Rabu 14 Dec 2016 19:49 WIB

CLC Purbalingga Putar Dokumenter Latar ’65 di Hari HAM Internasional

Suasana pemutaran Luka di Tanah Merah oleh komunitas CLC Purbalingga
Foto: CLC Purbalingga
Suasana pemutaran Luka di Tanah Merah oleh komunitas CLC Purbalingga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas CLC Purbalingga memutar film dokumenter "Luka di Tanah Merah" besutan sutradara Bowo Leksono dalam program pemutaran reguler, Senin (12/12) malam lalu.  

“Terus terang, kami tidak pernah diajari sejarah seperti ini di sekolah. Sejarah Indonesia yang kami pelajari selalu terkait dengan tokoh-tokoh heroik. Ternyata ada sejarah kelam yang terjadi paskakemerdekaan dan pengaruhnya hingga saat ini,” ungkap Sekar Fazhari, pelajar SMA Negeri Bukateja Purbalingga, saat diskusi usai pemutaran perdana film dokumenter “Luka di Tanah Merah”.

 

Film yang diproduksi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Purwokerto, CLC Purbalingga, dan Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap ini bersanding dengan dengan film bertema serupa asal Bali “Masean’s Messages” yang disutradarai Dwitra J. Ariana yang juga hadir dalam program pemutaran tersebut.

 

Produser eksekutif film “Luka di Tanah Merah” yang juga Ketua AJI Kota Purwokerto Aris Andrianto mengatakan, konflik tanah seluas 12 ribu hektar yang melibatkan sekitar 17 ribu kepala keluarga di Cilacap Barat sudah berlangsung puluhan tahun.

“Ada kaitan sangat erat antara perampasan tanah rakyat oleh Negara dengan peristiwa pemberontakan yang sering distigmakan pada rakyat,” jelasnya.

 

Menurut Bowo Leksono, film berdurasi 20 menit ini sebenarnya belum mampu merangkum persoalan hingga dalam.

“Terlalu kompleks persoalan tanah yang ditanggung ribuan warga. Namun setidaknya, lewat film mengabarkan pada khalayak bagaimana perjuangan petani di wilayah Cilacap Barat yang kerap mendapatkan stigma PKI,” ungkapnya.

 

Sementara Dwitra J. Ariana merasa lega bertemu dengan apresian di Purbalingga dengan membawa filmnya yang sempat menjadi nominasi piala citra Festival Film Indonesia (FFI) 2016.

“Film saya berkisah kearifan lokal budaya Bali dalam rekonsiliasi konflik ’65 yang terjadi di satu desa di Bali lewat upacara adat. Dan itu mulai memengaruhi desa-desa lain dengan persoalan sama,” tuturnya.

 

Aris Panji dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) ’65 Kebumen menuturkan bahwa upaya penyelesaian konflik ’65 tidak bisa mengandalkan Negara. “Harus ada inisiatif komunitas warga untuk menyelesaikannya seperti pada film Masean’s Messages,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement