Advertisement

Petualangan @PicnicHolic Menjelajahi Sawarna

Selasa 15 May 2012 11:55 WIB

Red: Miftahul Falah

 

Sawarna yang berwarna

Banyak yang mengatakan Sawarna ibarat intan yang belum terasah. Cantik, namun masih perlu pembenahan di sana-sini.

Buat saya, Sawarna adalah sebuah desa yang berwarna. Lansekap pantai, persawahan dan perbukitan menyatu dalam satu garis penglihatan. Jika menjelajah lebih dalam, goa-goa dengan stalagmit dan stalagtatit rupawan menghiasi dinding-dinding basah. Desa wisata yang berada di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten ini menawarkan pesona alam yang beragam dalam satu wilayah.

7 jam perjalanan dari Jakarta menuju Lebak, Banten, mengantarkan kami ke sebuah jembatan gantung yang terbuat dari kayu. Jembatan inilah satu-satunya akses untuk masuk ke Desa Sawarna. Jembatan sederhana sepanjang 50 meter dengan lebar tidak lebih dari 1 meter ini, menjadi vital baik bagi pejalan kaki maupun pengendara motor. "Kesederhanaan" jembatan gantung ini  justru membuat Desa Sawarna mempunyai keunikan.

Selepas meniti jembatan "goyang",  beragam homestay sederhana terlihat berdiri di antara rumah-rumah penduduk setempat. 3 tahun terakhir, masyarakat setempat mulai menyadari akan potensi wisata di daerahnya. Saya teringat pertama kali kesana tahun 2008, saat harus menginap di rumah penduduk karena memang belum ada penginapan sama sekali. 

Penginapan yang kami tempati kali ini lokasinya cukup strategis. Berada di pinggir sawah dan tidak jauh dari Pantai Ciantir. Dengan bangunan yang terbuat dari gedhek (bambu) dan berbentuk panggung, penginapan Bu Enda menjadi tempat yang nyaman bagi wisatawan. Tak heran, untuk menyewa penginapan ini harus jauh-jauh hari sebelumnya karena selalu terisi saat akhir pekan.

Di samping penginapan, terdapat saung luas yang kami pergunakan untuk melepas lelah dan makan. Makan dengan menu tradisional di pinggir sawah menjadi salah satu momen menarik, karena jarang atau bahkan hampir tidak pernah kami lakukan. Hembusan angin yang semilir dan kelapa segar yang kami nikmati di saung itu menjadi kenikmatan tersendiri. Belum berkunjung kemana-mana pun, Sawarna sudah menghipnotis kami. 

Pantai Ciantir

Cukup 5 menit jalan kaki dari tempat kami menginap, Pantai Ciantir menyuguhkan pemandangan yang menyegarkan penglihatan. Latar belakang perbukitan dan persawahan di pesisir pantai, membuat beberapa fotografer yang kebetulan ikut serta, tidak perlu "kerja keras" untuk mendapatkan foto yang bagus. Sesekali kami bermain air, tapi tidak berenang. 

Pantai di Selatan Jawa seperti Pantai Ciantir ini memiliki kharateristik ombak yang tinggi dan menggulung, sehingga lebih cocok untuk peselancar. Namun, walaupun kami bukan peselancar, hamparan pasir pantai yang putih dan lembut mampu mengajak kami untuk lebih lama leyeh-leyeh di sana. 

Pantai Tanjung Layar

Sawarna juga mempunyai pantai yang unik, Pantai Tanjung Layar. Sesuai namanya, agak jauh dari bibir pantai terdapat 2 batu karang besar yang mirip dengan layar perahu. Karang yang menjulang tersebut seperti berdiri di atas batu karang yang datar di tengah laut.

Jika kita berdiri di tempat tersebut, seperti berdiri pada sebuah geladak kapal. Datar dengan serpihan-serpihan fosil cangkang kerang yang melekat pada karang. Jika air surut, ribuan bintang laut berwarna hitam terlihat menyebar dari bibir pantai hingga ke Batu Layar. 

Pantai Lagoon Pari

Tempat sempurna untuk mengabadikan sunrise melalui lensa. Untuk mengejar sunrise, kami menggunakan jasa ojek motor setempat. Dengan biaya Rp. 60.000/ orang, kami berangkat dari penginapan.

Jalan yang dilalui luar biasa ekstrem. Motor yang kami naiki harus melewati persawahan, perkebunan, naik turun di jalanan yang licin. Bahkan, sampai berjalan di atas karang-karang di bibir pantai.

Para Tukang Ojek ini terlihat lihai mengendalikan motornya di jalanan yang licin dan gelap. Sesekali, kami juga harus turun dari motor untuk ikut mendorong, jika jalanan yang kami lalui terlalu terjal.

Pantai Lagoon Pari mempunyai bentangan pasir yang lebih luas dan pantai yang lebih landai. Setelah hunting sunrise, kami menyempatkan diri berenang. Namun, tetap waspada akan ombak yang datang. 

Goa Lalay

Lalay dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti kelelawar. Ribuan kelelawar menggantung pada dinding-dinding Goa Lalay.

Menyusuri Goa Lalay, ibarat menyusuri sungai di dalam perut bumi. Untuk melihat keindahan stalagmit dan stalagtitnya, kita memang harus membiarkan sebagian kaki kita hingga sebatas lutut terendam air yang berlumpur.

Sepanjang goa, jalan di dalam memang berlumpur dan berair. Jangan lupa membawa senter ataupun head lamp jika akan memasuki Goa Lalay.

Perjalanan menuju goa ini pun cukup menarik. Kita harus melewati beberapa kampung, menyeberangi sungai, jembatan, serta melintasi hamparan persawahan. Jangan lupa pula untuk membawa air minum dan topi, karena perjalanan hampir 2 jam dari penginapan Sawarna.

Sawarna memang berwarna. Keramahan masyarakat setempat membaur dengan keindahan lansekapnya. Bentangan pantai-pantai yang lain sepanjang 60 Km juga siap dijelajah. Goa-goa yang lain juga siap disusuri. Saran kami jika kesana, janganlah saat musim hujan. Perjalanan menjadi lebih sulit karena tanah basah, serta foto yang dihasilkan juga menjadi kurang berwarna. 

Nyanyu Partowiredjo, pelaku wisata

[email protected]

Rubrik ini bekerja sama dengan PicnicHolic

www.picnicholic.webs.com

@PicnicHolic

 

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA