Jumat 22 May 2015 18:00 WIB

Membaca Alquran dengan Irama Lokal, Bolehkah?

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Membaca matan kitab kuning dengan irama Jawa mungkin sudah menjadi hal biasa dan banyak dilakukan di kalangan pesantren salafiyah. Namun, bagaimana dengan pembacaan Alquran dengan irama Jawa, misalkan? Ini masih hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Sejak penampilan tilawah Alquran ala Jawa di Istana Kepresidenan pada akhir Rajab lalu, banyak orang mempertanyakan. Di dunia maya saja, misalnya, banyak sekali dijumpai kicauan di sosial media, pesan broadcast di Whatapp, BBM, atau pesan instan lainnya yang mempertanyakan hal ini.

Model pembacaan Alquran mempunyai geneologi keguruan yang tidak sedikit. Kebanyakan para ulama tak berani bereksplorasi terlalu jauh jika berkenaan dengan Alquran. Jangankan dengan irama lokal Jawa, dengan irama nagham yang berasal dari Timur Tengah saja banyak ulama yang mengharamkannya. Seperti pesantren Tahfidzul Quran di Kudus Jawa Tengah. Mereka secara tegas mengharamkan irama apa pun dalam membaca Alquran.

Di samping pendapat ulama yang mengharamkan membaca Alquran dengan irama lokal, ada pula ulama yang membolehkannya. Rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) Prof Dr Ahsin Sakho mengatakan, selama sesuai dengan kaidah ilmu tajwid dan niatnya lurus sebenarnya tidak menjadi masalah. Menurut dia, selama bisa dibaca dengan tajwid yang benar dan bisa ditadaburi maknanya, masalah irama tidak perlu dipersoalkan.

Prof Ahsin mencontohkan irama tartil Sudan yang juga mirip dengan lagu-lagu tradisional Sudan. Demikian juga model tilawah Alquran yang marak di Indonesia, semuanya adalah hasil kreativitas orang Persia. Dilihat dari nama-nama irama tersebut, yakni bayati, shoba, hijaz, nihawand, rast, sika dan jiharka. Nama-nama tersebut adalah nama dan daerah-daerah yang ada di Persia.

Dosen hadis di International Institute of Hadits Sciences Darussunnah Jakarta, Arrazy Hasyim MA, mengatakan, hadis yang dipakai untuk mengharamkan irama baca Alquran selain irama Arab adalah hadis yang dhaif, bahkan mendekati palsu. Kendati demikian, ia tetap menyangsikan kebolehan membaca Alquran dengan irama lokal.

Arrazy berpendapat, membaca Alquran dengan irama lokal mengakibatkan takalluf (pemaksaan) baik dari segi bacaan maupun irama. Bahayanya lagi jika sampai sudah keluar dari kaidah tajwid gara-gara mengikuti irama lokal, itu tentu sudah menyelewengkan bacaan Alquran. Secara hukum, minimal tilawah tersebut berhukum makruh karena takalluf, dan dapat menjadi haram jika melanggar kaidah tajwid.

Dalil yang dipakai untuk mengharamkan irama lokal berhujah dengan hadis yang berbunyi, "Bacalah Alquran dengan lagu dan suara orang arab. Jauhilah lagu (irama) ahli kitab dan orang-orang-orang fasik. Nanti akan ada orang datang setelahku orang membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh. Tidak melampaui tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya." (HR Tirmidzi).

Sayangnya, kendati hadis ini tercantum sebagai hadis riwayat Tirmidzi, ternyata hadis ini tidak pernah ditemui di dalam kitab Sunan al-Tirmidzi sendiri. Demikian juga dalam kitab Muwaththa’ karangan Imam Malik dan Sunan al-Nasa’i.

Imam az-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal mengatakan hadis ini adalah palsu. Dalam komentarnya terkait para pemalsu hadis, si pemalsu hadis tidak sungkan-sungkan menisbatkan sebuah hadis kepada perawi yang masyhur, sebagaimana yang terjadi pada hadis ini.

Dalam teks Arab hadis ini disebutkan, "fa-qad rawa al-tirmidzi anna rasulullah shallahu ‘alaihi wa-sallam" (sungguh Imam al-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Nabi SAW). Menurut az-Dzahabi, kalimat seperti ini adalah suatu kebohongan terhadap Nabi SAW dan Imam Tirmidzi.

Dalam redaksi lain, ada yang mengirimkan dengan redaksi hadis riwayat Malik dan Nasa’i. Ini pun, menurut az-Dzahabi, adalah kebohongan atas kedua imam tersebut.

Dalam tradisi ahli hadis, perilaku menisbatkan suatu hadis kepada ulama yang tsiqah (kredibel) adalah salah satu pemalsuan terhadap terhadap Nabi SAW. Imam az-Dzahabi menyebut pelaku yang menyebarkan hadis ini sebagai kadzdzab (pembohong) atau wudhdha’ (pemalsu). Orang seperti ini terancam dengan hadis Rasulullah SAW, "Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka." (HR Bukhari Muslim).

Arrazy menambahkan, sebenarnya hadis ini ditemukan dalam riwayat al-Thabrani di kitabnya al-Mu’jam al-Awsath, nomor 7223. Riwayat serupa juga ditemui dalam kitabnya Imam al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman nomor 2649. Silsilah hadis ini, Imam al-Thabrani meriwayatkan dari Muhammad bin Jaban dari Muhammad bin Mihran dari Baqiyyah bin al-Walid dari Hushain bin Muhammad al-Fazari dari Abu Muhammad dari Hudzaifah.

Adapun Imam al-Baihaqi meriwayatkannya dari Husain bin Fadhl dari Abdullah bin Ja’far dari Ya’qub bin Sufyan dari Baqiyyah bin al-Walid dengan jalur yang sama.

Arrazy berpendapat, hadis ini terlalu lemah dan tak bisa dipakai dalam berhujah. Permasalahan dalam periwayatan ini terdapat minimal pada dua perawi, pertama Baqiyyah bin al-Walid yang dikenal sebagai periwayat yang lemah. Ini ditambah dengan sikapnya yang suka memanipulasi sanad sehingga disebut sebagai mudallis.

Hadis mudallis dicurigai ada keterputusan geneologi periwayatan hadis. Inilah sebabnya Imam Ibn ‘Adi memasukkan Baqiyyah bin al-Walid ke dalam daftar perawi yang lemah di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhu’afa. Begitu juga, Imam al-Dzahabi menilai Baqiyyah juga tidak dikuatkan oleh periwayatan lain sehingga hadisnya tergolong munkar.

Hal kedua, menurut Arrazy, rawi yang bernama Abu Muhammad tidak dikenal sama sekali di kalangan ahli hadis. Apabila seorang rawi tidak dikenal maka ulama hadis biasa menyebutnya dengan majhul. Ini pula alasan Imam Ibnul Jauzi menilai hadis ini sangat lemah. Ibnul Jauzi menyebutnya dalam kitab al-‘Ilal al-Mutanahiyah. Penjelasan ini diperkuat oleh Imam al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa’id. Barangkali kepalsuan riwayat ini bersumber dari Abu Muhammad.

Kesimpulannya, hadis yang dipakai sebagai dalil untuk melarang mengiramakan membaca Alquran ini tidaklah bisa dipakai sebagai hujah. Jangankan hadis palsu, hadis dhaif (lemah) saja belum cukup kuat untuk dijadikan dalil pengharaman atau pembolehan. Allahu A'lam.  ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement