Jumat 22 May 2015 18:00 WIB

Seimbangkan Peran Ayah-Ibu

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Betapapun sibuknya seorang Nabi Muhammad SAW, Beliau tetaplah seorang suami dan bapak bagi anak-anaknya. Beliau SAW tak pernah menyepelekan urusan keluarga, walau Beliau sendiri adalah seorang kepala negara. Di tengah ekspansi dakwah Islam dan kesibukan mendakwahi umat, Beliau SAW masih sempat bermain dengan cucu-cucunya. Rasulullah SAW juga suka memeluk dan mencium cucu-cucunya penuh kasih sayang.

Aisyah RA pernah mengisahkan, suatu kali seseorang bertutur kepada Rasulullah SAW. "Engkau mencium anak-anak, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka," ujar si Arab yang tinggal di dusun tersebut. Dengan tersenyum Rasulullah SAW bersabda, "Apa dayaku apabila Tuhan telah mencabut kasih sayang dari hatimu." (HR Bukhari).

Mubaligh dan pengamat keluarga Muslim, Ustaz Bobby Heriwibowo, menjelaskan, jika ingin melihat keluarga sakinah, lihatlah apa yang dicontohkan Rasulullah SAW. Menurutnya, banyak sekali contoh quality time family yang dapat diteladani dari Rasulullah SAW. "Rasulullah sangat dekat dengan anak-anak dan cucunya. Rasulullah sering bermain-main dengan anak dan cucu. Ada hadis beliau mengatakan, ‘siapa yang tidak bisa menyayangi, tidak akan disayangi’," jelas Ustaz Bobby kepada Republika, Rabu (20/5).

Ustaz Bobby mengisahkan sebuah riwayat, ketika Rasulullah SAW bersama salah seorang sahabat, kemudian Beliau SAW bertemu dengan cucunya Hasan bin Ali RA. Rasulullah SAW kemudian memeluk dan mencium cucunya itu penuh kasih sayang. Sahabat yang melihatnya pun tertegun. "Ya Rasulullah, saya punya 10 orang anak di rumah. Tetapi, sudah lama sekali saya tidak menciumnya," ujar sahabat tersebut, seperti dikisahkan Ustaz Bobby.

Di samping sebagai ayah, Rasulullah SAW sendiri juga memainkan peran sebagai suami. Beliau SAW tak sungkan membantu kesibukan mengurus rumah tangga. Menurut Ustaz Bobby, suami tak boleh segan dalam membantu istrinya yang repot mengurus rumah tangga. "Beliau SAW mencuci bajunya sendiri, menjahit kasurnya sendiri, dan membatu kerepotan rumah tangga. Beliau SAW juga memiliki sisi romantisme bagi keluarga. Ketika iktikaf Ramadhan saja, Beliau SAW sering memasukkan kepalanya ke rumah agar disisirkan istrinya, Aisyah RA," katanya memaparkan.

Pengamat parenting Islam, Neno Warisman, mengatakan, yang utama sekali peran orang tua bagi anaknya adalah makanan. Makanan yang diberikan kepada anak tidak hanya diperhatikan dari segi asupan nutrisi dan gizi. Hal yang terpenting, apakah makanan tersebut berasal dari rezeki yang halal.

"Dalam parenting Islam, rezeki yang halal yang akan diberikan kepada anak sangat memengaruhi. Ayah harus memperhatikan apakah ia bekerja di tempat yang halal. Karena anak akan tumbuh dari sana. Makanan yang menjadi darah daging si anak apakah dari sesuatu yang baik dan halal," jelasnya kepada Republika, Rabu (20/5).

Neno juga mengingatkan, tugas mendidik dan membesarkan anak harus seimbang antara suami dan istri. Jangan sampai seorang suami karena sibuk mencari nafkah sama sekali tak mau tahu dengan pendidikan anaknya.

Menurut Neno, seorang ayah juga punya andil besar dalam mendidik anak. "Kalau kita lihat dalam Alquran surah Luqman, di sana ayahlah yang memegang kendali tauhid bagi anaknya. Ayah yang bertanggung jawab mendidik anaknya, mulai dari shalat, perilaku baik, berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan seterusnya, itu tanggung jawab ayah. Bayangkan, peran ayah benar-benar sentral di dalam rumah," ungkapnya.

Fenomena masyarakat seperti di perkotaan, si ayah dan ibunya sibuk mencari nafkah. Mereka pikir, membesarkan anak bisa dengan uang saja. Mereka pergi kerja sebelum matahari terbit dan pulang ketika sudah larut malam. Semuanya dipercayakan kepada pembantu.

"Ketika ayah dan ibunya sibuk cari nafkah, tanggung jawab pendidikan anaknya kepada siapa? Akhirnya anak dididik oleh lingkungan lain. Karena lingkungan terdekatnya bukan ayah dan ibu, melainkan pembantu, perangkat teknologi, dan teman-temannya," ujar Neno.

Neno mengatakan, pekerja rumah tangga (PRT) yang datang ke rumah sama sekali tidak memiliki konsep pendidikan. Jadi, hal yang mustahil jika PRT dipercayakan untuk mendidik anak. Dari sanalah kenakalan remaja muncul karena lemahnya kontrol dan pendidikan langsung dari orang tua.

Menurut Neno, istilah al-um madrasatul ula (ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya) sudah dimulai semenjak masa kehamilan. Keliru jika si ibu menganggap pendidikan dimulai sejak anak umur empat atau lima tahun. Harusnya, semenjak di dalam kandungan, si ibu sudah mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai positif bagi rahimnya.

"Rahim itu rumah programer. Jadi, ketika otak si janin mulai terbentuk, diprogramlah di sana. Kalau si ibu ingin anaknya hebat bahasa Tiongkok, dari kandungan si ibu belajar bahasa Tiongkok. Kalau ingin anaknya hafal Alquran, waktu hamil si ibu coba untuk menghafal Alquran," kata Neno menerangkan.

Menurutnya, ikatan plasenta yang menghubungkan si jabang bayi dengan ibu bukan sekadar suplai makanan. Ada hubungan emosional antara ibu dan janinnya. Apa yang dirasakan ibu akan turut pula dirasakan oleh janin.

Pakar dunia anak, Dr Seto Mulyadi, mengatakan, waktu yang diberikan orang tua kepada anak bukan hanya dilihat dari kuantitasnya, melainkan juga kualitasnya. Ketika orang tua sudah sibuk di luar rumah dan hanya punya waktu sedikit untuk anak, tekankanlah kualitasnya. "Kalau waktu sangat terbatas untuk anak, maka jadikanlah waktu itu berkualitas. Jangan dicampuri lagi dengan urusan kerja, tapi betul-betul waktu yang sedikit itu full untuk anak," ungkapnya kepada Republika, Selasa (19/5).

Di samping itu, orang tua jangan segan untuk meminta maaf kepada anak jika memang salah. Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, orang tua harus membiasakan diri meminta maaf kepada anaknya karena waktu yang sangat sedikit kepada anak. "Harus berani minta maaf. ‘Maafkan papa dan mama ya, selama ini sibuk kerja’," ujarnya mencontohkan.

Menurut Kak Seto, komunikasi orang tua dan anak jangan sampai terputus. Jika memang karena kesibukan kerja hingga menyisakan waktu yang sedikit untuk anak, perhatikanlah kualitas dari waktu tersebut.

"Walau hanya sebentar, kualitas komunikasinya itu harus prima. Harus sepenuh hati untuk anak. Orang tua tak perlu sungkan untuk bernyanyi, mendongeng, dan bermain. Jadi, tidak disambil-sambil. Kalau sudah di rumah, lupakan kesibukan kantor," katanya memaparkan.  ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement