Jumat 27 Jul 2012 00:35 WIB

Jelajahi Situs Peradaban Islam di Hadhramaut

hadramaut
Foto: dzul fahmi
hadramaut

REPUBLIKA.CO.ID,Harus diakui, menelusuri warisan peradaban dan kebudayaan Islam di Provinsi Hadhramaut tak ubahnya menggali mutiara yang lama terpendam.

Sejuta situs peradaban Islam masih eksis dan bisa didapati di negeri para wali ini. Beberapa hari menjelang bulan suci Ramadhan yang lalu, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman menggelar kegiatan ilmiah dengan menjelajahi sejumlah tempat bersejarah, seperti beberapa perpustakaan tua, masjid kuno yang didirikan para sahabat, serta tempat-tempat penting lainnya. Tentu saja, banyak ilmu dan wawasan baru yang diperoleh melalui kegiatan ini.

Rabu, 18 Juli 2012, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman mengadakan perjalanan ilmiah. Acara yang dilaksanakan oleh Departemen Seni dan Budaya (Depsenbud) Pusat PPI Yaman tersebut diisi dengan menjelajahi sejumlah situs peradaban dan kebudayaan Islam yang berada di Provinsi Hadhramaut. Acara ini diikuti sekitar 36 peserta yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Syariah Universitas al-Ahgaff Tarim, pelajar Ribâṯ Dâr al-Ghurabâ, dan pelajar Dâr al-Mushṯafâ dengan mengendarai bus.

Rombongan bertolak pukul 09.00 pagi dari halaman Universitas al-Ahgaff. Lokasi pertama yang dikunjungi adalah al-Ahgaff Manuscripts Library (Maktabah al-Ahgaff li al-Makhṯûṯât), sebuah perpustakaan manuskrip terbesar di Yaman yang terletak di jantung Kota Tarim. Perpustakaan yang dirintis tahun 1930 M. ini merupakan salah satu di antara sekian banyak perpustakaan di Negeri Saba yang masih eksis menyimpan ribuan manuskrip autentik tulisan tangan Salaf al-Ṣâliḫ. Hingga saat ini, perpustakaan yang disempurnakan pembangunannya tahun 1972 tersebut menyimpan kurang lebih 6200 judul manuskrip dari berbagai disiplin ilmu, seperti Tafsir, Hadits, Falak, Fikih, Tasawuf, Sejarah, Sastra, Ilmu Bahasa, Kedokteran, Geografi, Arsitektur, Matematika dan lain-lain.

Sesampai di sana, rombongan langsung disambut hangat oleh Raʼis ʻAm Maktabah, Husein Umar al-Hâdî. Selain menjelaskan hal-hal penting yang berkaitan dengan Maktabah, Husein Umar juga memberikan “kuliah manuskrip” selama kurang lebih setengah jam. Serentak, para peserta terpukau dengan kegiatan tersebut karena banyak ilmu baru yang mereka dapatkan terkait dunia kemanuskripan.

Setelah kurang lebih dua jam mengunjungi Maktabah, rombongan langsung menuju lokasi kedua, yaitu Istana al-Katirî, Istana Kerajaan Seiyun. Perjalanan menuju Kota Seiyun membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Kepadatan lalu lintas jalan raya Kota Seiyun menjelang bulan suci Ramadhan mengakibatkan jalanan macet, sehingga dengan sangat ”terpaksa”, para rombongan harus menyisir jalan menuju lokasi dengan berjalan kaki. Kendati demikian, besarnya antusias untuk menggali permata demi permata peradaban Islam membuat mereka tetap bersemangat dan pantang mundur.

Kota Seiyun merupakan salah satu kota bersejarah di Negeri Yaman. Ia merupakan daerah lembah terbesar di Hadhramaut, terletak di sebelah barat, kira-kira 12 mil dari Kota Shibam, dan 22 mil sebelah timur dari Kota Tarim. Sebuah informasi tertulis dari batu prasasti menyebutkan, bahwa kota tempat kelahiran Habib Ali Muhammad bin Husein al-Habsyî –Pengarang Mawlîd Simṯu al-Durar– ini  telah ada sejak abad ke-4 M. dan merupakan kota yang memiliki perekonomian kuat dengan kebun anggur yang luas.

Meskipun kenyataannya, Kota Seiyun sekarang tampak gersang. Keberadaan Istana (Qaṣr / Castle)Kerajaan di pusat Kota Seiyun, merupakan bukti tak terbantahkan bahwa kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan di zaman dahulu. Bahkan, jika berbincang Seiyun sebagai pusat pemerintahan, sejarah Qaṣr tentunya tak boleh untuk terlewat.

Istana tanah setinggi 34 meter dan seluas 5460 meter persegi tersebut, selain dikenal dengan sebutan Istana al-Katirî –nama dinasti yang berkuasa paling lama–, ia juga dikenal dengan nama Qaṣr al-Dawil yang berarti istana kuno; Qaṣr al-Tsawrah yang berarti istana revolusi. Bersamaan dengan runtuhnya kolonialisme Inggris sekitar akhir era 60-an, berakhir pula kekuasaan Dinasti al-Katirî. Seiyun lantas berubah status menjadi kota madya di Propinsi Hadhramaut. Dan pada tahun 1984, Istana ini dialihfungsikan menjadi museum penyimpanan benda-benda purbakala, serta pusat kebudayaan masyarakat Seiyun. Babakan sejarah panjang Dinasti al-Katirî terekam dalam buku Târîkh al-Dawlah al-Katiriyyah, karya Muhammad ibn Hisyam.

Memasuki ruangan demi ruangan Istana setinggi tujuh lantai ini, para rombongan serasa memasuki ”dunia lain”. Di lantai dua misalnya, para pengunjung dapat menikmati berbagai macam peninggalan antik dari peradaban Seiyun sebelum Masehi, seperti mata uang kuno, alat pencaharian, serta batu-batu ukiran antik berusia ribuan tahun yang konon memiliki fungsi istimewa dalam dinamika keseharian masyakarakat kala itu.

Di lantai tiga, dipajang alat-alat pertanian, bercocok tanam serta peralatan perang, dan lantai empat dijadikan museum foto yang merekam dokumentasi masyarakat Seiyun selama puluhan tahun. Begitu pula lantai-lantai lainnya yang memiliki kekhususan tersendiri. Bagi pengunjung yang terburu-buru dan tidak memiliki waktu banyak, tidak perlu khawatir, karena kini telah disediakan “bioskop mini” di dalam Istana yang memutar film singkat peradaban Negeri Yaman secara umum dan Seiyun secara khusus.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 13.00 KSA. Lokasi selanjutnya yang akan diincar adalah Kota Shibam. Terik matahari di musim panas seakan menyengat ubun-ubun, sehingga panitia penyelenggara memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk salat dan makan siang. Setelah salat asar berjamaah, bus langsung meluncur ke Kota Shibam. Dari beberapa lokasi yang telah dikunjungi, Kota Shibam bisa dikatakan yang paling unik.

Shibam sering disebut sebagai ”Kota Pencakar Langit Tertua” di dunia, karena dipenuhi gedung-gedung menjulang tinggi terbuat dari tanah liat yang mencapai hingga 500 gedung. Rata-rata tinggi bangunan adalah 100 kaki dengan sebelas lantai, semuanya dibangun dari tanah liat dan dindingnya diolesi dengan kapur. Sehingga kalau dilihat dari kejauhan, Shibam terlihat seperti tumpukan tanah. Bangunan-bangunan tinggi inilah yang menyebabkan kota ini dijuluki ”Manhattan of the Desert”.

UNICEF menyatakan bahwa Shibam adalah peninggalan kuno dunia yang harus dijaga. Kota ini dinilai sebagai salah satu contoh terbaik dari desain kota didasarkan pada prinsip konstruksi vertikal yang telah berumur 600 tahun lebih. Seminar yang diadakan Kementrian Kebudayaan dan Penerangan Republik Yaman tahun 1988 M., yang dihadiri beberapa delegasi mancanegara juga memutuskan, bahwa Shibam, dengan seni khas arsitektur bangunannya, menjadi milik aset dunia yang harus dijaga, bukan milik Yaman semata. Dan pada tahun 1982, Shibam telah ditambahkan ke dalam daftar resmi Warisan Dunia UNESCO.

Saat sampai di lokasi, Shibam di sore hari benar-benar ramai oleh hiruk-pikuk aktivitas penduduknya. Dari yang menggembala kambing, hingga anak-anak kecil yang asyik bermain bola di halaman dengan penuh ceria. Para pengunjung juga dibuat terpukau dengan arsitektur bangunannya yang eksotik. Karena banyaknya tempat bersejarah di Kota Shibam, sedangkan waktu sudah menjelang larut, maka kawan-kawan PPI Yaman memutuskan untuk membidik beberapa tempat yang dianggap paling representatif.

Bidikan pertama adalah Masjid Jâmiʻ Shibam. Berkunjung ke Shibam tentu masih belum sah jika belum memasuki masjid ini. Keistimewaan masjid ini tentu saja bukan karena bangunannya yang megah menjulang sebagaimana masjid-masjid di kota-kota besar di Indonesia, bukan pula karena kubahnya terbuat dari emas. Melainkan karena masjid ini didirikan oleh Sahabat Nabi, Labid ibn Ziyâd al-Anṣârî, ketika diutus oleh Rasulullah untuk membawa bendera Islam ke Negeri Yaman. Hingga saat ini, masjid Jâmiʻ Shibam telah mengalami beberapa renovasi. Bahkan, bangunan otentik yang didirikan Sahabat Labid disinyalir sudah tidak tampak lagi.

Dalam perjalanan historisnya, masjid ini pernah populer dengan sebutan Masjid Harun al-Rasyid. Hal ini disebabkan karena pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun al-Rasyid berperan besar dalam memberikan instruksi untuk merenovasi serta merekonstruksi bangunan masjid hingga menjadi sebagaimana yang ada sekarang. Hal ini begitu tampak pada rancang bangun serta seni ukiran masjid yang bercorak khas arsitektur Abbasiyah. Dan sebagaimana masjid di negeri Yaman pada umumnya, masjid ini juga dilengkapi dengan menara putih nan tinggi. Selain masjid Jami’ Shibam, ada sekitar enam masjid tua lain yang masih berdiri kokoh, antara lain: Masjid Baʼadzib, Masjid Khawqah, dan Masjid al-Madrasah.

Tidak jauh dari masjid Jâmiʻ Shibam, ada sebuah museum kecil bersejarah yang tentu tak boleh dilewatkan begitu saja, apalagi kalau bukan Museum Mimbar. Dari namanya, sudah dapat diprediksi bahwa museum sempit berukuran 10 x 15 meter ini memang menyimpan peninggalan berharga warisan Dinasti Abbasiyah yaitu mimbar kayu. Sebagaimana maklum, mimbar adalah susunan anak tangga yang berfungsi sebagai tempat seorang Imam dalam menyampaikan khutbah kepada para jamaah, khususnya pada ritual salat Jumat.

Mimbar Shibam menjadi saksi bisu bagaimana seorang pemimpin politis sebuah pemerintahan juga memiliki peran vital dalam bidang agama. Usianya yang berabad-abad telah membuat rapuh sebagian besar pilar kayunya, sehingga pemerintah Yaman memutuskan untuk menonfungsikan mimbar itu dan diabadikan sebagai warisan berharga peninggalan sejarah. Museum Mimbar baru dibuka tahun 2009 M, dengan dukungan Tim Teknisi dari Jerman serta donasi dana dari Sekretaris Umum Sektor Pariwisata dan Barang-Barang Purbakala Saudi Arabia,  Sultan ibn Salmin ibn ʻAbd al-ʻAziz. Para pengunjung pun diperbolehkan untuk naik ke mimbar tersebut sekedar untuk berpose dan mengabadikan gambar.

Selepas dari Shibam, sebenarnya masih ada satu lokasi lagi yang direncanakan, yaitu Masjid Tua bawah tanah yang berada di kawasan al-Burr, sebuah kawasan yang terletak antara Kota Tarim dan Seiyun. Namun, dikarenakan waktu yang sudah larut malam, kunjungan ke sana harus ditunda.

Demikianlah rihlah ilmiah yang dilaksanakan dua hari sebelum memasuki bulan suci Ramadan ini. Meski belum bisa dikatakan sempurna, setidaknya kegiatan ini bisa menjadi langkah awal bagi kawan-kawan PPI Yaman untuk terus menelusuri jejak sejarah peradaban Islam di Negeri Ratu Balqis ini, khususnya yang masih belum terjamah.

oleh: Dzul Fahmi (Mahasiswa Fakultas Syariah Tingkat 3, al-Ahgaff University, Tarim – Hadhramaut, Yaman)

 

sumber : ppi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement