Kamis 04 Oct 2012 19:00 WIB

Bangga Berbatik di Luar Negeri

Berpose dengan batik di depan sekolah, telihat bendera Perancis dan EU di latar belakang Kiri-Kanan: Syawalianto Rahmaputro (Indonesia), David Luzuliaga (Ecuador), Hari Sinuhaji (Indonesia), Shamasin Das (India), Thibault Rannou (Perancis), Caitlin Logan (
Foto: ppi
Berpose dengan batik di depan sekolah, telihat bendera Perancis dan EU di latar belakang Kiri-Kanan: Syawalianto Rahmaputro (Indonesia), David Luzuliaga (Ecuador), Hari Sinuhaji (Indonesia), Shamasin Das (India), Thibault Rannou (Perancis), Caitlin Logan (

REPUBLIKA.CO.ID,Tidak ingin kalah dengan semarak Hari Batik (2 Oktober) di Tanah Air, saya bersama dua orang teman yang juga sedang berkuliah di Ecole des Mines de Nantes (Prancis) memanfaatkan kesempatan ini untuk memperkenalkan batik ke dunia internasional. Kami mengajak beberapa kawan kami untuk ikut mengenakan batik pada hari tersebut. Kebetulan beberapa pernah menerima oleh-oleh baju batik, sedangkan bagi yang belum punya kami pinjamkan. Aksi ini cukup menarik perhatian sehingga banyak yang memuji serta bertanya akan keunikan baju batik tersebut.

Untungnya saya pernah main ke museum batik di Solo, sehingga saya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari teman. Mungkin tidak semua tahu bahwa ciri khas batik bukan terletak pada motifnya, melainkan pada proses pembuatannya yang disebut membatik. Kain Batik asli dibuat oleh tangan manusia untuk untuk menutup pola dengan lilin, mencelupkannya ke pewarna, di mana hal ini dilakukan beberapa kali dengan warna berbeda, hingga akhirnya lilin dilelehkan untuk mendapatkan hasil akhir yang sesuai dengan corak yang  didesain.

Berkat meningkatnya peringkat kelayakan investasi Indonesia dan berbagai perkembangan lain, negara kita semakin lama semakin dikenal di dunia Internasional. Tapi apakah kita sudah dianggap ‘sejajar’ oleh negara-negara maju yang sering dijadikan acuan? Mungkin saat ini belum sepenuhnya karena di kancah dunia toh Indonesia masih hanya bisa ikut-ikutan kebijakan internasional.

Akan tetapi ketika saya melihat kegembiraan dan bahkan kebanggaan teman-teman asing ketika berpose dengan baju batik yang menurut mereka sangat cantik itu, saya melihat bahwa bangsa Indonesia seharusnya memposisikan diri sejajar. Tanpa ada rasa inferioritas (merasa orang lain lebih unggul) yang selama ini hinggap. Dan tidak perlu menunggu sampai 2030 di mana Indonesia diramalkan oleh perusahaan konsultan ternama, McKinsey, akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di seluruh dunia.

Semangat memajukan bangsa yang dimiliki masyarakat Indonesia tidak perlu diragukan lagi, namun menurut saya tidak perlu menjadikan kemewahan gaya hidup seperti yang dimiliki kebanyakan negara barat sebagai target pembangunan. Malahan, ‘kemakmuran’ yang selama ini didambakan tersebut terbukti menjeremuskan banyak negara barat ke dalam krisis.

Menurut saya, kuncinya agar kita bisa pede di depan orang asing adalah dengan mengenali jati diri kita dan menerima fitrah tersebut. Buktinya, karakter mahasiswa Indonesia yang religius, tepo-seliro, bergotong-royong, dan hangat (gemar tertawa) cukup dikagumi dikalangan mahasiswa asing di kampus saya saat ini di Perancis. Terlebih lagi, batik pun hanyalah salah satu dari banyaknya warisan seni-budaya yang bernilai guna dan bercita-rasa tinggi. Berbagai kearifan lokal lain pun bila mampu kita pahami dan manifestasikan dalam kehidupan sehari-hari tentunya akan membangkitkan kebanggaan diri.

Syawalianto Rahmaputro

Ketua  PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di kota Nantes, Prancis (2011-2012)

Rubrik ini bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia

sumber : PPI
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement