonomi bebas ini pasti ada dampak negatifnya. Tetapi juga banyak membawa hal-hal positif. Ada ancaman sekaligus peluang. Kita realistis saja, dengan kebesaran hati, ketulusan jiwa, dan dipadu dengan kecerdasan akal pikiran kita bangkit mengambil peran dalam rangka membangun peradaban Asia Tenggara yang baru. Kemudian meningkatkan perekonomian dan membangkitkan kesejahteraan.

Ekonomi ini hanya salah satu faktor saja dalam membangun suatu peradaban. Karena dalam suatu peradaban ditentukan dengan perekonomian, kemudian perkembangan kualitas sumber daya manusia. Kalau kita istilahkan, membangun iptaq dan iptek. Selanjutnya akan tercipta kesejahteraan yang merata. Inilah yang menjadi pilar-pilar peradaban Asia Tenggara di masa depan. Harapan kita, Indonesia negeri yang memimpin kawasan ini.

Jadi Indonesia harus bisa menjadi penentu. Karena dari segi jumlah, kitalah yang terbanyak. Jangan menganggap enteng jumlah karena jumlah itu penting. Ada orang yang mementingkan mutu saja dan mengabaikan jumlah. Padahal dua-duanya sama penting. Mutu kita perbaiki secara bertahap. Jumlah itu juga menjadi otomatis membuat kita memimpin peradaban di Asia Tenggara.

Dampak negatif dari MEA ini banyak. Paling tidak untuk jangka pendek dan menengah sudah terlihat bagi kita. Kita hati-hati makin kaya negeri kita makin bahaya kalau tidak dimbangi dengan kualitas SDM. Yang terjadi nanti, jumlah kita banyak tetapi menjadi pekerja di negeri sendiri. Yang memimpin nanti orang yang sedikit karena mereka bermutu.

Kita tak usah terlalu khawatirkan dampak-dampak tersebut. Yang terpenting kita sudah mempunyai bekal untuk menghadapinya. Kualitas SDM kita harus baik. Kalau orang kita tidak bisa bekerja secara profesional, kualitas organisasi kita tidak inklusif dan boros. Tentu nanti orang yang sedikit tetapi pandai berorganisasi akan menguasai orang yang banyak tetapi tidak pandai berorganisasi.

Kunci dari mengantisipasi faktor-faktor negatif itu adalah peningkatan kualitas SDM kita. Kita harus berfikir, bagaimana menumbuhkan kesejahteraan yang adil serta merata dengan stabilitas politik yang terjaga. Ini yang membuat kita bersatu sebagai sebuah bangsa.

Bagaimana agar umat Islam Indonesia tidak hanya jadi komoditi?

Kita harus bisa melahirkan konsep Islam kebersamaan dengan mereka yang non-Muslim. Karena, meskipun jumlah kita mayoritas 88 persen dari penduduk Indonesia ini, ada 12 persen non-Muslim yang tinggal dan hidup berdampingan dengan kita. 12 persen dari 250 juta itu banyak sekali. Kalau penduduk Singapura dan Malaysia digabung, belum tentu bisa mencapai jumlah sebanyak itu.

Kita tidak bisa bicara dengan bahasa sebagai orang Islam. Kita harus membangun kebersamaan dengan wajah Islam yang tampil beda. Bukan Islam yang terlihat garang dan menakutkan. Itu alasannya kita harus hati-hati dengan kelompok umat garis keras yang hobi kafir-mengafirkan. Cara pandang kita harus berubah. Bawalah Islam itu sebagai rahmatan lil alamin.

Jangan pernah berpikir ingin masuk surga sendirian. Tebarkanlah kebaikan dan ajak orang-orang agar mereka menjadi sama-sama saleh dengan kita. Walau ada rekan kita yang tidak sama secara pendapatnya dengan kita, tetap kita ajak untuk masuk surga juga. Jangan dikafirkan. Kalau kita kafirkan berarti kita mendoakan dia masuk neraka.

Bagaimana ekonomi syariah bersiap menghadapi MEA?

Ekonomi syariah hanyalah salah satu faktor saja. Jadi jangan dianggap segala-galanya. Ekonomi Syariah hanya salah satu sistem alternatif  dari ekonomi keuangan dunia ini yang beranekaragam macamnya. Berilah ruang bagi orang untuk memilih.

Yang kita bangun sekarang ini bukan ekonomi syariah, tetapi ekonomi umat. Maksudnya, seluruh bangsa Indonesia dan umat Islam harus makmur hidupnya dengan yang halalan tayyiban. Jangan kita terlalu menyorakkan label ekonomi syariah, padahal pangsa pasar ekonomi syariah sangat kecil. Itu kita kerjakan juga, tetapi ada hal-hal lain juga harus kita perhatikan.

Enterpreneurship kita bangun segera. Dari pondok pesantren dan madrasah yang lulus, mereka bisa jadi pebisnis handal. Salah satunya ada instrumen ekonomi syariah. Tapi yang bukan syariah sekalipun, jangan buru-buru diharamkan. Pengusaha kita ini berkembang. Jangan ribut di merek terus.

ICMI sudah mempelopori bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alhamdulillah saya ikut mempelopori ekonomi syariah ini. Sekarang konsep ini sudah berkembang dengan baik. Agenda selanjutnya bagaimana memanfaatkan sistem ekonomi syariah itu berkembang ke sektor riil. Justru ini yang lebih penting.

Peluang bagi tumbuh kembangnya Islam?

Orang Islam itu harus usaha jangan politik terus. Biarkan mereka ikut mengisi partai politik, tetapi gerakan enterpreneurship ini sama mulianya. Negara itu tidak memberi makan orang. Negara hanya memberi gaji kepada 5 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selebihnya tugas negara itu memungut pajak dari rakyatnya.

Yang memberi makan rakyat Indonesia sebanyak 250 juta itu pengusaha. Kalau yang memberi makan itu bukan orang Islam, maka yang memberi makan itulah yang mengendalikan hidup orang Islam. Hidup itu lebih penting dari merek ekonomi syariah. Bisnis sebenarnya itulah sektor riil.

Jadi harapan kita, dengan adanya MEA ini bisa membangkitkan semangat enterpreneurship anak-anak bangsa kita. Praktek-praktek bisnis di zaman sekarang semuanya Islami, kalau dia tidak bertentangan dengan Islam. Itu sunnatullah. Kita harus membuka diri, bahwa sumber kehidupan kita bukan hanya syariat dalam ayat-ayat Allah, tetapi juga ayat-ayat kauniyah melalui sunnatullah. Semuanya sumber yang asalnya dari Allah juga.  ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement