Jumat 31 Oct 2014 11:00 WIB

Menikah di Bulan Muharram, Bolehkah?

Menikah di Bulan Muharram, Bolehkah?

Red:

Saat memasuki bulan Dzulhijah, ada beberapa kebahagiaan yang banyak dirasakan kaum Muslimin di Tanah Air. Pertama adalah bulan haji di mana tamu Allah dijamu di Baitullah dan mendapat pengalaman spiritual yang tinggi.

Yang tidak berangkat pun turut merasakan kebahagiaan dengan mengamalkan puasa Arafah. Kedua, Hari Raya Idul Adha. Hari besar kedua umat Islam yang dirayakan dengan menyembelih hewan kurban dan berbagi dengan sesama. Ketiga banyaknya hajat pernikahan yang berlangsung di bulan Dzulhijah. Mungkin meja-meja di rumah bertumpuk undangan hajat pernikahan dari tetangga atau kerabat.

Bulan Dzulhijah, khususnya di Indonesia, memang dikenal sebagai bulan pernikahan. Mereka jauh-jauh hari menyiapkan tanggal pernikahan di bulan ini. Alasannya sederhana, jangan sampai masuk ke bulan Muharram. Keyakinan yang beredar di Tanai Air, khususnya di Jawa, bulan Muharram atau lebih dikenal bulan Suro adalah bulan yang tidak baik untuk menggelar pernikahan. Benarkah anggapan seperti itu?

Di dalam kepercayaan masyarakat Indonesia ada semacam keyakinan tidak boleh menggelar hajat pernikahan di bulan-bulan tertentu. Di Minangkabau ada anjuran agar tidak menikah di bulan Syawal. Keyakinan itu sejalan dengan budaya orang-orang Arab jahiliyah.

Alasannya, pada bulan Syawal unta betina menolak didekati unta jantan dengan cara mengangkat ekornya. Perilaku unta betina itu disebut syalat bi dzanabiha (menolak dengan mengangkat ekor). Dari akar kata syalat inilah menurut Lisanul Arab Ibnu Mundzir menjadi muasal kata Syawal.

Bulan Safar juga diyakini bulan yang jelek untuk melangsungkan pernikahan. Safar bermakna kosong. Pada bulan ini orang-orang meninggalkan rumah untuk berburu, berperang, berdagang, dan lainnya. Akhirnya, rumah-rumah mereka kosong dan tidak elok jika saat itu dilangsungkan pernikahan.

Terakhir adalah bulan Muharram atau bulan Suro. Dalam keyakinan masyarakat Jawa, bulan Suro adalah bulannya priyayi. Hanya kalangan keraton yang boleh melangsungkan hajat di bulan Suro. Bahkan, banyak yang menyampaikan alasan yang tidak masuk akal. Misalnya, pada bulan Surolah penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, melangsungkan hajat pernikahan. Keyakinan turun-temurun itulah yang membuat orang-orang enggan melangsungkan hajat di bulan Muharram.

Padahal, sejatinya bulan Muharram adalah bulan mulia di antara bulan-bulan lainnya dalam kalender Hijriyah. Allah SWT berfitman, "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci) ...." (QS at-Taubah [9] : 36).

Penjelasan dari ayat ini didapati dalam hadis sahih riwayat Bukhari Muslim, "Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqaidah, Dzulhijah, dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab."

Ibnu Abbas mengomentari hadis tersebut dengan menyebut Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram dan suci. Melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya lebih besar dan amalan saleh akan diganjar pahala yang lebih banyak.

Jelaslah jika kedudukan bulan Muharram sangat mulia. Terlebih, pernikahan sebagai wujud sunah Rasulullah SAW. Sebuah ikatan yang bisa mengubah hal haram menjadi halal dan berpahala. Tentu menikah di bulan Muharram pahalanya justru akan lebih berlimpah.

Di samping itu, umat Islam dianjurkan untuk tidak mengutuk waktu. Waktu, di mana Allah SWT beberapa kali bersumpah dengannya, adalah momentum bagi manusia untuk terus melakukan kebaikan. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW bersabda, "Allah ‘azza wa jalla berfirman, 'Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang" (HR Bukhari).

Terlebih bulan Muharram adalah bulan Allah. Di dalamnya disyariatkan puasa Asyura yang ganjarannya sangat besar. Dalam sebuah hadis sahih dari Imam Muslim, ganjaran puasa Asyura adalah bisa menghapus dosa satu tahun yang sudah lewat.

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR Muslim).

Jika Muharram sudah disebut sebagai bulannya Allah dan kita dilarang mengutuk waktu sebagai ciptaan Allah, lalu bagaimana kita menyebut bulan Muharram sebagai bulan yang tidak baik? Dengan disyariatkannya puasa Asyura juga bisa diartikan jika bulan Muharram adalah bulan kesyukuran. Betapa tidak, disyariatkannya puasa Asyura karena pada hari itu Nabi Musa AS diselamatkan Allah SWT dari kejaran Fir'aun.

Melihat kaum Yahudi Madinah berpuasa pada tanggal 10 Muharram, Nabi SAW merasa ia dan umat Muslim lebih berhak bersyukur atas diselamatkannya Nabi Musa AS. Pernikahan dan hajat lainnya sebagai sebuah ibadah dan bentuk kesyukuran juga tidak dibatasi oleh waktu. Terlebih jika ingin mengambil keutamaan ibadah di bulan Muharram sekaligus sebagai syiar bagi kaum Muslimin tentang bolehnya menikah di bulan Muharram. Tentu pahalanya akan lebih berlipat. Allahu a'lam n rep: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement