Kamis 12 Feb 2015 13:59 WIB

Saung Udjo Produksi Angklung Tiga Tabung

Rep: mj01/ Red: Agus Yulianto
Seorang anak memainkan angklung toel di saung angklung Ujo, Padasuka, Kota Bandung.
Foto: Republika/Septianjar Muharam
Seorang anak memainkan angklung toel di saung angklung Ujo, Padasuka, Kota Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Angklung-angklung berjajar rapi di tiang penyangga. Berurutan dari ukuran paling kecil hingga besar. Ada pula bambu-bambu yang tengah diserut sedemikian rupa oleh pengrajin. Gunanya, untuk menyesuaikan suara angklung dengan saron kecil.

Sementara, beberapa pekerja sibuk mengangkut tumpukan angklung yang sudah dijemur di halaman Saung Angklung Udjo, Bandung. Ada hal berbeda dari angklung-angklung di sana. Namun, semua produksi angklung jenis baru ini, bisa dapat menimbulkan sensasi musik dari bamboo yang kian inovatif.

Yang pertama adalah, biasanya angklung terdiri dari dua buah tabung bambu. Namun, kali ini, angklung terdiri dari tiga buah tabung bambu. “Ini memang angklung model baru di Saung Udjo," ujar penasihat produksi Saung Angklung Udjo, Nano Sutrisno, Kamis (12/2).

Dia mengatakan, kelebihan dari angklung bertabung tiga ini adalah suaranya lebih nyaring dan tekanannya lebih tegas. “Jadi, seolah ada dua angklung yang dimainkan. Padahal, cuma satu angklung,” paparnya.

Angklung ini sudah dibuat sejak awal 2015. Nono mengakui, pembuatan angklung dengan tiga tabung tersebut menyita waktu lebih lama dibandingkan dua tabung. Untuk satu set angklung jenis ini, kata dia, bisa menghabiskan waktu sampai tiga hari. Satu set terdiri dari 13 angklung.

Selain dari jumlah tabung, model angklung pun dilakukan beberapa perubahan. Sekarang, pada angklung baru itu tidak ada ujung bambu di atasnya. “Semua diratakan agar lebih aman dimainkan oleh anak-anak,” katanya.

Saung Udjo juga memiliki angklung yang unik, bernama angklung toel. Menurut Nano, toel dalam bahasa Sunda berarti sentuh. Jadi, angklung ini bukan dipegang dan digerakkan dengan tangan. “Hanya dengan disentuh seperti piano, angklung sudah bisa berbunyi,” ucapnya.

Angklung toel ini sering dipesan oleh turis mancanegara, seperti Korea dan Jepang. Alasannya, menurut Nano, para turis bila bermain angklung, mereka ingin mukanya terlihat juga.

“Sedangkan kalau pakai angklung biasa kan menghalangi wajah. Jadi dibuatlah angklung toel ini,” ujar Nano.

Nono menjelaskan, di Saung Udjo ini, selain terdapat pembuatan angklung, ada pula proses penentuan nada menggunakan alat pencocok nada (chunin). Jadi,  kata dia, setelah angklung dibuat, di tempat inilah nada angklung kembali diatur dan disesuaikan sehingga menghasilkan bunyi yang diinginkan.

Menurut salah satu pengrajin angklung di Saung Udjo, Ahmad Rosidi, dalam penentuan nada angklung, pembuat angklung tidak hanya mengandalkan dengan alat chunin. Namun, yang harus dimiliki juga adalah kepekaan terhadap nada angklung.

“Terkadang mengatur nada dengan chunin itu tidak pas. Sehingga selain pendengaran, kita juga harus memiliki kepekaan rasa,” ujar Ahmad.

Pria yang sudah menggeluti dunia angklung selama 39 tahun ini mengatakan, angklung itu memiliki rasa seperti manusia. Ia pun membuat simulasi. Salah satu pengunjung memegang sebuah bambu bernada G. Kemudian Ahmad mengambil bambu bernada E, lantas diketuk. "Tak ada getarannya kan?," ucapnya.

Namun, kala dia mengambil bambu yang bernada G, lalu diketuknya, maka bambu bernada G yang dipegang oleh pengunjung pun bergetar. “Nah, seperti itulah kepekaan rasa terhadap nada. Seperti manusia, jika memiliki rasa yang sama, maka akan ada muncul getaran tersendiri,” ujarnya sembari tertawa.

Selain itu, tak sembarang bambu yang digunakan untuk menghasilkan angklung yang bagus. Menurut pria berkacamata ini, ada beberapa kriteria yang harus dimiliki bambu agar bisa dijadikan angklung.

Di antaranya, bambu harus berusia lima tahun, tumbuh di pegunungan dekat pantai, tidak terlalu keras, tidak besar, dan cepat kering. “Biasanya, kami memperoleh bambu tersebut di Sukabumi selatan," katanya. Setelah itu, bambu dikeringkan selama enam bulan.

Saat ini, Ahmad mengatakan, angklung sudah menjadi alat musik tradisional yang elit. Sebab, angklung sering ditampilkan pada acara resmi di istana, hotel bintang lima, dan kerajaan.

Namun, hal yang disayangkan Ahmad adalah banyak generasi muda yang lebih ingin menjadi pemain angklung dibandingkan menjadi pembuat angklung. “Padahal, pembuat angklung itu bisa lah dihitung jari," kata pria berusia 62 tahun itu.

Ahmad pun mengatakan, ia bertahan selama 39 tahun menjadi pengrajin angklung karena baginya melestarikan budaya tak semudah apa yang dikatakan orang. “Melestarikan budaya itu bukan hanya memainkan angklung, tapi juga harus tau cara membuatnya,” ungkap pria bertopi flatcap itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement