Senin 27 Oct 2014 13:00 WIB

bincang bisnis- Suzy Hutomo, CEO Body Shop Indonesia: Konsumerisme Mengubah Gaya Hidup Kita

Red:

Hidup dekat dengan alam sedari kecil membuat Suzy Hutomo akrab dengan isu-isu lingkungan hingga saat ini. Dalam berbisnis ia percaya bisnis yang selaras dengan alam adalah bisnis yang berkesinambungan dan tetap bisa menguntungkan. Suzy pun berusaha menyebarkan virus gaya hidup hijau pada orang-orang yang ia temui. Berikut perbincangan wartawan Republika Meiliani Fauziah dengan CEO Body Shop Indonesia ini di rumahnya di Ubud, Bali.

Bagaimana awal perkenalan dengan gaya hidup ramah lingkungan?

Saya dulu tinggal di Pasar Baru dan sering ke Puncak tiap akhir pekan. Waktu akhir 60-an, Puncak masih hijau sekali. Kita bisa lihat banyak sarang burung karena banyak pohon. Pohonnya suka saya panjat untuk ambil telor-telornya. Masih ketemu bebek, burung yang jatuh dari sarang, panen jagung, dan lainnya.  Karena sering main di alam terbuka, jadi suka alam sampai sekarang. Ibu saya juga punya pertanian organik, beliau menjadi pembina petani organik.

Kapan Anda betul-betul menerapakan konsep green living dalam kehidupan?

Jadi, waktu saya kuliah di luar negeri ada banyak pergerakan yang berhubungan dengan lingkungan, itu sekitar awal tahun 70-an. Saya ikut pergerakan itu, mulai kampanye, masuk organisasi Greenpeace, ikut kampanye WWF, jadi banyak tahu tentang dunia ini.

Pernah baca buku Silent Spring karangan Rachel Carson? Itu kan ceritanya suatu hari akan datang di mana musim semi menjadi begitu sunyi, tidak ada burung, gak ada kupu-kupu.

Terus mulai memasuki zaman anti toxic, saya ikut pergerakan itu. Ibu saya juga suka yang natural, bukan sesuatu yang kimia karena tubuhnya sensitif. Kita di Indonesia  masih pakai pestisida yang sudah dilarang di banyak negara. 

Bagaimana penerapan green living tahun 70-an, ketika Anda kembali ke Indonesia?

Belum begitu hijau, tapi lumayan natural waktu itu. Belum banyak kimia, Indomie masih barang mewah. Kita makan kalengan udah keren banget, padahal kan itu makanan murah. Apa-apa dibungkus daun, bukan kertas seperti sekarang.  Tapi, tahun 80-an masa konsumerisme mulai. Sedikit-sedikit dibungkus plastik. Itu di kampung-kampung ya, itu banyak dijual kerupuk warna merah-merah begitu. Saya pernah tolong anak orang yang sakit. Kita pergi ke rumahnya. Terus kita lihat makan siang? Biskuit! Gimana mau sembuh kalau makanannya itu. Orang sakit itu butuh sayuran. Tapi, ibunya bilang gak ada waktu buat siapin sayuran. Ini salah satu perubahan yang tidak positif dari konsumerisme. Lalu pelan-pelan ikut juga gaya hidup hijau. Makanya saya tidak setuju itu yang buat ukuran kecil. Satu biskuit kecil isinya dibungkus. Bayangin, makan segitu cuma dua detik hilang, tapi sampah banyak banget.

Sebagai pebisnis, Anda dikenal juga sebagai aktivis ligkungan. Bagaimana prosesnya?

Mungkin karena melihat ibu saya yang senang sekali pada makanan organik. Dari situ saya mulai eksplorasi ke banyak sektor. Kenapa Body Shop? Karena saya tidak tertarik pada kosmetik yang biasa. Saat itu saya dan suami sedang ingin membangun bisnis yang baru. Saya pun sudah lama jadi konsumen Body Shop dan kagum sekali pada Anita Roddick (pendiri Body Shop).

Setelah kenalan langsung saya makin aktif dengan terlibat dalam NGO. Saya pikir kalau hanya bicara tanpa menerapkan konsep green living itu sendiri kan gak tepat. Misalnya begini, ada tas dari bahan daur ulang seperti plastik, siapa yang mau beli? Jadi saya usahakan setidaknya bantu agar industri hijau tumbuh dan berkembang.

Sejak kapan serius terjun untuk menyadarkan masyarakat tentang lingkungan?

Sekitar tahun 1992. Saat itu saya kenalan dengan WALHI, di USA saya juga kenal banyak orang yang bergerak di isu lingkungan. Sekarang di Ubud juga banyak sekali orang yang prohijau. Masyarakat Bali sejak dulu begitu menghargai alam. Hanya saja konsumerisme yang bikin berubah. Bali itu budayanya sangat menghormati alam.

Pernah lelah dalam usaha mengedukasi masyarakat?

Pasti pernah. Lelah dan bingung, terutama bagaimana mengubah sikap orang-orang, termasuk keluarga inti dan keluarga besar. Di Indonesia itu kan kita gak pernah tinggal sendiri, di sini ada tetangga, ada pembantu. Nanti pembantu bisa adaptasi, sopir gak bisa. Saya sendiri bukan orang yang telaten, yang bisa setiap hari ceramah. Untungnya anak-anak saya cukup pro. Mereka yang menguatkan, ayo Mom diusahakan. Satu-dua orang akhirnya tertarik. Suasana jadi enak.

Kalau sekarang, kita upayakan dengan kolaborasi. Cari  orang-orang yang sevisi. Dulu saya suka undang ibu-ibu tetangga di lingkungan untuk belajar buat keranjang. Terus mengelola kompos juga gak mudah, perlu pengetahuan. Saya belajar empat tahun baru mengerti bagaimana biar komposnya tidak bau. Sekarang saya punya bank sampah. Staf saya sudah bisa kelola kompos.

Bagaimana menyeleraskan antara bisnis dan lingkungan?

Berjalan berbarengan. Jadi, waktu itu saya sudah capek kerja setelah 10 tahun. Jadi, ketika umur 32 tahun, ingin punya bisnis sendiri. Tapi, saya gak mau yang hanya jualan terus, cari profit, cari untung saja. Saya gak mau bangun pagi hanya mikirin profit.  Jadi, saya punya ide buat bawa Body Shop ke Indonesia, saya terus tulis surat. Ternyata Body Shop memang sedang mencari gedung baru untuk franchise di Indonesia, mereka tertarik dengan gedung yang saya punya. Saat itu saya dan suami yang awalnya sudah punya banyak rencana langsung banting setir. Waktu itu banyak yang bilang ini bakal gagal karena gak ada yang peduli lingkungan. Tahu sendiri kan kotak Body Shop kayak apa? Tokonya membosankan, hijau-hijau begitu. Tapi saya yakinkan diri, pelan-pelan saja, kita pasti bisa maju. Saya selalu yakin kalau produk ini bagus dan alami.

Apakah ada bahan-bahan yang dihasilkan di Indonesia?

Ada. Jadi kalau bahan-bahan alami sebetulnya kita punya cukup banyak. Tapi, Indonesia punya kelemahan, kita gak punya banyak NGO yang bantu petani. Kita kalah sama di Fiji, misalnya, petani itu dibina, dijari bahasa Inggris. Kita tuh lemah sekali di bahasa Inggris. Begitu juga yang terjadi di India dan Filipina, petaninya bisa ngomong Inggris. Kita juga kalah dari segi higienis.  Lalu penyusunan proposal, kita lambat sekali.

 

Jadi, belum ada produk yang bahannya dari Indonesia?

Ada tapi tidak banyak. Sebatas proyek komunitas. Seperti misalnya akar wangi, sebagian kita ambil bahannya dari Indonesia. Kita beli di open market.

Bagaiman menyelaraskan antara bisnis dan lingkungan?

Waktu Anita Roddick ditanya, are you business women or environmentalist? Dia bilang keduanya. Anita Roddick itu sudah mengadaptasi gaya hidup hijau sejak tahun-70-an. Jadi, saya yakin 10 tahun dari sekarang seorang Suzy Hutomo bukan lagi barang aneh. Konsumen sekarang sudah pintar, mereka kritis.  Saya yakin, suatu hari produsen harus bayar atas sampah-sampah mereka. Di Eropa tren ini sudah terjadi. Di Indonesia akan terjadi walaupun sedikit terlambat.  Sebetulnya "green excecutive" lagi banyak sekali kebutuhannya, semacam pergerakan baru.

Masa depan indutsri hijau seperti apa?

Saya kira bagus. Saya sekarang sedang investasi untuk bisnis yang seperti itu, di mana saya investasi untuk barang-barang yang ramah lingkungan. Ini inovasi, biaya operasional masih rendah. Kalau saya beli produk hijau, manfaatnya banyak.  Botol Body Shop itu, kalau dikembalikan konsumen kita kasih diskon 10 persen. Memang kita masih ada kertas, tapi itu kertas dari industri kayu yang tesertifikasi ramah lingkungan.  Pokoknya, reduce, reuse, recycle.

Tantangan terbesar menjalankan bisnis yang ramah lingkungan?

Orang masih belum ngerti apa keuntungannya untuk dia sendiri. Orang Indonesia belum terbiasa membayar seusatu yang keuntungannya bukan untuk dia, tapi lingkungan. Padahal, selama ini kita dikasih banyak banget gratisan dari alam. Kita dapat angin, dapat oksigen, dapat air bersih gratis.  Jadi, sebetulnya kalau mau jadi green itu gampang. Pakai barang yang lebih mahal, lebih organik, tapi penggunaannya dihemat. Jadi, pengeluaran satu bulannya sama saja. Vitamin dan minertal lebih banyak di produk-produk organik.  Jadi, menurut saya organik itu murah, tidak ada pestisida, anak-anak saya sehat.

Ada cerita yang berkesan tentang sampah?

Saya pernah ke Pinck beach di Pulau Komodo. Saya lihat di situ banyak sampah, mungkin dari daerah Rinca. Lalu saya pungut satu-satu, kemudian saya kasih pemandunya agar tolong dibuang. Lalu masuklah dia ke dalam pulau, tak lama dia keluar, saya heran.Ternyata sampahnya dia buang ke pulau. Padahal, maksud saya bawa ke perahu, nanti buang ke Labuan Bajo. Tapi memang susah. Coba kalau misalnya kita ke Bali, lihat itu hutan mangrove. Akarnya penuh apa? Sampah! Saya sering cuap-cuap di twitter tentang hal ini, untunglah sekarang medianya banyak. N Meiliani Fauziah

***

Green Living Bukan Hanya untuk Orang Kaya

Suzy mengakui tidak mudah menerapakan gaya hidup hijau di rumah sendiri. Perlu kesabaran dan konsistensi agar semua penghuni rumah mau berkomitmen menjaga lingkungan.  "Tiga sampai enam bulan pertama pasti berat. Mulainya harus pelan-pelan," katanya ketika berbincang dengan Republika di rumahnya di Ubud, Bali.

Kesibukan Suzy sebagai CEO Body Shop Indonesia membuatnya tidak bisa mengontrol perilaku warga rumah secara terus-menerus. Agar kesadaran menjaga lingkungan tumbuh, maka Suzy kerap mendatangkan sesama aktivis lingkungan untuk memberikan pemahaman kepada seisi rumah.

Ia pun menampik jika gaya hidup hijau hanya untuk orang kaya. Bagi Suzy, konsep ramah lingkungan justru sudah jauh diperkenalkan oleh orang-orang di perkampungan sejak jaman dahulu.  Ibu tiga anak yang juga terlibat kampanye lingkungan bersama AL Gore ini percaya bahwa gaya hidup hijau bisa diterapkan semua kalangan. Kelas menengah juga dinilai cocok menjadi pelopor penerapan gaya hidup ini, karena dianggap lebih punya waktu.

Menurut dia, kita bisa memulai dengan memberikan makanan yang baik pada anak-anak. Bagi yang memiliki asisten rumah tangga. Lalu upayakan untuk makan apa pun yang sedang banyak di pasar. Jangan memaksakan mencari buah yang sedang tidak musim. 

"Intinya, konsumsi apa yang diberikan alam, agar kamu betul-betul dapat yang kamu perlukan," sarannya. Masih banyak rencana di kepala Suzy untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat. Ia pun sedang menyiapkan bisnis baru untuk menolong para "pengusaha hijau" mengembangkan bisnisnya. n Meiliani Fauziah ed: wulan tunjung palupi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement