Jumat 04 Dec 2015 13:00 WIB

Pencitraan dalam Bingkai Islam

Red:

Jelang pilkada yang akan digelar, masing-masing calon kepala daerah sudah gencar mengampanyekan diri. Berbagai pencitraan diri, verbal dan nonverbal, disorakkan ke seantero negeri. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk dikenal sebagai orang baik dan punya elektabilitas sebagai pemimpin? Lantas, bolehkah pencitraan sedemikian dalam perspektif syariat Islam?

Pencitraan sebenarnya tak pernah ada dalam tradisi kepemimpinan Islam. Jangankan melakukan pencitraan diri, mengajukan diri sebagai pemimpin saja merupakan hal tabu dalam adab Islami. Nabi SAW kerap menegur para sahabatnya yang berambisi dengan kekuasaan.

Pesan Nabi SAW kepada Abdurrahman Ibnu Samurah RA, "Janganlah engkau meminta jabatan. Sebab, jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk melaksanakannya. Tetapi, jika engkau diberi kekuasaan dengan sebab adanya permintaan daripadamu, maka engkau akan dipalingkan dari pertolongan Allah." (HR Bukhari Muslim).

Berbeda halnya dengan alam demokrasi dan model pilkada langsung yang ada saat ini. Calon kepala daerah dituntut aktif bersosialisasi dan memperkenalkan diri kepada masyarakat.

Ketika pasangan calon harus berkampanye pada masyarakat untuk memilih dirinya, agaknya idealisme yang terkandung dalam hadis ini serasa sulit diterapkan. Kendati demikian, mereka yang turun berkampanye harus memperhatikan adab-adab Islami agar tak jatuh pada perkara yang diharamkan.

Hal yang harus dijaga bukanlah tradisi orang beriman untuk menyebut-nyebut kebaikannya. Firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya (di hadapan) manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS al-Baqarah [2]: 264).

Ayat ini menegaskan, menyebut-nyebut kebaikan bisa menghilangkan pahala dari amal kebaikan tersebut. Yang demikian jika bertujuan untuk riya di hadapan manusia atau mengharapkan suatu imbalan tertentu. Orang yang riya ini juga diistilahkan tidak beriman pada hari akhir. Karena, kebaikan mereka hanya sebatas ingin dilihat dan dibalas di dunia.

Bagi mereka yang berkampanye, jika penyebutan kebaikan dari calon yang diusung untuk tujuan riya, inilah yang diharamkan. Ataupun kebaikan-kebaikan tersebut dielu-elukan para pendukungnya sehingga menimbulkan rasa bangga dan sombong. Hal ini juga bermuara pada keharaman.

Dalam adab Islami, seseorang hanya dituntut untuk beramal dan melahirkan karya sebaik-baiknya. Adapun hasilnya, biarlah Allah SWT, Rasul, serta orang-orang beriman lainnya yang menilai. Orang beriman tak pernah menyebut dirinya telah melakukan ini dan itu.

Jika memang perbuatannya membawakan manfaat, dengan sendirinya ia akan didukung untuk memimpin. Hal yang terpenting, tak terbetik dalam hatinya untuk bangga dengan amal perbuatannya. Apalagi, menjadikan amal tersebut untuk pencitraan diri dan berorientasi pada kekuasaan.

Firman Allah SWT, "Dan katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan apa yang telah kamu kerjakan'." (QS at-Taubah [9]: 105).

Di samping itu, umat Islam juga dilarang mengultuskan diri sendiri sebagai sebagai orang suci, orang baik, orang saleh, dan sebagainya. Firman Allah SWT, "Maka janganlah kamu sekalian menyucikan diri sendiri. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa." (QS an-Najm [53]: 32).

Menyucikan diri sendiri maksudnya menganggap diri sebagai orang suci, orang saleh, dan sebagainya. Muhammad Said Nursi dalam Al-Maktubat (2/343) mengatakan, "Penyucian diri bukan dengan menyucikannya, melainkan dengan tidak menyucikannya." Maksudnya, seseorang dilarang menganggap dirinya suci. Hanya Allah SWT sajalah yang Maha Mengetahui apakah seseorang termasuk orang yang disucikan dan golongan orang bertakwa atau tidak.

Ulama Bagdad, Junaidi al-Baghdadi, menyebutkan, "Tidak mungkin orang saleh mengakui dirinya saleh. Tidak ada wali Allah yang mengaku-ngaku dia adalah wali Allah." Intinya, keimanan dan kesalehan bukan ditunjukkan dengan perkataan, melainkan perbuatan.

Hakikatnya, tidak ada orang yang benar-benar suci dari dosa. Sabda Nabi SAW, "Setiap anak cucu Adam tidak lekang dari kesalahan. Dan sebaik-baiknya dari mereka yang salah adalah yang bertobat." (HR Ibnu Majah).

Az-Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kassyaf (5/646) berpesan, soal kesucian dan ketakwaan hanya hak Allah untuk menilainya. Seseorang hanya diperintahkan untuk taat dan menjauhkan diri dari maksiat.

Pengkultusan calon kepala daerah sebagai orang saleh, orang suci, dan sebagainya adalah bentuk pelanggaran etika Islami. Cukup menyebutkan program-program kerja dan hasil kerja nyata yang telah diraihnya tanpa bermaksud sombong atau riya. Biarkan khalayak yang menilai, apakah benar dia orang saleh atau tidak.

Di samping itu, setiap pencapaian keberhasilan dan lahirnya suatu karya yang diraih hendaklah disandarkan kepada Allah SWT. Menyebut suatu keberhasilan karena kepintaran dan keuletan diri sendiri adalah bentuk angkuh kepada Allah SWT. Sejatinya, apa pun keberhasilan yang diraih manusia karena hidayah dan taufik dari Allah SWT.

Setiap pujian yang tertuju kepada calon kepala daerah yang diusung hendaklah ia kembalikan kepada Allah SWT. Adab Islami selalu menyandarkan kebaikan kepada Allah dan keburukan disebabkan dosanya sendiri. Firman Allah SWT, "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah. Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri." (QS an-Nisa [4]: 79).

Lantas bagaimana dengan pencitraan dalam bentuk perbuatan seperti blusukan ke masyarakat kelas bawah, menyantuni kaum dhuafa, melakukan kegiatan amal, dan sebagainya? Apakah pencitraan seperti ini boleh dilakukan? Hal ini kembali kepada niat orang yang melakukannya.

Sabda Nabi SAW, "Amal itu bergantung pada niatnya, bagi seseorang (yang beramal) mendapatkan apa yang ia niatkan." (HR Bukhari Muslim). Jika seluruh amal kebaikan hanya diniatkan untuk meningkatkan popularitas dan dikenal sebagai orang baik, tak ada nilai ibadahnya. Seluruh yang ia lakukan bernilai riya dan menjadi dosa di sisi Allah SWT.

Tetapi, jika amal yang dia lakukan tulus ikhlas mengharap ridha dari Allah SWT, tentu saja bernilai pahala di sisi Allah SWT. Orang lain tak bisa menilai apakah amal tersebut ikhlas atau tidak. Hanya hatinya dan Allah SWT yang lebih mengetahui.

Syariat Islam mengharamkan seseorang melakukan amal saleh jika berorientasi untuk mendapatkan manfaat duniawi. Perilaku tersebut merupakan ciri dari kaum munafik. Al-Qadhi Ibnu Atiyyah dalam kitab Al-Muharrar al-Wajiz (5/205) menyebut bentuk pencitraan yang dilakukan calon pemimpin yang tengah berkampanye demi meraih simpati masyarakat. Tujuannya hanya untuk mendapatkan bangku kekuasaan.

Namun, jika amal kebaikan yang dilakukan tersebut berujung pada pencitraan dirinya oleh orang lain dan dijadikan sebagai teladan dan panutan dalam masyarakat, hal ini boleh-boleh saja. Merupakan perkara yang makruf jika masyarakat memiliki figur orang saleh dan bisa diteladani dari sosoknya. Hal yang terpenting adalah niat ikhlas dari pemilik figur itu sendiri.

Amal kebaikan yang hanya berorientasi pada popularitas duniawi akan bermuara pada kehinaan nasib di akhirat. Pesan Nabi SAW dalam sabdanya, "Siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia, niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari kiamat." (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah).

Jadi, pencitraan diri dalam adab Islami bukan tertuju untuk meraih popularitas duniawi, melainkan untuk meraih akhirat yang hakiki. Oleh Hannan Putra ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement