Jumat 22 Aug 2014 12:00 WIB

Haji: Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (3)

Red:

Oleh : Prof Dr Nasaruddin Umar -- "Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Ali Imran [3]: 96-97).

Dalam perspektif tarekat dan hakikat, simbol-simbol haji dan umrah dimaknai dengan makna yang berlapis-lapis. Ayat-ayat dan hadis tentang haji diberi makna ta’wil sehingga terkesan sakralisasi haji.

Berbeda dengan perspektif fikih yang terkesan provanisasi haji. Ibadah haji dan umrah sesungguhnya sarat dengan makna sacral, namun juga tidak sepi dari makna provan.

Unsur sakral haji dapat dengan mudah terlihat pada pengamalan rukun haji, seperti berpakaian ihram menuju Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf. Di sana terasa ada tekanan eksternal dan internal untuk mengakui persamaan diri dengan orang lain dan sekaligus menyatakan secara jujur akan segala kelemahan diri. Semua topeng kehidupan yang membuat orang lain respek dan hormat, seperti pangkat, jabatan, kebangsawanan, kesarjanaan, dan kekayaan, semuanya berguguran dan tinggallah seorang diri (nafsi-nafsi) sebagai manusia dhaif tanpa daya di hadapan Allah Rabb al-Qadhi.

Selanjutnya, bermalam di Muzdalifah sambil memungut batu-batu kecil untuk persiapan keesokan harinya melempar jumrah. Setelah itu, dilanjutkan dengan thawaf dan sa’i di Masjidil Haram. Ini semua melambangkan rangkaian suluk dan sair (perjalanan spiritual menuju Tuhan).

 

Unsur provan haji dan umrah dengan mudah dapat terlihat dengan terciptanya suasana interaksi antara berbagai etnik, seolah di Padang Arafah dan di pelataran Ka’bah tidak ada lagi sekat kewarganegaraan.

Puncak-puncak budaya dan kearifan lokal tampak bagaikan pelangi melingkari Baitullah. Sulit menemukan suatu tradisi besar yang mampu mengedit antara nilai-nilai sakral dan nilai-nilai provan secara simetris begitu indah selain pelaksanaan haji. Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan undangan menunaikan ibadah haji dan umrah walau hanya sekali dalam hidupnya.

       

Kalangan ahli tarekat memaknai ibadah dan simbol-simbol haji haji lebih dalam dari sekadar penjelasan yang diperoleh saat mengikuti manasik haji. Sebagai contoh, Bait Allah (baca: Baitullah) secara lahiriah atau dalam level ufuk terdapat di Makkah dan untuk mengunjunginya memerlukan dimensi waktu dan tentunya biaya.

Secara batiniah Baitullah bisa hadir atau dapat dihadirkan setiap saat di dalam kalbu. Ini bukan berarti Baitullah ganda, melainkan kehadiran Baitullah secara spiritual dengan wujud Ka’bah di dalamnya sehingga seseorang bisa lebih khusyuk dalam menunaikan ibadah shalat.

Betapa tidak, mereka bukan hanya menghadap ke arah Ka’bah, tetapi secara spiritual imagination ia sudah sudah bersimpuh di depan Ka’bah. Ia sudah merasakan perjumpaan spiritual (tawajjuh) dengan Ka’bah.

 

Bahkan kalangan ahli hakekat bukan hanya ber-tawajjuh dengan Ka’bah, melainkan juga Sang Penghuni Ka’bah. Bagaimana tidak menangis di dalam shalat karena ia begitu terharu menghadapkan berbagai lapis dirinya melakukan penyembahan, sebagaimana dilafazkan di dalam surah al-Fatihah, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.

Sang Pemilik dan Penghuni Ka’bah tampil sebagai pihak kedua (mukhathab), tidak lagi tanpil sebagai pihak ketiga. Ayat itu tidak mengatakan, Iyyahu na’budu wa iyyahu nasta’in (Hanya Dia yang kami sembah dan hanya Dia tempat kami memohon pertolongan).

Suasana tawajjuh seperti ini sang hamba melakukan penyembahtaan (abbud) dan Tuhan memberikan pertolongan (isti’anah). Saat hamba melakukan ta’abbud maka saat itu hamba mendaki (taraqqi).

Ketika hamba melakukan taraqqi maka pada saat bersamaan Tuhan turun (tanazul) untuk menjumpai hamba-Nya. "Siapa mendekati-Ku sejengkal maka Aku akan mendekatinya sesiku. Siapa yang mendekatiku sesiku maka aku akan mendekatinya sedepah. Barang siapa mendekatiku berjalan maka Aku akan mendekatinya berlari," dan seterusnya. Demikian firman Allah dalam hadis Qudsi.

Saat hamba melakukan tawajjuh maka saat itu antara pencinta dan diciptai saling merapat, lebih dekat dan lebih dekat lagi, seperti keadaan yang dilukiskan dengan kalimat indah di dalam ayat, Tsumma dana fatadalla, fakana qaba qausaini au adna (Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi maka jadilah dia dekat sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (QS an-Najm [53]: 8-9). Kiblat dan tawajjuh secara hakikat akan dibahas di artikel mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement