Kamis 22 Sep 2016 14:28 WIB

Mengupas Perlawanan Politik Petani Tembakau

Petani memanen daun tembakau di persawahan desa Mandisari, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (24/8).
Foto: Antara/Anis Efizudin
Petani memanen daun tembakau di persawahan desa Mandisari, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (24/8).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Buku 'Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temangung' ini diangkat dari disertasi Mohamad Sobary. Isinya bercerita tentang perlawanan politik dan puitik petani tembakau Temanggung yang dibuat resah oleh kebijakan pemerintah yang mengancam kelestarian dunia pertanian mereka. Kebijakan tersebut, juga telah membuat masa depan kehidupan petani menjadi pertaruhan di atas meja birokrasi pemerintah yang tak terlatih belajar mendengar suara lain, selain suara mereka sendiri.

Kebijakan tersebut dianggap memiliki cacat bawaan, yang tampak pada aspek legal drafting yang bersifat sepihak. Dengan kata lain, kebijakan itu dibuat sendiri oleh pemerintah tanpa melibatkan petani sebagai bagian dari banyak pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut. Maka petani pun bangkit melawan.

Setelah bertahun-tahun melawan demi mempertahankan hak-hak hidup mereka, pintu perlawanan tertutup rapat dengan diterbitkannya PP No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dengan disahkannya peraturan ini, petani merasa nasib mereka betul-betul terancam. Petani merasa pipi kirinya ditampar keras, dan menjadi frustrasi sesudah perlawanan mereka sejenak mereda. Namun, semangat perlawanan bangkit kembali bersama timbulnya kesadaran bahwa perlawanan lebih penting daripada hasilnya.

Perlawanan mereka itu dapat disebut sebagai panggilan dharma dalam hidup: sesuatu yang tak mungkin dielakkan. Mereka tahu bahwa kebijakan resmi itu tidak akan berhenti pada kebijakan itu sendiri. Diperlukan pelaksanaan, dan dalam pelaksanaan tersebut petani melihat celah-celah terbuka untuk melakukan suatu manuver di lapangan. Bagi petani, perang belum selesai sehingga belum tiba waktunya membuat kalkulasi, adakah mereka kalah atau menang.

Dalam suasana kehidupan yang diliputi gejolak perlawanan itu, kita menemukan perlawanan politik yang diekspresikan dalam ungkapan puitik. Ini bukan sekadar gaya, bukan pula sengaja dipuitik-puitikkan. Ekspresi puitik itu memiliki akar yang panjang di dalam tradisi mereka. Dengan kata lain, pada hakikatnya perlawanan itu merupakan ungkapan kekayaan tradisi yang tumbuh subur dalam kebudayaan mereka. Ekspresi seni tari, bagi mereka, juga medium perlawanan. Di sini jelas, mereka melawan dengan menari.

Ritus-ritus adat mereka mengandung mantra yang juga diungkapkan sebagai corak perlawanan. Ada pula ritus-ritus adat yang diselenggarakan dengan khidmat, yang jelas dimaksudkan pula sebagai ekspresi perlawanan. Mereka juga berkidung di atas panggung kesenian. Maka, mereka pun berkidung sebagai bentuk perlawanan. Begitu pula dalam doa, ketika mereka melakukan ziarah kubur, yang membuat doa mereka memiliki konten dan semangat perlawanan.

Melalui hasil disertasi ini, Sobary menemukan, bahwa perlawanan petani dalam memperjuangkan keadilan dalam kebijakan publik adalah perjuangan lebih substansial dari pelaksanaan demokrasi di negara ini. Perlawanan petani bukan semata kemenangan. Perlawanan petani adalah ajakan dialog bagi semua pihak agar kebijakan publik yang dihasilkan harus menyerap aspirasi publik.

"Dalam rangka meluaskan hasil disertasi, Mohamad Sobary yang telah dicetak dalam bentuk buku inilah kami menyelenggarakan diskusi buku 'Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temangung', Selasa (20/9) di Gedung Indonesia Menggugat, Jl.Perintis Kemerdekaan 5, Kota Bandung," kata ketua panitia bedah buku, Bilven Sandalista dalam keterangannya yang diterima Republika Online.  

Acara di GIM Bandung ini, kata Bilven, merupakan acara pertama dari rangkaian diskusi serupa yang digelar di 5 tempat di 4 kota, yaitu: Jakarta, Bandung, Solo, dan Yogyakarta. Di gedung bersejarah bekas Landraad atau Gedung Pengadilan Negeri Belanda di mana pada tahun 1930 Soekarno membacakan pledoi fenomenal yang berjudul 'Indonesia Menggugat' inilah pihaknya mendiskusikan buku bersama penulisnya, Mohamad Sobary.

Diskusi diawali dengan pertunjukan pantomin dari seniman Yogyakarta, Andy Sri Wahyudi. Sebagai pembahas buku, hadir budayawan Dr Hawe Setiawan mewakili sudut pandang budaya, dan jurnalis senior Haris Jauhari. Dan antropolog muda dari Univervitas Padjadjaran, Dede Mulyanto MPhil yang menjadi moderator dalam diskusi buku ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement