Jumat 13 Jun 2014 12:00 WIB
tuntunan

Gembira dengan Ujian Allah

Red:

Menimpakan kesusahan, ketakutan, kekurangan harta, krisis ekonomi, hingga kelaparan merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Masa kecil yatim piatu dan berdikari dengan mengembala domba, itulah Rasulullah SAW. Kendati seorang Rasul, sering sekali Beliau SAW menghadapi keperihan hidup. Apalagi setelah mendapatkan risalah kenabian, banyak kisah sedih yang Beliau lewati.

Rasulullah pernah dilempari batu hingga berdarah-darah oleh kaum Thaif, sering dicaci-maki penduduk Quraisy, hingga diboikot 3,5 tahun lamanya bersama orang-orang beriman. Begitulah beratnya ujian bagi para nabi dan rasul. Seperti sabdanya, “Manusia paling berat ujiannya adalah para nabi.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Maajah).

Apa alasannya, Allah SWT begitu tega dengan kekasihnya Muhammad SAW? Jika Allah SWT benar-benar sayang kepada Beliau, mengapa tidak diberikan-Nya hidup yang senang dan kelapangan?

Tak hanya Nabi Muhammad SAW, seluruh nabi dan rasul pun mendapatkan ujian yang berat dari-Nya. Siapa yang tak kenal dengan kisah masyhur Nabi Ayyub AS yang seluruh tubuhnya digerogoti penyakit, kecuali tersisa lidah dan jantungnya saja? Ada pula kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan selama 40 hari serta kisah nabi-nabi lainnya.

Kisah ini mengajarkan kepada kita, semakin tinggi tingkat kesalehan seseorang maka semakin tinggi pulalah ujian yang diberikan kepadanya. Sama halnya, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka semakin susah pula materi ujian yang akan ia lewati.

Allah berfirman, “Dan Kami jadikan sebahagian kamu ujian bagi sebahagian yang lain. (Demikian untuk membuktikan, apakah) kamu mau bersabar? dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (QS al-Furqan [25]: 20).

Jika diurutkan, tingkatan ujian terberat manusia, yakni para Nabi Ulul Azmi (lima orang nabi yang paling berat dan paling tabah menghadapi ujian), para nabi dan rasul lainnya, para ulama dan wali Allah, orang-orang saleh, orang-orang beriman biasa, kemudian barulah orang-orang yang belum beriman. Urutan ini seperti halnya mengurutkan tingkat pendidikan dari pascasarjana, sarjana, SMA, SMP, SD, dan TK.

Jadi, untuk menjadi orang yang paling dekat dengan Allah mestilah melewati ujian yang sangat berat. Berhasil menjadi orang saleh tidak didapatkan dengan bersenang-senang, tetapi melalui suatu perjuangan berat. Demikian juga, menjadi orang saleh berarti siap dengan ujian Allah yang lebih berat dari orang-orang biasa lainnya.

Tak ada pilihan untuk mengelak dari ujian Allah. Seperti halnya anak sekolah yang tak bisa mengelak dari ujian di sekolahnya. Semua proses yang berjalan harus dilewati. Siapa yang lulus, masuk ke tahap yang lebih tinggi. Siapa yang gagal, akan mengulang di kelas yang sama atau mungkin diturunkan ke kelas yang di bawahnya.

Harusnya ketika ujian Allah datang, seorang mukmin bisa bergembira dan mensyukuri hal itu. Dengan adanya ujian Allah, berarti ia telah memasuki fase kenaikan kelas. Jika ia berhasil melewati ujian itu dengan penuh kesabaran, level keimanannya pun akan naik ke kelas berikutnya.

“Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, krisis pangan sampai kematian, dan berikanlah kabar gembira ini kepada orang-orang sabar, yaitu orang-orang yang ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘inna lillahi wainnaa ilaihi raaji’un’.” (QS al-Baqarah [2]: 156).

Ujian adalah bentuk sayang Allah SWT kepada para hamba-Nya. Menimpakan kesusahan, ketakutan, kekurangan harta, krisis ekonomi, hingga kelaparan sekalipun merupakan bentuk sayang Allah kepada hamba-Nya. Ibaratnya besi harus diterpa dengan pukulan dan dibakar api untuk membentuknya menjadi material yang indah. Begitu pulalah cara Allah menjadikan hamba-Nya sebagai pribadi yang kuat.

Rasulullah bersabda, “Siapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan maka ia akan diberikan ujian.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Malik dari Abu Hurairah RA).

Semakin sering seseorang menghadapi ujian Allah, semakin kuat pulalah dirinya. Banyaknya ujian yang dilewati seseorang menjadi tolok ukur akan kekuatan yang dimilikinya.

Tak ada yang spesial bagi orang soleh jika ia tinggal di gunung yang jauh dari polemik sosial kemasyarakatan. Justru, ketika seorang mukmin tinggal di lingkungan jahiliyah dan mampu mempertahankan keimanannya, itulah mukmin yang kuat. Semakin sering ia diuji Allah, semakin kuatlah ia dan semakin banyak pulalah pahala yang diraihnya.

“Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung pada besarnya ujian bala’ dan sesungguhnya siapa yang ridha mendapat ujian, tentu baginya keridhaan Allah, dan siapa yang murka mendapat ujian, tentu baginya murka Allah.” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).

Pepatah Eropa pernah mengatakan, pelaut yang tinggal di perairan yang lautnya ganas akan lebih tangguh daripada pelaut yang tinggal di perairan yang tenang. Artinya, pelaut yang sering menghadapi badai dan terjangan air laut akan lebih terlatih ketimbang orang yang terbiasa dengan air tenang. Jadi bergembiralah jika ujian mampir, ia datang untuk menaikkan level keimanan kita kepada Allah SWT.  rep:hannan putra ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement