Ahad 02 Oct 2016 12:47 WIB

Festival Petjun, Bangkitkan Romantika Cimanuk di Masa Lalu

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
 Penonton memadati Panggung Terapung tepat di tengah-tengah sungai Cimanuk dalam acara rangkaian Festival Tjimanoek 2016.
Foto: Humas & Protokol Setda Indramayu
Penonton memadati Panggung Terapung tepat di tengah-tengah sungai Cimanuk dalam acara rangkaian Festival Tjimanoek 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, Bunyi gendang yang ditabuh dengan semangat terdengar menghentak dari atas petjun, yang sedang meluncur di perairan sungai Cimanuk, di perbatasan Kecamatan Sindang dan Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Sabtu (1/10). Gendang yang ditabuh berulangkali itu seakan mampu memberi energi lebih bagi para pengayuh dayung petjun untuk secepat mungkin mendayung. Tujuannya hanya satu, yakni agar petjun mereka sampai terlebih dulu di titik finish.

 

Para pengayuh dayung petjun itu merupakan peserta Festival Petjun 2016, yang menjadi bagian dari rangkaian Festival Tjimanoek Hari Jadi Kabupaten Indramayu ke-489. Suara gemuruh gendang yang ditabuh salah seorang peserta, semakin semarak dengan riuh teriakan ratusan warga di bantaran sungai Cimanuk yang menonton acara tersebut.

 

Petjun adalah perahu tradisional masyarakat Indramayu di masa silam. Perahu kecil yang hanya bisa diduduki oleh sekitar enam orang secara vertikal/memanjang itu dulu biasa digunakan sebagai alat transportasi masyarakat. Petjun-petjun yang dinaiki warga biasa memenuhi Sungai Cimanuk, yang alirannya menghubungkan berbagai daerah di Indramayu.

 

Apalagi, di masa penjajahan Belanda, Sungai Cimanuk yang membelah wilayah Indramayu Kota itu menjadi salah satu pelabuhan besar di nusantara. Kapal-kapal dagang, termasuk dari negeri Tiongkok dan Eropa, datang dan berlabuh di pelabuhan tersebut.

 

Masyarakat setempat pun rutin mengadakan Festival Petjun di sungai Cimanuk. Biasanya, acara tersebut untuk menyemarakkan pesta rakyat yang sedang berlangsung kala itu. Festival tersebut pun terus bertahan hingga era 1970-an.

 

Namun, memasuki era 1980-an, Sungai Cimanuk yang semula membelah Kota Indramayu, ‘’dimatikan’’ alirannya dan dialihkan ke daerah Bangkir, Kabupaten Indramayu, utnuk selanjutnya menuju laut. Hal itu dikarenakan Cimanuk kerap menjadi penyebab banjir di wilayah Indramayu Kota saat musim hujan. Seiring dengan peristiwa itu, Festival Petjun yang telah dimulai sejak ratusan tahun lalu juga ikut berakhir.

 

Kini, Pemkab Indramayu berupaya menghidupkan kembali festival petjun yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indramayu. Festival petjun menjadi salah satu bagian dari Festival Tjimanoek dalm rangka Hari Jadi Kabupaten Indramayu ke-489 Tahun.

 

‘’Festival petjun baru diadakan lagi pada tahun ini dan akan menjadi agenda rutin setiap kali Festival Tjimanoek digelar,’’ ujar Sekretaris Festival Tjimanoek, yang juga Kabag Humas dan Protokol Setda Indramayu, Wawan Idris.

 

Wawan menjelaskan, dalam Festival Petjun 2016, para pesertanya terdiri dari perwakilan seluruh OPD dan kecamatan di Kabupaten Indramayu. Ditambah lagi, para juragan kapal yang ada di Indramayu juga turut mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti lomba tersebut.

 

Festival Petjun dan Festival Tjimanoek memang sengaja digelar untuk membangkitkan kembali jejak kebesaran Sungai Cimanuk yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar. Sungai yang berhulu di Garut dan melewati Sumedang, Majalengka dan berakhir di hilir Indramayu itu memang memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat.

 

Ketua Indramayu Historial Foundation, Nang Sadewo, mengungkapkan, kebesaran pelabuhan Cimanuk yang dulu dikenal dengan nama bandar Cimanuk terjadi sekitar era 1513 sampai sebelum 1772. Hal itu ditandai dengan kedatangan kapal-kapal asing, baik dari Tiongkok maupun bangsa-bangsa Eropa untuk berdagang. Fakta tersebut didasarkan pada catatan naskah kuno, di antaranya naskah Mayahan dan Babad Bagelen.

 

Kebesaran Bandar Cimanuk juga ada dalam catatan seorang pengelana Portugis, Tome Pires. Selain itu, gambaran mengenai keramaian Bandar Cimanuk juga tertuang dalam dokumentasi visual, litografi (lukisan pinsil) karya Johanes seniman Belanda, buku-buku maupun naskah berbahasa Belanda, yang semuanya tersimpan di Leiden University.

 

‘’Kebesaran Bandar Cimanuk berakhir pada 1772 karena fungsinya yang beralih bukan untuk transportasi dagang, melainkan untuk mengakomodasi bahan atau kepentingan pertempuran di era Mataram,’’ tutur Sadewo.

 

Namun, lanjut Sadewo, Bandar Cimanuk masih berfungsi sebagai pelabuhan kecil hingga 1935-1940-an. Hal itu di antaranya terbukti dengan adanya enam buah patok besi bekas penambat kapal, sisa tonggak tiang bendera Belanda (yang berdiri tahun 1800-an), bangunan bekas pabrik penggilingan beras, bangunan bekas boomzaken (kantor biro maritim dan kepabean), maupun rumah tinggal kepala maskapai kerata api. Kala itu, Bandar Cimanuk memang terhubung dengan rel kereta api untuk memudahkan pengangkutan barang-barang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement