Selasa 17 Apr 2012 14:49 WIB

Komik Independen: Jalan Pembebasan Melawan Kuasa Modal

Ilustrasi karya M. Insan Pratama
Foto: AKAR
Ilustrasi karya M. Insan Pratama

Alkisah, di akhir 1980-an, komik-komik impor yang diterbitkan penerbit raksasa mampu menguasai pasar dan membuat komik-komik Indonesia tersingkir. Para penerbit raksasa pun dengan keunggulan finansialnya mampu merekayasa selera pasar. Bagaimanakah nasib komik yang terjajah oleh sepak terjang kuasa modal ini? Yuk, kita telusuri!

Industri dalam komik, selain mengejar pasar juga memperhitungkan kontinuitas produk. Tokohnya terus dihidupkan hingga tidak hanya berlaga dalam adegan sebuah komik, tapi juga dalam baju tidur, pin, topi, kaos, poster, dan lain-lain.

Untuk menciptakan semua itu, diperlukan sebuah tim gabungan dari spesifikasi-spesifikasi yang menangani riset, kreatif, dan pemasaran. Cara Industri ini akan bertemu lagi dengan instrumen industri lain seperti penerbit.

Penerbitan sebagai bidang usaha, akan menyusun pula perhitungan-perhitungan untung rugi dengan sistem royalti, pembelian hak cipta, atau kontrak jumlah produksi per tahun. Di Indonesia, keterlibatan penerbit pada proses kreatif komikus sangat dominan. Salah satu contohnya, ketika Hans Jaladara, seorang komikus profesional terkemuka Indonesia, menggambar ulang Panji Tengkorak pada 1996 dengan mengadopsi sepenuhnya gaya komik Jepang karena tekanan penerbit.

Jalan pintas karya idealis

Kerumitan dalam sistem industri komik ini merupakan kesulitan bagi sebagian komikus Indonesia, yang akhirnya memilih untuk bekerja secara independen. Banyak pula di antara para komikus Indonesia tidak ingin kreasinya dikendalikan oleh penerbit, sehingga dipaksa harus mengikuti selera pasar seperti yang dialami oleh Hans Jaladara. 

Di akhir dekade 1990-an, komunitas komik independen mulai bermunculan terutama di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Core Comic dan Apotik Komik yang dipelopori mahasiswa Institut Seni Indonesia di Yogyakarya menginspirasi tumbuhnya komik-komik independen serupa yang terbit dalam bentuk fotokopian.

Pada masa inilah komik-komik independen mulai bergairah, muncul banyak komunitas komik seperti Daging Tumbuh, Jagoan Komik, Red Army, Pure Black Komik, Petak Umpet Komik, KiriKomik, Aliansi Komik Independen, Tribe Comic Studio. Selain diproduksi oleh komunitas-komunitas komik, ada juga komikus seperti Athonk, Bambang Toko, Beng Rahardian, Didoth, Iwank, Oyas & Iput, Mail, Pras, dan Tita Larasati yang membuat komik independen secara individu.

Ada komikus independen yang membuat komik dengan membongkar aturan-aturan yang biasa terdapat dalam sebuah komik normal. Mereka ingin melakukan upaya pembebebasan, supaya bisa menyalurkan aspirasinya tanpa halangan serta syarat-syarat tertentu. Tanpa pretensi apa pun, mereka menggambar apa saja dan karena menggunakan idiom-idiom komik (meski mungkin sangat minimalis), mereka mengibarkan kemerdekaan berkomik.

Para pembaca mau suka atau tidak, mereka tidak ambil pusing. Komik yang bercorak seperti ini terkesan hancur-hancuran mendekonstruksi aturan baku komik. Core Comic, Pure Black Comic, Daging Tumbuh, dan Apotik Komik adalah beberapa komunitas yang membuat komik independen jenis ini.

Selain itu, ada pula komikus independen yang memperlakukan komik sebagai media untuk menyampaikan ide, ekspresi, atau pendapat mereka kepada masyarakat umum. Dunia komik bukan dunia yang steril dari pengaruh lingkungan di sekitarnya, sehingga komik tidak bisa menutup diri dari situasi sosial, politik, ekonomi atau gerakan besar kebudayaan.

Karena komik hanya media atau perantara, maka aturan-aturan penciptaan komik sebagai bahasa komunikasi tidak bisa diabaikan agar maksud sang komikus dapat tersampaikan. Ide cerita yang diangkat, sebagian besar merupakan respon dari situasi yang terjadi di sekeliling mereka, misalnya krisis ekonomi, kasus korupsi, dan sebagainya.

Mereka tidak menolak penerbit besar, tapi juga tak menggantungkan gerak kreativitasnya pada "kemurahan" hati para penerbit. Beberapa komunitas yang membuat komik seperti ini, antara lain Petak Umpet Komik, Kirikomik, Aliansi Komik Independen, Red Army, Tribe Comic Studio. 

Para komikus independen ini, membuat koneksi satu sama lain dan sering tampil bersama-sama dalam ekshibisi, festival, pameran, dan lomba-lomba. Misalnya, dalam pameran komik DI:Y alias Daerah Istimewa: Yourself yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki pada Maret 2007, sebelas komikus independen tampil bersama pada pameran tersebut. Atau, dapat dilihat juga pada Festival Komik Indonesia Satu Dekade yang diadakan akhir Juni 2007, melibatkan sebanyak 35 komunitas komik independen dari berbagai daerah di Indonesia. Komunitas-komunitas komik membuka gerai bambu dan memperkenalkan karya-karya mereka.

Di tengah himpitan komik-komik impor, komik-komik independen ini tetap mampu berjuang dengan memanfaatkan berbagai jalur distribusi. Umumnya, komik-komik independen diperbanyak dengan mesin fotokopi dan media internet, dijual di pameran-pameran, serta hand to hand.

Red Army misalnya, mereka membuat 25-50 fotokopian untuk disebarkan ke distro atau toko buku kecil setiap kali terbit. Selain itu, Red Army juga mendistribusikan komik-komiknya dengan menitipkan lewat pertemanan ke Bali, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya.

Tribe Comic Studio juga memulai perjalanan mereka dari komik fotokopian, sampai kemudian berhasil menerbitkan komik dalam bentuk buku, biasanya lewat penerbit kecil. Ada juga komikus independen yang banyak menampilkan karyanya melalui blog, Tita Larasati contohnya.

Walaupun harus bertahan dengan penuh keterbatasan, beberapa komikus independen berhasil mencapai prestasi-prestasi yang membanggakan. Beberapa karya Petak Umpet Komik, pernah menjadi juara lomba komik nasional (sejak 1994-1998), bahkan telah dicetak oleh Balai Pustaka dan diedarkan secara nasional.

Komik raksasa buatan Petak Umpet Komik (berukuran 2 x 35 meter), pernah meramaikan Benteng Vredeburg (dalam FKY IX) dan Pasar Seni Ancol Jakarta (1997). Kirikomik melambung dengan masterpiece-nya Ayam Majapahit. Komikus Athonk, yang bernama asli Sapto Raharjo, telah melahirkan karya seperti dua jilid Bad Times Story, Old Skull Comics Strips, Old Skull in the Garden, dan Strip Jams. Sebagian besar karya komikus kelahiran ini diterbitkan oleh penerbit asing dari Melbourne, Hawaii, dan New Orleans. 

Berjuang dan bersaing

Era 1990-an merupakan masa ketika dunia semakin liberal dan korporasi-korporasi swasta makin berkuasa. Pada kurun waktu inilah, komik Indonesia kalah bersaing dari komik-komik impor yang disokong oleh para penerbit besar di belakangnya. Komik independen di Indonesia lahir sebagai perlawanan terhadap hegemoni penerbit besar yang dengan kekuatan modalnya mampu menguasai pasar komik dan bahkan merekayasa selera publik.

Komik independen terus berkembang seiring dengan semakin majunya teknologi informasi. Jaringan koneksi para komikus independen semakin luas, sehingga mempermudah distribusi. Mereka pun dapat memanfaatkan kecanggihan internet untuk menyebarluaskan karya-karyanya. 

Barangkali, sulit bagi jenis komik independen yang murni dibuat sebagai karya seni untuk dapat merebut hegemoni komik impor. Sebab, komik jenis ini tidak mempertimbangkan logika pasar, tidak peduli pembaca suka atau tidak, dan orientasinya memang bukan profit melainkan sebagai karya seni.

Walaupun demikian, mereka akan tetap memiliki konsumennya sendiri, tetapi sangat terbatas. Sifat-sifat ini dapat dilihat dari Daging Tumbuh, salah satu komunitas komik independen yang memperlakukan komik sebagai murni karya seni.

Daging Tumbuh memang sengaja akan terus menerbitkan komiknya dalam bentuk fotokopian dan tidak akan mencetak setiap edisinya lebih dari 200 eksemplar, walaupun setiap edisinya selalu habis terjual. Bagi mereka, ini sebuah permainan untuk menjungkirbalikkan sistem. Persoalan hak cipta, logika pasar, bahasa baku, semuanya diobrak-abrik tanpa beban. Komik independen sebagai murni karya seni adalah cara tersendiri bagi para seniman komik ini untuk menolak hegemoni sistem.

Adapun bagi komik independen yang memilih jalur independen, hanya sebagai jembatan sosialisasi kepada masyarakat. Dalam jangka panjang, mereka bisa menjadi pesaing komik-komik impor. Karena sasarannya ialah masyarakat luas, maka komik independen jenis ini memperhatikan juga selera atau keinginan pembaca. Beberapa komik independen golongan ini (misalnya Tribe Comic Studio), telah mampu menerbitkan komik melalui penerbit-penerbit kecil dan komik-komiknya dijual di toko-toko buku kecil. Tentu saja, mereka dapat terus berkembang lebih besar.

Michael Agustinus

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas AKAR

@majalahakar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement