Jumat 29 Aug 2014 12:00 WIB

Winda Iriani, Tak Berhenti Menabur Mimpi

Red:

Tak pernah terpikirkan oleh seorang gadis belia Winda Iriani dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Men jadi seorang insinyur di universitas ternama sekali gus punya usaha dan penghasilan yang terbilang besar. Padahal, beberapa tahun lalu ia hanyalah seorang gadis desa yang tak berani bercita-cita setinggi itu.

"Dulu saat saya masih kelas tiga SMA, saya hanya bisa belajar rajin agar lulus SMA tanpa berpikir akan kuliah di mana. Apakah ada jalan untuk seorang dhuafa seperti saya? ITB? Itu hanya angan-angan saya," ujarnya kepada Republika. Angan-angan agar bisa melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) selalu ia ungkapkan di biografi novelnya. Ia ingin sekali berkuliah di sana dan mengambil Jurusan Teknik Kimia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Dok Pribadi

Winda Iriani

 

Setelah tamat SMA, ia direkomendasikan untuk ikut program beasiswa di Universitas Malang (UM), ITS, dan beastudi etos. Ketika itu, ia tidak berhasil lolos masuk ke ITS serta beasiswa UM. Ia mulai berpikiran, pupus sudah harap annya untuk melanjutkan kuliah.

Tabung annya di bank hanya Rp 600 ribu. Apakah dana segitu cu kup bagi nya untuk masuk bangku kuliah? Melihat kondisi orang tua yang hanya sebagai kuli, tentu tak mungkin menghadapi masalah ini. Untuk makan sehari-hari saja terkadang masih susah.

Suatu kali, ia membaca di laman ITB tentang Beasiswa ITB Un tuk Semua (BIUS). Ia terpaku melihat biaya yang dikeluarkan benar-benar nol rupiah. Masuk kuliah dengan biaya nol rupiah? Sama sekali tak terlintas dalam pikirannya. Formulir pendaftaran dan persyaratan administrasi lainnya langsung ia cetak.

Dengan wajah semringah, berkas-berkas tersebut langsung ia sampaikan kepada kedua orang tuanya. Namun, semua itu ternyata ditolak oleh sang ayah. "Ayah langsung saja menolak mentah-mentah keinginan saya untuk mengikuti program itu. Terlalu jauh katanya. Bandung- Bondowoso," kisahnya.

Sebagai gadis tunggal tentu sangat be rat bagi kedua orang tua Win da melepasnya. Apalagi ia seorang perempuan. Dengan kesungguhan, ia terus membujuk orang tuanya. Akhirnya sang ibu pun memberi restu.

Meski tanpa restu dari ayah ia terus melanjutkan tahapan BIUS. Ia pun lulus. "Yang saya pegang itu restu ibu. Esoknya saya beritakan BIUS ke guru BP dan teman- teman yang lain. Ternyata temanteman saya juga tidak tertarik dengan BIUS meski sudah gratisan. Alasannya tetap sama, jauh dari orang tua. Tapi ya sudahlah. Saya tak bisa memaksa mereka," kisahnya.

Akhirnya, Winda terus mengikuti program BIUS meski seorang diri. Ia hadapi semuanya sendiri. "Saya ketik nas kah di ruang TU. Pengiriman naskah dibiayai guru karena waktu itu saya memang benar- be nar tidak punya uang. Akhirnya, saya ma suk 200 besar calon saringan utama," paparnya. Tak berselang lama, ia pun men dapat su rat resmi dari ITB.

"Dari situlah ayah ba ru menyetujui saya untuk ikut BIUS. Malah ayah yang bersemangat untuk mengantarkan saya ke Bandara Juanda saat berangkat ke Bandung," ujarnya.

Winda untuk pertama kalinya naik pesawat dan terbang ke Bandung. "Saya bisa juga naik pesawat, melihat Mo nas dengan mata kepala sendiri. Sesuatu yang belum pernah saya pikirkan sebelumnya," katanya.

"Saya meyakinkan orang tua, guruguru, dan teman-teman saya, bahwa ada kesempatan kedua untuk dapat BIUS yaitu dengan SNMPTN," ucapnya. Ia memantapkan hati untuk masuk ke Fakultas Teknik Sipil di ITB, walau keinginan awalnya memilih Teknik Kimia.

"Saya menjalani amanah ini. Amanah dari Allah berupa BIUS. untuk masalah biaya kuliah, saya tak perlu repot-repot lagi memikirkannya. Akhirnya salah satu cita-cita saya tercapai juga. Kuliah tanpa uang sepeser pun dari orang tua," paparnya.

Awal berkuliah, ia memantapkan ha ti untuk serius menghadapi dunia akademik. Sebagaimana pesan ibunya, tidak perlu ikut aktif demonstrasi dan cari masalah. "Ingat, tujuan ke Bandung hanya untuk menuntut ilmu," papar Winda menirukan pesan ibunya. Jadi ia menolak segala bentuk godaan dari kegiatan kemahasiswaan.

Menjelang memasuki tahun kedua, ia mulai tergoda untuk ikut kegiatan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Akhir nya, jadilah ia sebagai seorang aktivis Muslimah muda di kampusnya.

Da ri kegiatannya di KAMMI jualah ba kat wirausahanya berkembang. Winda dipercaya seba gai seksi dana usaha di or ganisasi mahasiswa yang iden tik dengan aksi turun ke jalan itu. Dalam berbagai kegiatan kampus ia pun tak pernah absen berjualan aksesoris mahasiswa.

"Mulai dari jualan roti ciwawa yang saat itu membahana di kampus, nasi goreng, baju bekas, pulsa, apa pun saya jual buat kegiatan organisasi," kisahnya. Aktif berorganisasi juga mengasah kepercayaan dirinya. Winda pun dipercaya menjabat kepala Departemen Ekonomi KAMMI ITB.

Akhirnya, Winda merampungkan kuliah nya di Teknik Lingkungan ITB. Gelar insinyur ia boyong pulang ke Bondowoso. Tak hanya itu, ia juga telah mempunyai bisnis sendiri yang dirintis ketika menjadi mahasiswi ITB.

Winda mengembangkan bisnis penganan berbahan dasar singkong. "Awalnya omzet bisnis saya dengan merek Nyonya Alisha ini hanya Rp 200 ribu dan sekarang sudah mencapai Rp 12 juta per bulan dan insya Allah akan terus berkembang," kata Winda.

Bisnis penganan jenis legit singkong itu adalah brownies campuran cokelat dan berbagai varian lainnya. Berkat rintis an usahanya, lulusan SMA Negeri Tenggarang, Bondowoso, itu, menjadi juara Wirausaha Mandiri tingkat Jawa Barat dan penghargaan Perwira Muda Award (penghargaan wirausahawan) dari Gubernur Jabar, baru-baru ini.

Selain berbakat menjadi seorang enterpreneur muda, ia juga aktif menulis. Sejumlah buku yang telah ia terbitkan seperti Anak Kuli Jadi Insinyur dan Sang Penabur Mimpi menjadi daftar buku yang diburu pembaca.

Sekarang, Winda sudah memiliki sebuah kafe yang telah ia rintis semenjak September tahun lalu. Ia menamakan cafe Alisa, untuk menjual produk-produk ke ripik singkong yang ia produksi. "Selain menjual produksi singkong, kafe itu menyediakan makanan berat juga," paparnya.

Saat ini, Winda sudah mengantongi omzet dari hasil usahanya Rp 15 juta setiap bulannya. Ia berharap, kedua orang tuanya bisa beristirahat di rumah dan berhenti dari pekerjaan buruh. Ia bercita-cita, suatu saat nanti sang ayah bisa berhenti dari tukang kayu dan memiliki usaha mebel sendiri. Sedangkan ibunya yang sampai saat ini menjadi buruh di pabrik rokok, bisa berhenti dan merintis usaha rumah makan.

"Yang saya khawatirkan itu ibu. Ibu pernah sakit karena di pabrik rokok itu memang tidak sehat. Dahulu ibu sudah punya usaha katering sendiri. Semoga tahun ini ibu bisa istirahat dari buruh," kisahnya.

Sang ibu sudah bekerja sebagai buruh di pabrik rokok semenjak Winda duduk di bangku kelas dua SD. Winda bertekad untuk memberangkatkan kedua orang tua naik haji ke Tanah Suci. "Semoga bisa segera terwujud," doanya.  ed: hafidz muftisany

***

Biodata

Nama Lengkap : Winda Iriani

Panggilan: Winda

Aktivitas:

• Pemilik Cafe Alisha

• Marketing Manager Legit Singkong Nyonya Alisha

Pengalaman Organisasi:

• KAMMI ITB

• GAMAIS ITB

• Majelis Taklim Salman

Karya Buku

• Anak Kuli Jadi Insinyur

• Sang Penabur Mimpi

• Negeri Kunang Kunang

• Venus Three Junior

• Fesbugrafi Winda Iriani

• Energi untuk Negeri

Prestasi

• Juara Wirausaha Mandiri tingkat Jawa Barat

• Perwira Muda Award dari Gubernur Jawa Barat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement