Senin 25 May 2015 15:00 WIB

Sudirman Said, Menteri ESDM : Ubah Perilaku dengan Budaya

Red:

Nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said akhir-akhir ini semakin kerap mengisi halaman pemberitaan media massa. Wajahnya juga sering muncul di layar televisi. Gerakannya untuk membubarkan Petral beserta anak buahnya dinilai sebagai sebuah lompatan besar untuk memberantas mafia migas.

Belakangan, Sudirman semakin santer diberitakan setelah sempat dengan jujur membuka kartu pengelolaan migas pada masa lalu dan ada pihak yang tidak terima. Terlepas siapa yang benar dan salah, bagimana ide seorang Sudirman dalam menata manajemen migas nasional?

Bagaimana jurus pencinta jazz ini untuk bisa membangun negeri yang maju dengan energi terbarukan? Berikut petikan wawancara khusus Republika dengan Sudirman Said yang dilakukan pada Rabu (20/5).

***

Petral sudah bubar dan kemudian ada ISC. Lalu, langkah ke depan dari Kementerian ESDM seperti apa?

Kita mulai dengan Petral. Petral itu salah satu aspek saja dari pengelolaan migas, apalagi kalau energi, kita itu masih luas sekalilah.

Seperti yang saya jelaskan dalam berbagai forum, Petral itu diselesaikan hanya karena sebagai bagian dari menyehatkan supply chain. Saya senang dengan ungkapan Pak Dahlan Iskan pada 2012 bahwa dalam urusan ini ada dua aspek, soal clean dan clear.

Clean ini soal hukum, tidak ada masalah. Saya puji juga publik menerima, percaya. Dan menurut saya, keputusan mengenai likuidasi Petral yang dilakukan oleh Pertamina lebih banyak address soal reputasi daripada hal teknis.

Energi itu kan ada migas, ada listrik, ada mineral, batu bara, lalu ada energi baru terbarukan. Migas itu ada hulu, ada hilir. Yang paling terasa di hulu. Kita harus meningkatkan cadangan migas kita karena rasio pengembalian cadangan itu hanya separuh untuk minyak.

Artinya, bila 100 barel diambil, hanya 50 barel dikembalikan. Kalau untuk gas masih lumayan. Kalau enggak salah 10 : 9. Sepuluh diambil, sembilan dikembalikan. Tapi, tetap saja nilainya turun. PR pertama di hulu kita, bangun cadangan migas agar nanti bisa tingkatkan produksi. Di hilir, itu mulai dari pengolahan ke konsumen, namanya kilang dan pipa-pipa.

Nah, di hilir, persoalan adalah bagaimana mencukupi kebutuhan infrastruktur pengolahan dan distribusi, artinya bangun kilang bangun pipa-pipa. Sama bagaimana caranya mencukupi suplai dan pasokan untuk nasional sebisa-bisanya dari dalam negeri. Kalaupun tidak, impornya yang baik. Ini akan makan waktu. Itu migas.

Kemudian untuk listrik, PR besar kita adalah bagaimana menyelesaikan pembangunan 35 ribu mw listrik. Plus 7.000 yang sudah dalam pipeline dan memperbaiki 10 ribu yang sudah beroperasi tapi reliability dan keandalan hanya 40-50 persen.

PR listrik lainnya adalah bagaimana kesempatan membangun 35 ribu itu dimanfaatkan untuk membangun industri pendukungnya. Jadi, konten lokal dibangun supaya 1.100 triliun tidak lewat begitu saja. Ini listrik.

Nah, soal minerba, ada dua PR besar. Pertama, bagaimana secara konsisten mendorong hilirisasi supaya nilai tambah makin banyak dinikmati dan satu lagi konsolidasi perusahaan tambang. Artinya, yang illegal mining dibereskan, yang tidak clean and clear dibereskan juga. Sehingga, kita nanti punya badan usaha tambang, baik BUMN atau swasta, yang ukurannya cukup besar. Cukup punya daya saing lalu kemudian secara legalitas tidak ada masalah. Ini keseluruhan.

Lalu, di bidang energi baru terbarukan, EBT kita punya visi bagaimana pada 2025 porsi energi baru terbarukan itu 25 persen. Saat ini baru enam persen, artinya 25 persen dari energi kita diambil atau dihasilkan dari panas bumi, kemudian hidro, lalu matahari, biomassa, sampai pada biogas dan angin. Ini dari rasio yang saat ini 6-7 persen dalam 10 tahun ke depan harus sampai 25 persen.

Kalau dilihat, ada begitu banyak masalah. Bagaimana Anda memetakannya? Karena pasti ada first thing first.

Ini mungkin lebih positif disebut tantangan dan ini bukan urusan ESDM saja, tapi urusan bangsa secara keseluruhan. Itu tadi kan ketemu karena kita secara bersungguh-sungguh melakukan analisis. Apa yang yang jadi parameter tantangan ke depan?

Nah, tantangan ekonomi ke depan katanya ingin tumbuh enam persen. Maka energi idealnya harus tumbuh 1,5 persen di atasnya atau 7,5 persen. Muncullah angka 35 ribu plus 7.000 yang harus diselesaikan. Untuk menuju itu, tadi batu bara mesti dibangun kemudian kecukupan kas mesti dibangun.

Kemudian untuk kurangi ketergantungan pada fosil, energi baru mesti dibangun. Yang mana yang harus didahulukan? Semua harus didahulukan. Hanya saja saya tidak kerja sendirian kan, saya kerja dengan tim. Tim saya insya Allah sangat kuat. Dirjen baru dilantik kemarin, lalu direktur baru ditata. Ini orang-orang yang secara teknis availability sangat baik.

Kalau ditanya bagaimana memetakan ini semua, ya saya dialog dengan internal dan saya dengar expert lihat ke depan mau apa. Kemudian juga prioritas pemimpin nasional. Lalu, saya sebagai penanggung jawab sektor punya judgement akhirnya, punya penilaian yang mana yang mesti didahulukan.

Mengapa perlu melakukan penyegaran kepemimpinan?

Pimpinan kan satu unit, ya. Zaman saat ini tidak ada pemimpin yang superman. Jadi siapa pun pada dasarnya harus bekerja dengan tim. Jadi normal saja kalau pada awal-awal saya ingin meyakinkan bahwa seluruh tim inti saya itu orang yang memiliki tiga kriteria.

Pertama, secara integritas dan values memang tidak diragukan kejujurannya. Kedua adalah secara kompetensi memang cocok untuk menjalankan tugas ini. Ketiga, satu visi/tidak dengan saya. Karena, walaupun jujur dan pintar tapi punya pandangan yang berbeda, ya susah juga.

Setelah Petral bubar, ada jaminan untuk menghentikan langkah mafia migas?

Mafia migas kan sebutan populer, ya. Kebetulan yang sedang kita perangi adalah perilaku memberi rente. Beda perilaku dagang dengan memburu rente. Dagang itu artinya, ya sudah, gunakan sistem yang ada dan bermain dengan fair.

Pemburu rente itu berusaha memengaruhi sistem. Kalau bisa, merusak sistem dengan cara memberikan satu tekanan, baik dalam bentuk power maupun dalam bentuk godaan materi. Ini semua tidak bisa dibuktikan tetapi terasa betul. Jadi, yang sedang kita perangi adalah perilaku seperti itu. Atau perilakunya yang merusak sistem. Karena yang dikorbankan adalah negara dan rakyat.

Kemudian bagaimana cara meyakinkannya kalau sudah tidak ada lagi?

Istilah matahari itu obat paling mujarab untuk segala macam penyakit. Jadi, kalau segala sesuatu dijemur, kan segala macam penyakit akan rontok. Public domain dan transparansi itu cara yang paling ampuh untuk membuat kegelapan ini hilang. Perilaku pemburu rente ini adanya di kegelapan.

Saya kira saat ini ruang mainnya makin sempit karena transparansi dan media sosial segala macam. Jadi, pertama orangnya diganti, ditata, yang sekarang sedang kita lakukan di Pertamina, Petral, ISC segala macam. Kemudian sistem ditata. Sistem bagaimana caranya ruang-ruang itu tidak terbuka.

Misalnya, dulu ada aturan direktur Pertamina yang membolehkan NOC asing walaupun ternyata negara asing tidak punya ladang minyak. Jadi, NOC-nya bodong. Sebetulnya, mereka pedagang perantara. Itu kan tempat untuk bersembunyi.

Bagaimana agar ini tidak terulang?

Menata organisasi juga tidak bisa sepotong-sepotong. Jadi begitu orang di-install, diawasi terus-menerus, diaudit, dan bagaimana caranya dijaga. Kalau dari presiden, wapres, dan menko, menteri ESDM, menteri BUMN komitmen semua, sampai direksi Pertamina orang bersih dan tidak punya kepentingan, rasanya main-main di lapangan juga mikir

Mungkin pada awal masih coba-coba. Tapi, begitu melihat seluruh garis lurus dan kepemimpinan orang-orang yang benar, orang-orang yang lurus, yang gituan lama-lama akan hilang. Yang paling benar adalah mengubah perilaku dengan budaya, bukan dengan audit.

ISC kemudian ambil alih fungsi Petral. Apakah bapak yakin ISC bisa gantikan Petral dengan lebih bersih?

Belum yakin, selama lapisan lapisan ISC belum diganti oleh orang-orang yang bersih. Saat ini belum sepenuhnya bersih karena belum ada pergantian yang masif. Lapis-lapis yang dulu menjalankan itu. ISC harus lakukan massif restructure, dan itu jadi perhatian saya juga.

Anda bilang soal mengubahnya lewat budaya. Yang Anda lakukan untuk mengubah budaya itu bagaimana?

Saya sadar itu bukan waktu yang pendek. Misal direktur utama Petral yang baru diangkat dulu, beliau orang jujur dan orang baik, lurus dan pintar. Orang begini punya batas kepatutan. Begitu diangkat dan melihat beban sama gaji itu jomplang sekali, dia merasa gajinya terlalu besar. Mungkin Anda masih ingat dirut Petral yang dulu meminta pesangon 1 juta dolar AS.

Ketika orang lurus ditunjuk, dia merasa, "Loh, beban begini kok gaji segini? Sementara di nasional enggak seharusnya segini." Ini kan satu sikap keteladanan namanya. Yang kemudian orang itu diberi contoh untuk bergerak ke arah yang lebih patut. Nah, di level saya, barangkali seluruh ucapan dan tindakan saya, keputusan saya, akan mewarnai seluruh sektor.

Jadi, kalau menteri enggak neko-neko, enggak meres-meres, enggak main proyek, tidak menggunakan kewenangan untuk ngutip, kan lingkungan jadi bersih. Itu yang saya maksud kultur. Perilaku pemimpin akan sangat mewarnai institusi.

Belakangan Anda terkesan sedang mengusik sarang mafia. Anda tidak merasa takut?

Ada dua hal yang ingin saya share. Pertama, seluruh literatur diskusi mengenai Indonesia masa depan itu pesannya adalah satu: Indonesia melakukan yang namanya reformasi struktural. Itu gambar besarnya begitu. Subsidi diberesin, perizinannya dibereskan, reformasi birokrasi. Sampai pada sumbatan keputusan yang mentok diselesaikan, izin disesuaikan, sumbatan birokrasi disesuaikan.

Hulu dari perekonomian adalah migas. Kalau hulu keruh, ekonomi ya repot. Saya sih sampai pada satu keyakinan bahwa ini bukan tugas yang enteng.

Ketika saya kemudian memutuskan menerima amanah ini, tentu dengan hitungan yang sudah saya perkirakan. Karena saya pernah mengalami di dalam. Dalam sistem yang betul, niat baik itu jatuh atau terpinggirkan oleh cengkeraman perilaku pemburu rente. Terus, takut? Ya, konsekuensi pekerjaan kali, ya. Menurut saya, apa yang ditakuti? Semua serangan itu cuma ingin satu, menteri (saya) berhenti.

Bapak juga punya reputasi dulunya sebagai aktivis antikorupsi, apakah itu jadi beban sendiri?

Kalau saya ini seperti aktivisme saja, malah lebih terstruktur. Kalau dulu sebagai aktivis bebas mendorong bagaimana KPK dibangun, dorong transparansi. Tapi kita tidak punya otoritas, bujet, enggak punya tim. Saat ini lebih enak, kita ada semangat membangun dan kebetulan diberi otoritas serta power juga tim hebat. Ada bujet, dikasih kewenangan, apa yang kurang? Jadi apa yang saya kerjakan adalah aktivisme dalam struktur. Justru menjalani ini lebih enak daripada ketika menjadi aktivis bebas. Tentu ada konsekuensi, harus lebih hati-hati, harus perhatikan rule regulasi.

Target energi terbarukan cukup lumayan, 25 persen pada 2025. Anda sudah bilang bahwa ini tidak pernah diurus, jadi bagaimana caranya?

Teman-teman di direktorat EBTKE katakan potensi juga besar. Saya percaya itu karena sebetulnya pemain dunia melirik kita luar biasa. Masalahnya adalah daya saing tarif. Jadi Kalau bagaimana menjalankannya, kita harus meyakinkan bahwa kita harus membangun pasar.

Karena salah satu yang membuat harga mahal karena skala masih kecil. Karenanya, harus diubah agar skala ekonomi harga turun. Tugas pemerintah apa? Ya, regulasi stimulus dan melakukan project pioneer agar investor masuk. Kalau migas dan mineral pasar sudah jadi. Yang EBTKE ini belum, makanya dalam jangka pendek tahun depan kita harus dapat bujet yang besar untuk memberi stimulus swasta.

Kalau pemerintah beri stimulus Rp 10 triliun dan berharap donor internasional masuk dengan katakanlah Rp 20 triliun, itu kan sudah Rp 30 triliun jadinya. Maka kita berharap swasta bisa masuk Rp 70 triliun, katakanlah. Itu sudah 100 sendiri itu. Jadi tugas pemerintah kasih regulasi yang menarik. Kasih stimulus dan fasilitasi supaya market terbentuk. Kalau market terbentuk demand akan tumbuh. Itu yang akan sustain pertumbuhan dari EBTKE.

Masalah lain yang cukup sensitif adalah penentuan harga BBM. Bapak sempat bilang akan dikaji periode penentuan harga. Bisa dijelaskan?

Saya melihat saat ini secara realistis, ini tahun pertama menerapkan kebijakan subsidi dicabut, kecuali solar, minyak tanah, dan Premium untuk wilayah Jawa, Bali, dan Madura. Jadi, dalam perjalanan satu tahun ini pastilah kita banyak yang diambil.

Saya harus katakan ini trial and error. Namun, namanya satu kebijakan pasti begitu. Orang boleh katakan, "Loh, kok masih belajar?" Semua kebijakan pasti belajar, kok. Realistis saja. Jadi dalam perjalanan ke depan, kita lihat satu tahun seperti apa.

Saat ini Pertamina menanggung selisih negatifnya. Namun, kita komitmen untuk BBM subsidi, pemerintah akan bertanggung jawab.

Caranya bukan dengan menambah subsidi. Karena subsidi susah dicabut. Jadi, bagaimana caranya? Nanti dikompensasi pada peninjauan kembali harga. Apakah tiga atau enam bulan, masih kita kaji. Tapi, kita sedang mencari pola yang Pertamina tidak rugi dan masyarakat tidak menanggung akibat yang terlalu naik turun.

Soal Komite Eksplorasi Nasional, ide besarnya seperti apa?

Apa yang saya pikirkan saat membentuk itu, semua orang berteriak bahwa sebetulnya Indonesia masih punya ceruk atau cekungan migas atau potensi sumur yang belum di-eksplor. Sementara, sekian belas tahun kita tidak punya temuan yang signifikan. Maka dari itu potensi ini kemudian kita tengok. Terus kalau potensi ada, mengapa tidak dilakukan? Kemudian kalau ada, mengapa tidak dilakukan?

Ternyata hambatannya regulasi, hambatannya ada insentif yang kurang menarik bagi pengusaha migas hulu untuk melakukan eksplorasi. Soal split antara pemerintah dan pengusaha. Soal panjang waktu kontrak, karena tempat makin jauh, makin sulit, tapi risiko makin besar. Tapi, bila hanya dikasih waktu 10 tahun, kurang menarik.

Makanya, pertama, lihat ini semua. Komite ini bagaimana caranya bisa muncul kebijakan baru supaya investasi di bidang hulu bisa bergairah. Kedua, setelah regulasi ditinjau dan dirumuskan, berbagai kebijakan harus dengan eksekusi. Eksekusi ini pasti memerlukan koordinasi dari berbagai pihak. Komite ini yang jadi pengurai bottle neck dan melancarkan hubungan antara pemerintah dengan pihak lain, termasuk pengusaha. Tentu saja ada dirjen migas ada SKK Migas, tapi mereka ada tugas rutin. Kalau tim ini bisa done sebagai tim ad hoc yang lincah.

Targetnya adalah mengidentifikasi potensi yang masih bisa diidentifikasi dan memetakan, nanti kira-kira prioritas yang mana yang mau didahulukan dan dibagi kepada siapa penawaran eksplorasi dilakukan. Diharapkan dalam 3-4 tahun kita ada keyakinan cadangan kita naik. Kalau cadangan naik, nanti akan ada peningkatan produksi. Paling tidak saya ingin tinggalkan kantor ini nanti ada database atau satu peta di mana cadangan ini meningkat.

n c85 ed: mansyur faqih

***

Tak Gentar dengan Mafia Migas

"Apa yang ditakutkan?" Begitu jawaban singkat Sudirman Said saat ditanya apakah merasa gentar ketika melakukan perlawanan terhadap mafia migas. Sudirman mengaku, apa yang ia lakukan sebelum ini, termasuk pembubaran Petral, adalah bentuk dari reformasi struktural. Cara ini ia anggap ampuh untuk menjegal langkah para pemburu rente, mafia yang berupaya mengambil keuntungan secara tidak sehat dalam industri minyak dan gas Indonesia.

Sudirman mengaku tidak takut jika harus berhadapan dengan ancaman dari para mafia ini. Lebih lanjut, dia mengatakan, posisi sebagai menteri bukan karena permintaannya. Sehingga bila terpaksa kehilangan jabatan menteri pun, Sudirman mengaku tidak takut.

"Ya, konsekuensi pekerjaan kali, ya. Menurut saya, apa yang ditakuti? Semua serangan itu kan kepengen cuma satu, saya berhenti. Kan gitu? Lah saya dulunya enggak lamar kerjaan ini. Kalau berhenti, ya, balik ke normal lagi, enggak ada yang hilang. Jadi ini bukan sesuatu yang musti ditakuti," ujarnya kepada Republika.

Sudirman mengisahkan awal mula menerima amanah sebagai menteri ESDM. Sabtu, 25 Oktober 2015, Sudirman bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Saat itulah dia kemudian ditanya oleh Jokowi tentang visi dan misi dalam mengelola tata niaga migas, termasuk terkait upaya pemberantasan mafia migas.

"Salah satu yang ditekankan adalah pertanyaan beliau, bagaimana cara atasi mafia ini. Karena beliau punya keyakinan bahwa ini persoalan yang menggerogoti masalah kita," kenang Sudirman.

Jauh sebelum pertanyaan presiden saat itu, dia sadar betul tantangan besar yang harus dihadapi untuk membenahi tata kelola migas. Berdasarkan pengalamannya dalam dunia migas pada masa lalu, dia sadar betul bahwa para pemburu rente tidak akan tinggal diam.

"Karena saya pernah mengalami di dalam. Dalam sistem yang betul-betul, niat baik itu jatuh atau terpinggirkan oleh cengkeraman perilaku pemburu rente," katanya.

Tak lelah, Sudirman selalu mengimbau kepada para pemburu rente untuk berhenti menggerogoti negara. "Menurut saya kalau ada pihak yang ingin terus kangkangi dengan niat buruk, dia egois dan jahat. Dia hanya memikirkan kepentingan sendiri. Enggak pikirkan anak cucu. Dan saya bilang kepada siapa pun yang punya niat itu, "Mbok, sudahlah. Karena hidup kalian pasti enggak tenang. Kepingin terus merusak walau sudah kaya raya dan berkuasa tetapi tidak puas. Menurut saya sudah setop lah," lanjutnya.  n c85 ed: mansyur faqih

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement