Jumat 05 Sep 2014 12:00 WIB

Haji Hanya Wajib Sekali?

Red:

Diundang menjadi tamu Allah di Makkah adalah impian setiap Muslim. Kewajiban haji sebisa mungkin bisa dilaksanakan sekali seumur hidup. Syarat istitha'ah (mampu) baik dalam dana, fisik, maupun mental berusaha dipenuhi. Tak jarang di Indonesia, banyak kaum Muslimin yang memiliki bekal menunaikan haji tak hanya sekali. Keutamaan amalan haji yang sangat besar membuat orang yang memiliki kemampuan berhaji merasa tak cukup sekali melaksanakan kewajiban tersebut.

Allah SWT berfirman, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (QS Ali Imran [3] :97).

Di sisi lain karena masalah kapasitas Masjidil Haram terbatas, masing-masing negara mendapat kuota haji. Di Indonesia, seorang yang sudah memiliki kemampuan berangkat meski antre bertahun-tahun demi menunaikan kewajibannya. Lalu, bagaimana hukumnya orang yang ingin menunaikan haji berkali-kali karena dia mampu?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa singkat tentang naik haji sekali seumur hidup. MUI dalam rapat kerja nasional tahun 1984 mengeluarkan fatwa tentang kewajiban ibadah haji. MUI menegaskan, kaum Muslimin Indonesia hendaknya memahami betapa luas dan kompleksnya masalah yang dihadapi Pemerintah Arab Saudi dan Indonesia dalam menyelenggarakan pelayanan ibadah haji.

Setiap tahun jumlah jamaah semakin bertambah sementara lingkungan alamiah untuk pelaksanaan ibadah haji terbatas. Dalam tugas tersebut, baik Pemerintah Arab Saudi maupun Indonesia dituntut untuk menyediakan fasilitas dan berbagai kemudahan bagi tamu-tamu Allah tersebut.

Karena alasan tersebut, MUI mengeluarkan fatwa jika ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup meski kemampuan yang dimiliki oleh setiap Muslim berbeda-beda. Kemudian, MUI mengimbau agar jamaah yang sudah berangkat haji namun mampu kembali berangkat agar memberi kesempatan kepada orang lain, terutama keluarga yang belum pernah melaksanakan ibadah haji.

MUI juga mengimbau, jika masih mampu melaksanakan ibadah haji kedua kali dan seterusnya, lebih baik dana untuk ibadah haji tersebut dialokasikan untuk kepentingan umum. Dengan mengalokasikan dana bagi amal jariyah, pahala yang didapat juga sangat besar serta terus mengalir meski telah wafat.

Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan, hukum haji pertama kali yang dilakukan kaum Muslimin adalah wajib. Sedangkan, haji kedua dan seterusnya hukumnya sunah jika memang mampu. Jika ditanya mana yang lebih baik antara berangkat haji lagi atau memberangkatkan orang lain pergi haji, Majelis Tarjih menjawab dua hal tersebut tidak bisa dibandingkan. Menurut Muhammadiyah, keduanya sama baiknya.

Pergi haji meskipun kedua kalinya tetap akan memperoleh pahala besar sebagaimana keutamaan ibadah haji. Sementara, memberangkatkan orang lain pergi haji juga jelas pahala besar yang akan menghampirinya. Namun, konteks keduanya tidak bisa dibandingkan karena penerima manfaatnya masih perorangan.

Lain halnya jika dibandingkan jika dana tersebut disalurkan untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, Majelis Tarjih Muhammadiyah senada dengan MUI bahwa membantu kepentingan umum lebih utama daripada kembali berangkat haji untuk kedua kalinya. Alasannya, manfaat naik haji kedua kalinya hanya dirasakan oleh diri sendiri, sedangkan membantu kepentingan umum penerima manfaatnya jauh lebih banyak. Terlebih, jika orang tersebut hidup dalam lingkungan yang masih sangat membutuhkan uluran bantuan.

Ulama Arab Saudi Syekh Abdullah bin Abdil Azis Al Jibrin berpendapat, menunaikan haji nafilah (sunah) lebih utama daripada menyedekahkan uangnya tersebut. Sebab, dalam haji ada amalan badan sekaligus amalan harta. Keutamaan haji sangat besar seperti turunnya ampunan dan rahmat Allah. Ibadah haji juga merupakan zikir dan tafakur seorang hamba.

Namun, ujar Syekh Al Jibrin menjelaskan, jika ia memiliki kesulitan fisik maka menyedekahkan kepada orang miskin lebih utama dibanding membayar orang lain untuk menghajikannya. Sebab, tak jarang orang yang menghajikan orang lain lebih berharap harta imbalan dibanding amal saleh.  ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement