Jumat 06 Jun 2014 13:00 WIB
fatwa

Hukum Saham dan Bursa Efek dalam Islam

Red:

Persoalan saham atau bursa saham belum dijumpai dalam fikih klasik. Pembahasannya baru dijumpai dalam fikih modern pada bagian syirkah dan dikenal dengan istilah syirkah al-asham (perserikatan dalam modal).

Saham juga merupakan bahasa Arab yang dikenal dengan musahamah (saling memberi bagian). Ulama fikih modern mendefenisikan, saham adalah sebagian modal perusahaan yang diperjualbelikan kepada masyarakat dengan ketentuan bahwa imbalan yang diberikan kepada pemilik modal sesuai dengan persentase modal masing-masing dan dibayarkan pada waktu yang telah ditentukan.

Dalam akadnya, apabila perusahaan mendapat keuntungan, pemilik saham hanya menerima imbalan sesuai dengan persentase modal yang diberikan. Begitu pula sebaliknya.

Para ahli fikih modern telah mengatur syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar akad musahamah dapat diterima sebagai salah satu bentuk muamalah dalam Islam. Syarat dan rukun tersebut, yakni adanya ijab dan kabul secara jelas. Ijab kabul dengan melakukan transaksi secara nyata berupa penyerahan tanda bukti saham oleh perusahaan kepada peserta dan peserta menyerahkan uang secara tunai kepada perusahaan sebagai tanda keikutsertaannya sebagai pemegang modal.

Kemudian, komoditas yang diperdagangkan perusahaan bukanlah komoditas yang dilarang syarak. Yaitu, perusahaan yang memproduksi benda yang diharamkan syarak, seperti minuman keras dan sejenisnya.

Selanjutnya, kedua belah pihak adalah orang-orang yang cakap bertindak hukum. Lalu, ada persetujuan yang jelas tentang bagian masing-masing pemilik modal sesuai dengan waktu yang ditentukan. Terakhir, keuntungan dan kerugian yang diderita perusahaan menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan persentase saham masing-masing.

Bentuk akad musahamah yang digambarkan di atas dapat diterima ulama fikih sebagai salah satu bentuk perdagangan yang diperbolehkan.

Namun, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang kategori perilaku ekonomi yang ditempuh melalui lembaga bursa efek ke dalam akad musahamah. Terutama, tentang perbedaan penawaran antara harga saham secara nominal dan harga yang ditawarkan.

Misalnya, saham perusahaan A memiliki harga nominal Rp 1.000, lalu saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat dengan harga perdana Rp 10 ribu.

Besarnya selisih antara harga nominal dan harga perdana tersebut berkaitan dengan perilaku ekonomi di bursa efek. Dalam menetapkan harga penjualan suatu saham perusahaan, dimasukkan perkiraan laba (deviden) yang akan dibagi, ditambah dengan kepiawaian direksi mengelola perusahaan tersebut.

Semakin baik pengelolaan dan prospek suatu perusahaan, diperkirakan semakin besar laba yang akan diperoleh, sehingga penawaran harga sahamnya di bursa efek semakin besar. Sekalipun, nilai nominal yang tercantum dalam surat saham itu tetap.

Permasalahan bagi ulama terletak pada kelebihan uang dari harga nominal saham tersebut serta kemungkinan melesetnya perkiraan prospek perusahaan itu. Dalam hal ini terdapat unsur spekulasi yang amat besar.

Unsur spekulasi yang cukup besar bisa terjadi melalui persekongkolan antara underwriter (penjamin emisi) dan perusahaan pemilik saham, sehingga harga saham perusahaan itu bisa dipermainkan. Bisa juga unsur spekulasi muncul dari sikap sekelompok orang yang memborong saham suatu perusahaan pada saat harganya murah dan menjualnya ketika harga saham itu melonjak. Oleh sebab itu, para ulama mengemukakan berbagai pandangannya tentang hukum jual beli saham di bursa efek.

Menurut salah seorang ekonom Islam dari Arab Saudi Khalid Abdul Rahman Ahmad, saham yang diperjualbelikan di bursa efek tidak dibenarkan syariat Islam. Ia beralasan, selisih uang antara harga saham dan harga nominal tidak diketahui wujudnya dan tidak diperhitungkan ketika pembagian keuntungan perusahaan itu dibagikan kepada pemilik saham. Karenanya, jual beli saham mengandung unsur penipuan yang besar.

Alasan lainnya, perusahaan yang menjual sahamnya tidak lagi didirikan melalui aktivitas anggota pemegang saham, seperti diatur dalam fikih muamalah Islam, tetapi telah berubah fungsi menjadi perusahaan penimbun kekayaan. Demikian juga mengenai batas waktu berakhirnya persekutuan pemilikan saham, tidak jelas (majhul). Unsur ketidakjelasan dalam transaksi apa pun tidak dibenarkan dalam muamalah Islam.

Pendapat tentang haramnya transaksi saham melalui bursa efek juga muncul dari Majelis Fatwa Syariat Kuwait. Alasannya, unsur-unsur syirkah al-asham yang dikenal dalam fikih Islam tidak terlihat dalam bursa efek. Di samping itu, dalam kegiatan ini sangat menonjol unsur penipuan (gurur).

rep:hannan putra ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement