Jumat 26 Aug 2016 11:20 WIB

‘Realitas Masyarakat Indonesia’ dalam Bingkai Pameran Arsitektur

Rep: agus yulianto/ Red: Agus Yulianto
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil akan membuka pameran arsitektur di Bandung. (Republika/Edi Yusuf)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil akan membuka pameran arsitektur di Bandung. (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Untuk pertama kalinya, tiga puluh arsitek terkemuka, akademisi universitas terbaik, komunitas terpilih, pemerintah kota madya terutama, dan seniman ternama, merayakan ketakjuban menjadi Indonesia. Dikemas dalam bingkai pameran, mereka ingin memaparkan realitas masyarakat Indonesia, dengan arsitektur sebagai subyek pengisahannya. Semua itu, dipresentasikan dalam berbagai konteks, mulai dari skala mikro hingga makro; pemikiran kiri maupun kanan; oleh pemerintah maupun swasta; dalam rentang waktu masa lalu, masa kini, dan masa depan.

“Berikhtiar mengisahkan ‘apa-adanya’ proses masyarakat Indonesia dalam mengelola konflik dan potensi ruang urbannya, atau dalam berbudaya sehari-hari. Indonesialand mempresentasikan arsitektur sebagai sistem poleksosbudhankam di sebuah negeri bernama Indonesia,” kata kurator pameran, Sarah MA Ginting.

Sarah MA Ginting menamatkan pendidikan S1–Arsitektur dari Universitas Katolik Parahyangan, dan S2 – dengan bidang keahlian Advanced Architectural Design dari The Bartlett School of Architecture, UCL, London, di bawah bimbingan langsung Peter Cook, prinsipal Archigram – kelompok arsitek penggagas arsitektur eksperimental, fondasi arsitektur kontemporer abad 21.

Arsitek praktisi pendiri biro SAGI-Architects yang telah memenangkan beberapa penghargaan bidang seni desain, baik nasional maupun internasional. Salah satu di antara karyanya yaitu ‘Gang Sesama’ dikenal sebagai penggagas rancangan ruang ramah anak pertama, untuk permukiman padat di perkotaan Indonesia, dan telah dijadikan prototipe di berbagai tempat di tanah air.

Dikatakang Ginting, bila biasanya pameran arsitektur hanya menyajikan maket ataupun miniatur bangunan dalam komodifikasi lahan, maka berbeda dengan itu, pameran Indonesialand hadir untuk ‘mempolitisasi estetika arsitektur dalam mengisahkan masyarakat berasitektur’ (baca: berbudaya) di sebuah negeri bernama Indonesia.

Menurut dia, Indonesialand merupakan agent provocateur yang memelopori bingkai kuratorial terhadap fenomena arsitektur dan arsitektural di Indonesia, dengan turut memperhatikan dimensi negara, warga, dan kapital. Memadukannya dengan mempergunakan kosa kata seni rupa; dari yang vernakular hingga kontemporer—baik secara teoretis, modus, dan dalam realitas praksisnya pada ruang urban, arsitektur ditempatkan dalam proyeksi analog kebudayaan yang berdatumkan estetika dan nilai sosial, sebagai sistem – poleksosbudhankam

Dalamkesempatan itu, kata dia, secara tersurat, publik diundang untuk menyimak sisi lain yang selama ini belum mendapat perhatian luas. Bahwasanya, komposisi keindahan garis per garis arsitektural itu berkelindan dalam rima dan irama–kebudayaan yang mengandung banyak dimensi serta berparameter kompleks, sebagai fondasi masyarakat dalam menyelenggarakan sistem politik pragmatis sehari-hari.

Sementara secara tersirat, Indonesialand memvisualkan sebagi citra jamak sebuah disiplin dengan memetakan bagaimana rancangan garis per garis arsitektural sesungguhnya merupakan ejawantah state of mind ‘raga-berperilaku terhadap jiwa-berpikir’. Atau, potret atas realitas ketatatertiban masyarakat dan aparatur dalam segala hal.

“Makna keindahan diolah melalui gubahan skala proporsi, dengan tak lagi sekedar menjadi keniscayaan abstrak yang relatif sulit diukur. Namun, dijunjung Indonesialand menjadi sebuah kajian yang menelisik wujud saling bertautnya lapisan fungsi, yang kerap kali saling bersinggungan, bahkan berkonflik, pada ruang urban tanah air–perspektif keindahan yang khas dan nyata dalam ruang poleksosbudhankam kebhinnekaan kita,” tutur Ginting.

Dengan kata lain, kata dia, arsitektur adalah wujud keindahan sistematis; dalam etika, norma, konvensi, peraturan, hingga undang-undang dan hukum negara. Pertanyaan yang hendak ‘dideklarasikan’ Indonesialand adalah bagaimanakah sistem dan kuasa ‘dimasyarakatkan’ oleh arsitektur?

Atau, bagaimanakah keindahan ‘rasa’yang intuitif sekaligus subjektif itu, dapat dijadikan objektif  (baca: digariskan per garis dalam gambar rancangan arsitektural) dalam rasionalitas yang berfungsi—mentrilogikan kaidah: firmitas ‘kekokohan,’ utilitas ‘fungsi,’ venustas ‘keindahan’ secara sekaligus dalam penubuhan arsitektur?

Apabila peradaban Barat mengadopsi paham “rasa” sebagaimana yang dimanifesto oleh Alexander G. Baumgarten (1714–1762), dalam bukunya Aesthetica (1750) yang ‘menabularasakan’ keindahan dengan melandaskannya pada kaidah intelektual dalam rasionalitas individual khas Barat, maka Indonesialand berupaya untuk menempatkan nalar keindahan “rasa” arsitektural secara berbeda. “Jika ‘rasa’ dalam budaya Barat dikultuskan dalam pendekatan rasio yang ketat dan obsesif akan ketepatan atas segala hal; apa yang ingin dikedepankan dalam Indonesialand adalah bagaimana kita memiliki dan membahasakan ‘rasa’ dalam parameter-parameter yang disepakati demi tujuan bersama,” ujarnya.

Pertanyaan tersebut dipaparkan gamblang oleh Indonesialand dengan menganalisis ‘keindahan’ dalam perspektif kontemporer: ‘menempatkan kembali arsitektur sebagai pilar kebudayaan dan kenegaraan’. Sebagai sebuah upaya kepeloporan, Indonesialand menjadi pintu masuk proses mencari tahu bagaimana masyarakat—terutama yang urban—berarsitektur dan berbudaya saat ini. “Hal ini yang belum pernah lugas dimanifestasikan dalam lingkup galeri, setidaknya di Indonesia,” ucap Ginting.

Pameran berlangsung pada 2 September - 2 Oktober 2016, di Selasar Sunaryo Art Space,

Jl. Bukit Pakar Timur, No. 100, Bandung. Pembukaan oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil  yang karyanya turut dipamerkan dalam pameran ini, dan arsitek paling senior Indonesia, Mohammad Danisworo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement