Foto: Dok Pribadi
Senyum menjadi obat yang lebih dulu diberikan oleh dr Permata Nevita sebelum ia memberi resep atau obat medis kepada para pasiennya. Dokter alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta itu selalu berusaha tersenyum ramah setiap menghadapi pasien.
"Walaupun kita banyak masalah, namun sebagai dokter kita harus selalu tersenyum di hadapan pasien kita. Insya Allah senyum kita itu akan membuat pasien nyaman dan tenang," kata Permata saat berbincang dengan Republika, di Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/11).
Ditanya mengapa memilih menjadi dokter, wanita kelahiran Jakarta, 30 Oktober 1983, itu mengatakan, sejak kecil orang tuanya secara tidak sengaja sering mengarahkan dia agar menjadi dokter. "Orang tua saya, terutama papa saya, sering kali bilang ke saya, kalau jadi dokter itu enak. Dokter itu tidak perlu melamar kerja. Dokter itu bisa buka praktik sendiri. Dokter itu bisa bantu orang," ujar anak kedua dari enam bersaudara itu.
Akhirnya, sejak SD, Permata sudah tertarik menjadi dokter. Mengapa ia ingin menjadi dokter? "Waktu itu, alasan saya karena saya ingin menyembuhkan orang yang sakit. Saya prihatin sekali karena banyak orang sakit yang tidak mampu berobat. Saya ingin membantu orang-orang yang tidak mampu," tutur alumnus SD Bina Insani Bogor itu.
Hal itu pun tampak pada hobinya. "Waktu SD, kalau bermain dengan teman-teman, saya sering memerankan dokter kecil. Saya juga ikut ekstrakurikuler (ekskul) dokter kecil. Waktu SMP, saya ikut ekskul Palang Merah Remaja (PMR)," ujar alumnus SMP Bina Insani Bogor itu.
Ketika SMP dan SMA, Permata memperkuat pelajaran IPA sebab mata pelajaran utama yang terkait kedokteran adalah IPA dan matematika. "Waktu SMP, saya sangat senang dengan cara mengajar guru biologi. Beliau tahu saya bercita-cita menjadi dokter, beliau mendorong saya agar rajin menghafal pelajaran biologi," papar alumnus SMA Negeri 2 Bogor itu.
Permata menambahkan, ayahnya yang merupakan pembantu rektor III Universitas Borobudur Jakarta sangat senang dengan pilihannya menjadi dokter. Ayahnya juga mengajarkan kepadanya agar tidak menjadi dokter yang mencari pekerjaan kepada orang lain, tetapi dokter yang menjadi pengusaha. Dengan kata lain, ia juga didorong untuk belajar berbisnis.
"Saya ingin mengambil spesialis dan punya rumah sakit sendiri sehingga bisa mempekerjakan banyak orang. Juga membantu orang-orang susah. Insya Allah semua itu merupakan bagian dari sedekah," ucap Permata yang saat ini bertugas di Klinik PLN Bogor, Klinik Sekolah Bosowa Bina Insani Bogor, dan membuka praktik dokter di rumahnya di Bogor.
Sejak 2011, Permata mendalami akupuntur dan mendapat sertifikat kompetensi tahun 2015. Di rumah, ia mebuka praktik dokter dan praktik akupuntur, khususnya untuk pasien yang alergi obat, sensitif obat, atau tidak mau minum obat. "Tahun 2016 saya berniat melanjutkan S-2 akupuntur di Universitas Indonesia," ungkap dokter yang sehari-hari tampil berjilbab itu.
Menurut Permata, seorang dokter harus menjadi orang yang haus ilmu. Harus selalu belajar, termasuk belajar kepada para pasien. "Saya yang berkecimpung di dunia medis, ada pepatah yang berbunyi medicine is long life study, jadi kita tidak boleh berhenti untuk belajar," papar wanita yang hobi traveling dan wisata kuliner itu.
Karena keinginan menjadi dokter berasal dari panggilan jiwanya, Permata merasa nyaman. "Saya sangat menikmati menjadi mahasiswa Kedokteran, meskipun kuliah dan praktikumnya sangat melelahkan, dari pagi sampai malam hari. Namun, semua itu saya kerjakan dengan senang hati demi cita-cita menjadi seorang dokter," tutur istri dr Afan Hermawan itu.
Mereka menikah hari Jumat, 20 Juli 2007. Saat itu Permata masih koas, sedangkan Afan sudah lulus sebagai dokter, juga dari Fakultas Kedokteran Yarsi.
Permata juga sangat senang sebab di Fakultas Kedokteran Yarsi, porsi pelajaran agama Islam besar, yakni enam semester. Hal itu memberinya bekal tidak hanya ilmu kedokteran, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman. "Kurikulum pendidikan Fakultas Kedokteran Yarsi memadukan Islam dan medis, makanya lulusan Fakultas Kedokteran Yarsi bukan sekadar dokter biasa, tapi 'dokter Muslim'," ungkap Permata yang diwisuda saat hamil tua.
Mungkin didikan orang tuanya dan juga didikan di sekolah dan kampusnya, Permata menjadi dokter yang sangat menyukai kegiatan sosial, khususnya pengobatan gratis. Dia sangat senang kalau ayahnya meminta dia menolong masyarakat Jakarta yang kebanjiran.
"Saya senang sekali melihat ekspresi wajah masyarakat itu saat saya bantu cek tensi darah dan lain-lain. Mereka semringah banget dan berterima kasih luar biasa. Seakan-akan saya memberi sesuatu yang luar biasa kepada mereka. Padahal, apa yang saya lakukan hal yang sangat sederhana," tutur ibu satu anak ini.
Permata mengaku sengaja tidak melamar bekerja penuh di rumah sakit. Ia lebih senang bekerja di klinik yang waktunya lebih fleksibel. "Hal itu agar saya bisa memberikan waktu yang cukup untuk suami dan anak. Malam hari merupakan kesempatan bagi saya menemani anak belajar," ujarnya.
Sebagai seorang dokter, kata Permata, hal yang paling membahagiakan adalah ketika pasiennya sembuh dan mengabarkan kepadanya dengan gembira perihal kesembuhannya itu. "Bagi saya, hal tersebut tidak bisa diukur dengan materi sebesar apa pun. Itulah kepuasan batin yang luar biasa," papar Permata yang tiap Jumat pagi sengaja menyempatkan diri mengikuti pengajian di Masjid Al-Ikhlas Kampus Bosowa Bina Insani Bogor. Oleh Irwan Kelana ed: Hafidz Muftisany
Biodata:
Nama: Dr Permata Nevita
Tempat tanggal lahir: Jakarta, 30 Oktober 1983
Pendidikan:
- SD Bina Insani Bogor, lulus tahun 1995
- SMP Bina Insani Bogor, lulus tahun 1998
- SMAN 2 Bogor, lulus tahun 2001
- Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, lulus tahun 2008.
Hobi: Traveling dan kuliner
Nama Suami: Dr Afan Hermawan
Nama Anak: Agha Mumtaz Al Fatih Afan (8 tahun)
Moto Hidup: Kita hanya butuh satu senyum untuk sembuhkan sejuta air mata.