Kamis 03 May 2012 14:42 WIB

Menimba Ilmu di Pakistan (1)

Kota Islamabad
Foto: friendscorner.org
Kota Islamabad

Republik Islam Pakistan dengan nama asli Islami Jamhuria e-Pakistan, dengan lagu kebangsaan "Blessed be the Sacred" adalah sebuah negara yang terletak di Asia Selatan. Berbatasan dengan India, Iran, Afghanistan, China dan Laut Arab. Dengan lebih dari 160 juta penduduk dan luas Wilayah 803.000 KM2, Pakistan menduduki peringkat keenam negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Ia juga menduduki peringkat ketiga dalam negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia (setelah Indonesia dan India) dengan perincian, Islam 97%, sisanya Hindu dan Kristen, serta juga salah satu anggota penting OKI. Bentuk negaranya adalah Republik yang dipimpin oleh Presiden dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.

Adapun nama Ibukota Pakistan adalah Islamabad. Daerah hijau subur, luas dan damai. Islamabad sebuah kota yang luas, jalan yang berpagar pepohonan, rumah/gedung besar, gedung publik yang elegan. Kemacetan dan keramaian jarang sekali terjadi, lorong sempit dan rumah-rumah gubuk sangat sedikit. Trotoar merupakan tempat yang teduh dan nyaman berada di deretan belakang dari pohon-pohon flamboyan, jacaranda dan hibiscus. Bunga Ros, Melati dan Bougenvil terhampar di taman-taman dan pemandangan indah terdapat di kota ini.

Pola induk dari kota termodern ini dipersiapkan sejak tahun 1960 oleh Constantinos Doxiades seorang arsitek kebangsaan Yunani. Konstruksinya dimulai pada Oktober 1961. Juga terdapat tempat yang luas untuk berjalan, joging, gerak jalan di sekitar Islamabad di bukit Margalla.

Bukit Margalla merupakan daerah padang rumput, di sini kita dapat melakukan gerak jalan pendek dan panjang dengan pemandangan alam terbuka yang bagus sekali. Dan sekarang Pakistan tengah membangun proyek menghubungkan jalan kecil sepanjang kirakira 120 km. Bahasa nasional Pakistan adalah Urdhu dan Inggris, dan Rupee (Rs) sebagai mata uangnya. Untuk saat ini nilai kurs terhadap dolar: 1 USD $ = Rs. 85.

Negara yang sangat subur ini merupakan penghasil pertanian seperti gandum, beras, katun, tembakau, gula. Dan di samping itu, sumber alamnya juga cukup melimpah seperti sulfur, gip, chromit, minyak, gas, asbes. Maka tak heran jika kita banyak menjumpai pabrik-pabrik industri di Pakistan seperti tekstil, karpet, kulit, semen dan kimia.

Sejarah Berdirinya Pakistan

Pakistan mendapat kemerdekaan dari Inggris pada 14 Agustus 1947. Nama Islam-i Jumhuriya-e Pakistan (Republik Islam Pakistan) memiliki arti dan peran penting dalam perkembangan sejarah Islam modern.  Tampak jelas dalam kata-kata Muhammad Ali Jinnaah -seorang tokoh revolusioner- pendiri negara ini yang mengatakan, "Kita tidak memperjuangkan berdirinya Pakistan semata-mata untuk mendapatkan sebidang tanah, tetapi kita menginginkan suatu wilayah di mana kita bisa menerapkan prinsip dan ajaran Islam".

Sejak perjuangan awal mendirikan negara Islam yang terpisah dari India, hingga terbentuk sebuah negara merdeka, Pakistan telah memberikan sumbangsih jasa bagi umat Islam masa kini. Bagi masyarakat Pakistan, Islam bukan sesuatu yang asing. Sejak pemerintahan Sultan al Walid I (705-715), para pendakwah Islam sudah melakukan ekspedisi dan penyiaran Islam ke seluruh Pakistan (pen: dahulu India) yang saat itu mayoritas beragama Budha.

Namun, pengislaman sesungguhnya baru terjadi pada era Sultan Mahmud al Gaznawi (971-1030), yang berpusat di Kota Gazni, Afganistan. Dan semakin cemerlang pada era Dinasti Mogul berkuasa di India (1526-1858).

Undang-undang Negara juga berdasarkan Syariat yang dilaksanakan oleh pemerintah. Kesan Islam pada sub-benua Asia-Selatan sangat dalam dan dalam jangkauan yang cukup luas. Islam diperkenalkan bukan merupakan suatu agama baru saja, tetapi suatu peradaban baru, suatu cara baru dalam kehidupan dan set nilai yang baru. Dan kesusasteraan dari tradisi Islam, suatu kebudayaan dan pemurnian yang halus, institusi sosial dan kesejahteraan, didirikan dengan aturan Islam di seluruh sub-benua. Sebuah bahasa baru diperkenalkan, Urdu berasal terutama dari Bahasa Arab.

Sebelum pisah menjadi Pakistan, umat Islam India merupakan minoritas amat lemah, di tengah mayoritas Hindu dan kekuasan politik serta militer Inggris. Islam dan Hindu ibarat dua arus sungai yang mengalir dan bersumber dari muara yang berbeda. Walaupun pemeluknya telah hidup berdampingan bersama selama berabad-abad, namun pandangan mereka tentang hidup dan kehidupan merupakan batas pemisah yang tidak bisa dijembatani.

Maka muncullah gagasan membentuk negara sendiri bagi umat Islam. Gagasan yang diprakarsai Sir Sayid Ahmad Khan (l817-1898), kemudian berkembang luas menjadi cita-cita perjuangan, segera dirumuskan oleh Sir Muhammad Iqbal (1873-1938) melalui organisasi "Liga Muslim India". Akhirnya direalisasikan oleh Muhammad Ali Jinnah, yang dibaiat menjadi Qaid-i Azam (Pemimpin Besar) sekaligus Presiden pertama Republik Islam Pakistan.

Dalam salah satu pidatonya ia (Ali Jinnah) mengatakan, "Dari sudut pandang apapun ummat Islam adalah satu bangsa, mereka berhak mendirikan negara sendiri dan menerapkan cara apa pun untuk melindungi dan meningkatkan kepentingan mereka dari dominasi India."

Aral tak henti menghadang pertumbuhan negara yang tengah berjuang menerapkan syari'ah (hukum Islam), yang mengakomodasi demokrasi, HAM, toleransi, dan keadilan sosial tersebut. Mayoritas negara-negara anggota PBB rata-rata "gerah" menyaksikan kemajuan Pakistan di bidang penerapan syari'ah dan pengembangan sains modern.

Puncak kekhawatiran itu, berubah menjadi ketakutan dan berujung kepada konspirasi untuk memecah belah. Tahun 1971 timbul perang saudara antara Pakistan Barat yang dipimpin Presiden Yahya Khan dan Pakistan Timur yang dipimpin Mujibur Rahman.

Dengan bantuan penuh India, serta kelompok konspirasi lainnya, Pakistan Timur berhasil melepaskan diri dari Republik Islam Pakistan. Berdirilah Republik Bangladesh. Republik Islam Pakistan kehilangan satu sayap terpenting, berupa penyusutan wilayah geografis.

Setelah tragedi pisahnya Pakistan Barat-Pakistan Timur, Republik Islam Pakistan senantiasa dililit masalah. Selain ketegangan abadi dengan India, baik mengenai perbatasan maupun "kepemilikan" Khasmir, juga ketengangan internal yang selalu meruntuhkan kewibawaan pemerintahan.

Tahun 1974, Jenderal Yahya Khan dikudeta oleh Jenderal Zulfikar Ali Butho. Juli 1977, Jenderal Ziaul Haq mengambil alih kekuasaan. Ali Butho dihukum gantung (4 April 1979). Pemerintah Ziaul Haq memberi dukungan penuh kepada Mujahidin Afganistan, yang sedang berjuang melawan invasi militer Uni Soviet (1979-1989).

Namun tahun 1988, Ziaul Haq tewas, ketika helikopter yang ditumpanginya bersama Dubes Amerika Serikat di Pakistan, meledak. Kekuasan berpindah. Hingga muncul Benazir Butho, putri mendiang Zulfikar Ali Butho, merebut takhta Perdana Menteri. Hanya bertahan dua tahun. Tahun 1990, Benazir lengser karena dituduh korupsi. Digantikan Nawaz Sharif, seorang pengikut panatik Ziaul Haq. Sejak itu, pemerintahan Pakistan tak pernah stabil.

Serangan AS ke Afganistan awal 2002, membawa pengaruh luar biasa terhadap Pakistan. Peran Pakistan membesarkan Milisi Thaliban, hingga mampu mendirikan pemerintahan Islam di Afganistan tahun 1996, berubah drastis setelah mendapat tekanan keras AS. Pakistan balik membantu AS menghancurkan Milisi Thaliban.

Presiden Pervez Musharraf berperan besar dalam perubahan sikap itu. Seorang Presiden yang berhasil naik tahta dengan aksi kudeta militer tak berdarah ini, merupakan kata kunci bagi perkembangan politik dan ekonomi Pakistan kontemporer.

‘In the Line of Fire’ karya Peresiden Musharraf terbaru (2006), adalah buku yang cukup kontroversial untuk dekade akhir ini. Banyak hal yang ia paparkan dalam buku tersebut, mulai dari perbaikan ekonomi Pakistan, pemulihan demokratisasi, pengentasan kemiskinan, peningkatan taraf pendidikan, emansipasi wanita, sampai kepada perang terhadap terorisme.

Dengan langkah-langkah reformasinya ini, seolah ia tengah bermain api, baik kepada kalangan yang memiliki dendam sejarah atasnya, atau kepada kalangan yang "emoh" terhadap ide demokrasi liberal. Kalangan oposisi pemerintah, sampai kalangan fundamentalis pun selalu memberikan catatancatatan kritis terhadap perjalanan rezim Musyharaf ini. Nampaknya ideologi Negara Syariat yang sejak awal dirancang, tengah menhadapi ujian, khususnya di saat negara-negara Barat menemukan momentumnya dalam setting perang melawan terorisme.

Maka tak heran jika sekarang mulai muncul kembali wacana, bahwa benarkah Pakistan lahir atas dasar kepentingan mendirikan Negara Islam, ataukah sebatas membela kepentingan pemeluk Islam dari ketertindasan bangsa India saja. Entah akan ke mana akhir dari firksi ini akan bermuara, yang jelas bola api itu masih terus bergulir sampai saat ini.

Firman Arifandi

Tulisan ini adalah revisi dari tulisan berjudul 'Menimba Ilmu di Pakistan' (2006) oleh Muladi Mughni

Rubrik ini bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement