Jumat 16 May 2014 15:47 WIB

Kisah Karidi dan Relawan di Jalur Gaza (1)

Karidi memasang instalasi listrik di Gaza
Foto: Istimewa
Karidi memasang instalasi listrik di Gaza

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Tidak terpikir sebelumnya, menjadi relawan di medan perang, Jalur Gaza, yang selama bertahun-tahun dalam blokade Zionis Israel. Blokade darat, laut dan udara. Jangankan untuk membangun klinik atau posko kesehatan, untuk mendatangkan keperluan pokok harian saja, mesti harus melalui terowongan -- yang semakin banyak ditutup oleh Mesir. Jalur lain melalui perbatasan Rafah, yang juga buka-tutup tidak menentu oleh pihak keamanan Mesir.

Begitulah, tanpa terasa, saya pun diberangkatkan pada 21 Oktober 2012, sebagai relawan (unpaid volunteers), oleh MER-C (Medical Emergency  Rescue Committee), sebuah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak di bidang kegawatdaruratan medis .

Kemampuan saya dipilih di bidang Mecanical Electric (ME), dengan izin Allah mengantarkan saya berziarah ke bumi para Nabi, Jalur Gaza. Walaupun, terus terang nol besar dalam komunikasi bahasa Arab. Ya, memang dari lingkungan pesantren. Tetapi ya, sebagai tukang, yang hanya mampu beberapa ucapan bahasa Arab yang umum-umum saja, seperti bismillah, assalamu’alaikum, kayfa haal, innaa lillaah...

Menginjakkan kaki di kampung Bayt Lahiya, Gaza Utara, Palestina, saya bersama relawan Indonesia lainnya, pun mulai bekerja (amal sholih) melanjutkan pembangunan Rumah Sakit (RS) Indonesia. Terutama sesuai bidang saya, masang-masang alat-alat listrik, urusan kabel-kabel, lampu, ac, dan sejenisnya.

RS Indonesia berdiri di atas lahan 16.261m2 waqaf pemerintah Palestina, dinamakan RS Indonesia, menurut yang saya dengar dari Pengurus MER-C, karena memang seluruh dananya berasal dari masyarakat Indonesia.

“Di samping itu juga diharapkan menjadi bukti silaturahim jangka panjang antara rakyat Indonesia dengan rakyat Palestina”, itu kalimat yang saya camkan.

 

Saya, dibantu relawan yang dapat berkomunikasi dalam bahasa Arab, sempatkan jalan-jalan dan bergaul dengan masyarakat sekitar. Sungguh luar biasa sambutan dan penghormatan warga di sana. Keramahannya membuat saya yang harus rela meninggalkan Tina isteri saya, dan keluarga besar saya di Jawa Tengah, serasa mendapat ganti keluarga besar, di bumi yang pernah disinggahi oleh para Nabi dan sahabat-sahabatnya itu.

 

“Menakjubkan, kalian dari negeri yang sangat jauh dari Gaza, datang untuk membangun rumah sakit buat kami,” ujar Abu Muslim, Imam Masjid di daerah Ghalebo, Gaza Utara, tidak jauh dari lokasi RS Indonesia.

 Tak hanya itu, Perdana Menteri Palestina di Jalur Gaza, Ismail Haniyya pun, demi rasa hormatnya terhadap umat Islam Indonesia yang sedang membangun RS Indonesia, menyempatkan hadir berkunjung ke lokasi bangunan pada Juli 2013 lalu.

“Ini bukti kepedulian dan cinta rakyat Indonesia terhadap rakyat Palestina, terutama di Jalur Gaza,” ujar Haniyya di hadapan relawan waktu itu.

Apalagi, menurutnya, artistek Indonesia membuat bentuk bangunan RS Indonesia itu, segi delapan, yang menyerupai segi delapan bentuk Kubah Sakhrah di kompleks Al-Aqsha Palestina.

Saya dan teman-teman relawan, dalam tim pambangunan, yang ketika di Indonesia bekerja sebagai teknisi AC dan listrik, cukup mengalami kesulitan untuk mendapatkan beberapa bahan elektrik yang tidak biasa dipakai seperti di Indonesia. Walaupun kemudian bisa juga. Kesulitan lainnya, kita sangat tergantung dari donasi masyarakat. Di samping itu, beberapa bahan listrik ternyata juga sulit didapat. Kita mesti order dulu, dan itu perlu waktu cukup lama. Jadi, pekerjaan jadi tertunda waktunya.

Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, adalah tatkala Zionis Israel menggempur sepanjang Jalur Gaza pada November 2013. Pesawat menderu-deru di angkasa, bom berjatuhan di mana-mana.Kami sempat panik, karena belum terbiasa mendengar dentuman bom di atas kepala kita. Apalagi beberapa kaca RS Indonesia sempat pecah berantakan oleh getaran bom yang jatuh tidak jauh dari lokasi RS.

Tetapi setelah ditenangkan warga setempat, bahwa hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Akhirnya terbiasa juga. Anggaplah itu petasan mainan.“Kami pun tetap bekerja, terutama di ruang dalam, seperti pemasangan lantai, kabel-kabel dalam ruangan, dan sebagainya”.

Namun, apapun risiko yang terjadi, saya merasa bahwa apa yang saya lakukan dan teman-teman relawan lainnya, dalam ikut serta membangun RS Indonesia di Gaza, adalah bagian dari amal shaleh kami. Kami ingin ini menjadi bukti sejarah ikatan perjuangan Palestina-Indonesia secara keseluruhan.

“Ini Insya Allah akan saya jadikan sebagai amal shaleh bagi saya sendiri dan keluarga saya. Saya sangat bersyukur dengan menjadi relawan ini”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement