Jumat 19 Dec 2014 13:55 WIB

Kontroversi Ucapan Selamat Natal

Red:

Setiap bulan Desember mendekati penghujungnya, selalu ada diskusi yang berulang tiap tahun di kalangan umat Islam. Apakah boleh seorang Muslim mengucapkan selamat Hari Natal yang diperingati setiap 25 Desember? Diskusi soal boleh tidaknya mengucapkan selamat natal menjadi kajian menarik. Ada ulama-ulama yang mengharamkannya, ada yang membolehkan, ada pula yang bersikap lebih baik tidak dilakukan demi menghindari kebingungan.

Argumen yang disajikan mayoritas berasal dari para ulama klasik yang mayoritas dari Timur Tengah. Lalu, bagaimana lembaga-lembaga fatwa yang dimiliki organisasi Islam di Indonesia menyikapi perayaan Natal?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menerbitkan fatwa tentang Natal pada 1981. Meski titik tekan fatwa pada perayaan Natal bersama, MUI juga membahas secara umum tentang batasan bermuamalah dengan non-Muslim dan hal-hal syubhat seputar Natal.

Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai KH Syukri Ghozali perlu menerbitkan fatwa soal Natal agar umat Islam mendapat petunjuk yang jelas tentang perayaan Natal. Harapannya, umat Islam tidak mencampuradukkan akidah dan ibadahnya dengan agama lain.

Pada poin pertama, umat Islam diperbolehkan bekerja sama dan bergaul dengan umat agama lain. Catatannya, kerja sama yang dilakukan dalam masalah yang berhubungan dengan keduniaan. Dasarnya adalah Alquran surah Mumtahanah ayat 8, "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

Umat Islam secara jelas juga dilarang mencampuradukkan akidah dan peribadatan agamanya dengan akidah agama lain. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya." (QS al-Baqarah [2]:42).

Natal jelas menjadi peribadatan umat agama lain. Di dalamnya ada ibadah-ibadah yang dilakukan. MUI secara eksplisit memang tidak mengatur detail tentang hukum mengucapkan selamat Natal. Namun, hal-hal umum yang berkaitan dengan Natal diatur dalam poin keenam dari fatwa MUI tahun 1981 tersebut. MUI menjelaskan, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta mendahulukan menolak kerusakan daripada mengambil maslahat.

Nabi SAW bersabda, "Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, akan tetapi ada di antara keduanya yang syubhat. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu maka bersihlah agama dan kehormatannya." (Muttafaq Alaih).

MUI memutuskan, dengan dasar tersebut maka mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. MUI juga menganjurkan agar umat Islam tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah merujuk ke fatwa MUI saat ditanya tentang hukum mengucapkan selamat Natal. Majelis Tarjih berpandangan, hukum mengucapkan selamat Natal masuk dalam kriteria poin agar umat Islam tidak terjerumus ke dalam hal yang syubhat seputar Natal. Oleh karena itu, lebih baik dihindari.

Nahdlatul Ulama (NU) dalam situs resminya berpandangan, pada dasarnya mengucapkan selamat Natal boleh karena hal itu hanya bagian dari basa-basi (mujamalah dhahriyah). Tidak ada keyakinan rasa dalam hati dalam konteks ucapan ini. Bahkan, mengucapkan hal tersebut menjadi bagian dari konsep tenggang rasa.

Konsep tenggang rasa antarmanusia adalah tidak memandang orang lain benar-benar orang lain. Seperti firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 213. "Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar."

Namun, dalam hubungan dengan pemeluk agama lain, NU mendasarkannya pada sebuah hadis riwayat Muslim. Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan bila kamu berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat yang lebih sempit."

Melalui hadis ini bisa diambil qiyas dalam kehidupan sehari-hari. Maknanya, setiap Muslim seharusnya menyediakan ruang sosial untuk menghormati pemeluk agama lain. Meskipun ruang sosial yang disediakan untuk non-Muslim lebih sempit dibandingkan ruang sosial yang disediakan untuk sesama Muslim.

Ruang itu pun harus jelas batasannya. Imam Nawawi dalam Tafsir Munir menjelaskan, penghormatan itu hanya boleh dilakukan dalam batas urusan duniawi (sosial saja), tidak menyinggung soal akidah. Itu pun harus disertai dengan keyakinan bahwa hanya Islamlah agama yang paling benar.

Lembaga Fatwa Luar Negeri

Kajian boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal juga marak di luar negeri. Lembaga Fatwa Dar al Ifta Mesir lewat pimpinannya saat itu, Syekh Ali Jum'ah, berpendapat, ucapan Natal boleh ditujukan kepada kaum Nasrani.

Ucapan tersebut merupakan bentuk interaksi sosial dan hadiah. Perlakuan baik terhadap sesama itu sangat ditekankan dalam Alquran, seperti yang tertuang di surah al-Baqarah ayat 83, an-Nahal 90, dan al-Mumtahanah ayat 8. Namun, ia memberikan catatan agar berhati-hati dalam pemberian selamat tersebut agar tetap dalam koridor dan tidak keluar dari akidah Islam.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi menegaskan pula tentang hukum dibolehkannya ucapan Natal. Ini termasuk perbuatan baik kepada sesama. Dengan catatan, mereka tidak sedang memerangi Muslim.

Ucapan itu boleh ditempuh, apalagi jika ada hubungan emosional dengan mereka, seperti kerabat, tetangga, rekan bisnis, atau teman di sekolah. Berdalih situasi dan kondisi kini telah berubah serta mengacu pada fikih kemudahan, maka ia memutuskan bersebarangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.

Komisi Fatwa Lembaga Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab memutuskan membolehkan hukum ucapan Natal. Alasannya masih sama, bahwa ini adalah bentuk interaksi sosial antarsesama. Ini seperti ditegaskan surah al-Mumtahanah ayat 8.

Di kitab Ahkam ahl adz-Dizmmah, Ibn Qayyim mengatakan ucapan terhadap ritual kekufuran haram hukumnya. Seperti ucapan selamat atas hari raya dan puasa mereka. Sekalipun pelakunya terhindar dari penyimpangan akidah, tetap saja ucapannya dihukumi haram. Ada beberapa dalil Alquran, yaitu surah az-Zumar ayat 7 dan Ali Imran ayat 85.

Pendapat yang sama juga disuarakan oleh Asosiasi Ulama Senior Arab Saudi. Sebagian ulama tak sepakat dengan opsi ini secara penuh. Di antaranya ialah Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu as-Syekh. n nashih nasrullah. rep: hafids mufttisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement