Selasa 19 Jul 2016 18:00 WIB

Dana CSR untuk Pendidikan di Papua

Red:

Pemerintah akan menggandeng sejumlah BUMN dan kalangan swasta untuk melakukan percepatan pendidikan di Papua. Sejauh ini, program percepatan masih terkendala tiga masalah utama, yakni akses, mutu dan relevansi, serta tata kelola.

Dalam rapat koordinasi perencanaan pendidikan Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, pekan lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memaparkan beberapa strategi kebijakan percepatan pendidikan di provinsi tersebut. Strategi kebijakan percepatan itu, antara lain, dengan meneruskan pembangunan sekolah baru berpola asrama, Program Indonesia Pintar, serta Sekolah Garis Depan.

"Kalau menyangkut akses, langkah yang akan dilakukan, yaitu meneruskan program sekolah berasrama, menyiapkan ruang kelas baru, dan perbaikan ruang kelas yang rusak," kata Anies.

Sementara untuk meningkatkan mutu dan relevansi, Kemendikbud telah menyiapkan program guru garis depan, sarjana mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), pendidikan vokasi, pertukaran kepala sekolah, serta kualifikasi strata satu (S1) dan S2.

Sedangkan untuk memastikan keefektifan dan transparansi tata kelola sumber daya, Kemendikbud telah menyusun data neraca pendidikan Provinsi Papua, membentuk desk Papua dan Papua Barat, mengintegrasikan program antara dana Kemendikbud dan dana otonomi khusus, serta melakukan konsolidasi seluruh kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pendidikan di Papua.

Sebagai langkah awal, kata Anies, pihaknya  segera mengumpulkan 52 perusahaan yang memiliki kegiatan CSR pendidikan di provinsi itu. Langkah ini untuk menciptakan sinergi antarkegiatan agar sesuai dengan kebutuhan siswa dan merata di seluruh wilayah Papua.

"Selama ini kan perusahaan jalan sendiri. Sekarang kita coba Kemendikbud yang akan beri komando dan arahan agar sesuai dengan prioritas dan kebutuhan siswa di masing-masing kabupaten di Papua. Jangan sampai perusahaan hanya bergerak di satu daerah, yang lain tidak, dan jangan sampai program yang dikerjakan itu 'redundant' (berulang)," papar Anies seperti dikutip Antara.

Ia mengkritisi kecilnya alokasi dana pendidikan di Papua, yakni hanya Rp 100 miliar dari total Rp 11,94 triliun APBD 2015 Provinsi Papua. Dengan angka tersebut, Papua menempati posisi terakhir sebagai provinsi dengan persentase alokasi APBD terendah untuk pendidikan, yakni 0,84 persen, di mana setiap siswa hanya mendapat Rp 165 ribu per tahun.

Kondisi ini, menurut Anies, menjadi penyebab buruknya fasilitas pendidikan di Papua. Dari 3.157 satuan pendidikan dasar hingga menengah, tercatat 7.628 ruang kelas SD rusak dan 2.388 lainnya tidak bisa dipakai. Demikian pula, 2.246 ruang kelas SMP rusak dan 383 lainnya tidak bisa dipakai.

"Rapor merah" kondisi pendidikan di Papua juga bertambah dengan rendahnya angka partisipasi siswa pada 2015 di mana dari 399.437 siswa SD, 43,3 persen tidak hadir; dari 116.034 siswa SMP, 58,7 persen tidak hadir; dari 91.546 siswa SMA/SMK, 64,4 persen tidak hadir.

Bahkan, angka buta huruf (tunaaksara) di  provinsi itu menempati peringkat tertinggi di antara 34 provinsi di Indonesia, yakni 28,61 persen, sangat jauh di atas angka nasional sebesar 3,7 persen.     ed: Khoirul Azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement