Selasa 19 Jun 2012 14:14 WIB

Sejumput Kisah dari Diskotek Dangdut

Ilustrasi karya M. Inu Kertapati
Foto: AKAR
Ilustrasi karya M. Inu Kertapati

 

Malam merayapi sunyi pelan-pelan. Jalan-jalan di pinggiran ibukota mulai lapang dari lalu-lalang kendaraan. Hilir-mudik manusia nyaris berhenti. Sebagian besar warga sudah kembali ke tempat peraduannya melewatkan pergantian hari. Ini menjadi titik pemberhentian mereka seraya menyiapkan tenaga untuk bergulat kembali dengan ibukota. Tapi, bagi sebagian orang, kala ini menjadi titik awal pergulatan hidup.

Di sebuah tempat, di Jalan Raya Bogor, pinggiran ibukota, kehidupan baru saja dimulai. Musik berdetak belum lama berselang. Belasan orang tampak menikmati sajian musik hidup yang disediakan pengelola tempat tersebut. Ada yang menikmatinya sambil duduk dengan ditemani pramusaji perempuan, ada juga yang berdiri berdekatan dengan kelompok pemusik seraya bernyanyi dan bergoyang. 

Meski gelap, hanya tertimpa kerlap-kerlip lampu disko, asap rokok terlihat memenuhi ruangan. Awan mungil itu keluar dari mulut para pengunjung dan pramusaji. Sesekali siluet wajah mereka menyeruak tertimpa kerlap-kerlip lampu disko. Tawa riang dan seringai gigi mereka kadang dapat terlihat. Di ruangan itu, kami memilih duduk di sudut yang paling bagus untuk mengamati keadaan sekitar; Sofa kedua dari pojok kanan pintu masuk.

Hujan deras baru saja usai menyiram Depok ketika kami menyandarkan punggung kami di sofa diskotek itu. Seorang pramusaji laki-laki menyambut kami dengan hangat. Ia menyalami kami dan menyapa sampai beberapa kali karena suara musik meredam ujarannya. Usai menyapa, ia pergi sebentar. Bercakap-cakap dengan beberapa pramusaji perempuan. Tak lama berselang, tiga orang pramusaji perempuan datang menghampiri tempat kami duduk.

Dhea, Rara, dan Sinta—ada kemungkinan ini bukan nama sebenarnya—menjadi teman bicara kami di ruangan persegi seluas 15 x 9 meter itu. Di antara teman baru kami itu, Dhea merupakan pramusaji berpostur paling sintal. Seperti Sinta, Dia mengenakan kaos ketat warna hitam dan celana jins pendek. Dia duduk di samping Enrico (redaktur Akar). Di sebelah Rara, ada Sinta yang terlihat paling muda dibandingkan rekannya. Rara memilih duduk agak ke pojok, di samping informan kami. Dia berpenampilan agak beda dengan rekannya. Tanktop hitam menutupi tubuh kurusnya.

Usia mereka berkisar antara 25—30 tahun. Tiap malam, mulai pukul 23.00 sampai 03.30, mereka bekerja menemani tamu diskotek. Tugasnya adalah membuat tamu merasa nyaman dan terhibur dengan suasana diskotek setelah rutinitas menyerbu mereka. Jika keadaan gaduh karena gesekan antar pengunjung, mereka juga harus ikut menenangkan suasana. Tiap malam, kata mereka, keributan antar pengunjung biasa terjadi. 

Percakapan di antara kami mengalir apa adanya. Tiga teman kami itu bercerita kewajiban mereka di dalam diskotek sembari mengisap rokok mentol putih. Rupanya mereka cepat akrab dengan tamu baru, meski kami sempat dicurigai penyelidik rahasia, karena pertanyaan yang kadang menukik perihal pekerjaan mereka. Situasi yang sempat membeku itu segera cair lantaran dedikasi mereka kepada pekerjaannya. Mereka justru merasa tidak enak jika membuat tamu merasa tak nyaman dengan mereka. 

Untuk membuat tamu nyaman, kalau perlu mereka bisa mengajak tamu bergoyang dangdut saat tim pemusik membawakan lagu dangdut. Ini seperti yang dilakukan oleh Rara kepada informan kami. Mula-mula, informan kami menolaknya, tetapi ajakan Rara terlalu kuat. Informan kami bersedia mengadu goyangan dengan Rara diiringi lagu “Keong Racun”.

Musik dangdut menggema di diskotek bukanlah hal aneh. Sejak pamor musik dangdut terangkat, diskotek tak segan lagi menyuguhkan musik tersebut kepada pengunjung. Tentu saja, dangdut yang masuk ke diskotek sudah mengalami poles sana-sini sesuai perkembangan teknologi musik dan diskotek. Ini terjadi di awal dekade 1990. Ketika itu, beberapa diskotek ibukota yang menyuguhkannya antara lain EarthQuake, Stardust, Rotary, dan Klimax. 

Kalau boleh diusut, fenomena dangdut di ruang diskotek mulai bermunculan sejak dekade 1980-an, yakni saat musik disko kerap diputar-putar di tempat hiburan malam. Namun, pada 1990-an, tempat-tempat hiburan malam tersebut, khususnya di perkotaan, semakin menjamur. Kondisi demikian membuat disko dangdut dan diskotek dangdut semakin populer di kalangan pengunjung dan penikmat hiburan malam. Tidak hanya ruang-ruang diskotek yang bertumbuhan, di dunia rekaman pun musik dangdut-disko sukses, antara lain "Pusing Lagi" yang dinyanyikan Anis Marsella dan "Makin Gila" yang dinyanyikan Ati Adiati berhasil meraih tiga penghargaan BASF Award 1992.

Diskotek-diskotek dangdut memiliki pengunjung loyal. Mereka menjadikan diskotek-diskotek dangdut sebagai alternatif hiburan baru atas kegemarannya terhadap musik dangdut. Mereka yang sebelumnya tidak bisa masuk ke diskotek karena warna musik yang tak senada dengan palung jiwa, sejak saat itu mulai bisa merasakan remang-remang diskotek. Hingga memasuki milenium baru, diskotek dangdut terus bermunculan. Bahkan, semakin terdiaspora ke sudut-sudut ibukota.

Bentuk-bentuk diskotek itu beragam. Ada yang mewah, ada yang sederhana. Sesuai dengan segmentasi kelas masyarakat yang dituju. Keragaman juga ditemukan pada penyajian musik dangdutnya. Ada yang menyajikan dangdut sebagai menu utama, ada juga yang menyajikannya sebagai selingan. Selingan di sini dapat bermakna selingan dalam musik dan jasa. 

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa diskotek dangdut juga menyediakan layanan hiburan tambahan selain musik. Sayangnya, sedikit sekali kajian akademis yang mengangkat fenomena ini dibandingkan sangsi moral yang meninju secara membabi-buta.

Di diskotek tempat kami memamah malam, ada aturan yang melarang tegas segala macam bentuk transaksi seksual. Ketiga teman baru kami juga menegaskan hal tersebut. Sinta, teman baru kami yang paling pendiam, mengatakan bahwa dirinya hanya bekerja menemani tamu di diskotek. Meski kerapkali mendapat ajakan keluar diskotek dengan iming-iming bayaran besar, dia tetap menolaknya. Dia merasa risih jika harus berkencan dengan orang asing yang baru dikenalnya.

Rara dan Dhea pun mengamini. Kendatipun tidak selalu menolak ajakan keluar, mereka mengaku selektif dalam memilih. Mereka hanya menerima ajakan orang yang dikenalnya. Dhea, misalnya, pernah berkencan dengan seorang laki-laki pengunjung sampai tujuh tahun lamanya. Sayang, hubungan yang semakin meningkat menjadi kasih-sayang primordial manusia yang melebihi ikatan bisnis itu harus berakhir. Dari hubungan itu, Dhea memiliki seorang anak yang dihidupinya sendiri. Rata-rata pramusaji di diskotek itu berstatus janda dengan satu-dua anak. 

Rara, Dhea, dan Sinta mesti membesarkan anak-anak mereka tanpa kehangatan kekasihnya. Berbekal keahlian berkomunikasi, mereka bertiga mengais rezeki dalam remang-remang pinggiran ibukota. Tekanan batin sering mereka rasakan karena pandangan masyarakat sekitar, bahkan juga karena pengunjung diskotek. Ketiga teman kami itu seringkali mendapatkan rabaan di sekitar organ intim mereka dari pengunjung iseng yang tak mengerti posisi mereka sebagai pramusaji. “Sudah resiko, mas,” kata Sinta. Untuk resiko itu, mereka hanya diberi bagian 10 persen dari total tagihan bir, kacang, dan rokok tiap pengunjung.  

Di diskotek itu, jam terus berdetak meski tak terdengar. Begitu pula dengan letupan protes Rara, Dhea, dan Sinta yang tertelan gemerincing rupiah yang masuk ke diskotek. Penghasilan mereka tiap malam tidak sebanding dengan resiko kehormatan mereka sebagai perempuan dan cap moral masyarakat. 

Diskotek dangdut kadung dianggap sarang transaksi seksual. Pekerjanya tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara kepada moralitas mayoritas. Adanya kajian terhadap diskotek sangat dibutuhkan untuk menghindari penghakiman moral yang tuli dan buta.  

Reporter: Enrico Limbong & Hendaru Tri Hanggoro

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas AKAR

@majalahakar

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement