Ahad 12 Oct 2014 17:35 WIB
Esai

Haji dan Silaturahim Rantau dan Ranah

Red: operator

Haji adalah prosesi ibadah umat Islam yang dahsyat. Tidak banyak sastrawan yang mengangkatnya dalam karya sastra. Salah satu novel tentang haji adalah karya Gus tf Sakai (2005), yakni Ular Keempat (UK). Novel ini sebenarnya pergulatan batin perjalanan haji tokoh utama, sebagaimana yang ditulis di bagian sampul belakang. Per gulatan itu, pada hakikatnya persoalan hakikat kemanusiaan, politik, ekonomi, dan kebangsaan.Semua disajikan dengan gaya surealisme, tetapi ada juga yang mengatakan realisme magis.

Ada suasana teks satiris di bagian akhir novel ini, suasana bagaimana manusia beragama ter gelincir dengan kemegahan. Pergi berhaji sampai berkali-kali, hanya untuk keegoisan diri, yang pada hakikatnya bertentangan dengan arti ber haji itu sendiri, yakni ibadah. Suasana itu akan menjadi satir dan ironis bila dihubungkan dengan teks sufistik Hasan al-Bashri dengan tukang sol sepatu Sa'id Ibnu Muhafah di Kota Damsyiq.Inilah teks yang tersembunyi, yakni teks spiritual kemanusiaan dan sosialitas yang kuat.

Teks mimpi Hasan al-Bashri tentang tukang sol sepatu dari Kota Damsyiq mendapatkan haji mabrur walau tidak pergi haji. Ketika dia (Hasan al-Bashri) bangun, dia cari tukang sol sepatu itu. Ketika bertemu, tukang sol sepatu itu mau bercerita, bahwa dia tidak ada apa-apanya, selain hanya rela memberikan uang yang dikumpulkan dari rencehan ke rencehan, yang diniatkan untuk berhaji, kepada seorang janda dengan enam orang anaknya yang kelaparan di suatu gubuk.

Tukang sol sepatu itu menceritakan bagaimana didapatinya seorang janda sedang memasak daging yang sangat lezat dan harum sekali. Tetapi janda itu berkata kepada tukang sol sepatu itu, "Daging ini halal untuk kami tapi haram untuk tuan, karena daging ini adalah bangkai keledai .... Bagi kami daging ini adalah halal, karena apabila kami tak memakannya tentulah kami akan mati kelaparan."

Terasa suasana satir dan ironi, bagai sindir an tajam, bila diperhadapkan dengan bagian penutup novel UK (2005:159), "Tanah, lumpur- lempung rendah, begitulah. Haji, teruslah. Lupakan mereka: anak semangmu, tetangga yang papa, para fakir, kaum duafa. Huah-ha-ha ...." Dalam kenyataan, juga banyak ditemukan bagaimana orang berkali-kali naik haji tanpa berpikir betapa sangat perlunya menolong orang miskin, fakir, atau kaum dhuafa (daripada naik haji berkali- kali). Teks haji berkali-kali melupakan teks orang miskin, fakir, dan dhuafa, padahal dua teks itu harus bersinergi, bersilaturahim. Memutuskan dua teks itu adalah memutuskan silaturahim.

Dengan demikian dalam kalangan orang Mus lim, hubungan antarteks adalah sila turahim. Jika Julia Kristeva dan Jaques Derrida menyebutnya intertekstualitas, maka bagi orang-orang Muslim mungkin dapat disebut teori silaturahim, karena setiap sesuatu di alam ini menurut orang Muslim berhubungan; silaturahim.

Hubungan antarteks itu, interkstualitas, atau silaturahim itu, dalam konteks Muslim berpijak pada dua hal, yakni rahmatan lil-alamin, dan hablumminannas wa hablumminnallah; bahwa kamanusiaan manusia itu baru baik, baru jadi manusia, ketika baik hubungan dengan teks alam (jadi rahmat), baik hubungan dengan teks seluruh manusia, baik hubungan dengan Pencipta teks, yakni Allah. Dengan demikian teks dalam ranah kemusliman ada tiga, yakni teks alam semesta, teks manusia, ketiga adanya Pencipta teks (dalam agama Hindu Bali dikenal dengan konsep spiritual Trihitakarana). Akan tetapi pada bagian Pencipta teks inilah yang tidak ada dalam antarteks atau intekstualitas Julia Kristiva dan Derrida.

Bagi Derrida, tidak ada teks di luar teks, artinya semuanya adalah teks, dengan demikian dapat dipahami tidak ada Pencipta teks, bagi Derrida. Dalam prosesi ritual haji, sebenarnya mem pertemukan ketiga teks itu dalam silaturahim.

Kemanusiaan manusia Muslim adalah kemam puan menghadirkan kondisi silaturahim dan mematangkannya dalam diri dengan tempaan yang kuat. Sehingga, kemanusiaan Muslim akan berada dalam tataran manusia yang baik, yakni insan-kamil. Dalam pengertian lain, manusia bukanlah suatu kesunyian teks karena ia dapat memahami ke dalaman jalinan teks yang berkelindan dengan apik.

Pada pihak lain, teks haji dan teks novel itu bersilaturahim, yakni teks perlawanan terhadap penindasan dan penzaliman. Dalam terminologi Muslim, perbuatan penindasan dan penzaliman hanya merupakan epistemologi iblis dan setan, begitu juga penindasan, perusakan, pembakaran, pengeboman, penghalangan untuk kebaikan atas nama agama sekalipun; karena teks Muslim adalah rahmat, bukan laknat.

Sebagaimana tokoh Janir yang terzalimi oleh penguasa, hal itu itu tidak saja Janir, tetapi juga bangsanya (kasus PRRI) serta jamaah haji (kasus jamaah kapal Gamela; tidak boleh naik haji, pulang dari haji harus meminta maaf kepada yang mulia duli pemerintah). Janir sendiri pun terzalimi oleh dirinya sendiri ("metafor ular keempat"). Maka hakikat ibadah haji adalah persoalan perlawanan terhadap usaha penzaliman yang datang dari mana saja, terutama dalam diri sendiri.

Titik teks sila tu rahim merupakan penegakan keadilan kepada teks alam dan teks manusia, inilah titik keseimbangan.

Hubungan teks silaturahim dengan Pencipta teks, baru lancar (ikhlas, khusuk), ketika hu bung an teks silaturahim dengan alam dan ma nusia sudah selesai dengan baik (jika tidak, sesungguhnya ikhlas dan khusuk sulit hadir).

Hubungan teks silaturahim rusak akibat pemu tusan, perusakan, dan penganiayaan terhadap teks alam dan hubungan dengan manusia. Inilah yang menimbulkan gelombang kesedihan, kesakitan, dendam, kesunyian, menimbulkan energi negatif, karena silturahim sudah tidak ada lagi.

Tampaknya, teks haji dalam novel UK, me ru pa kan simbol perlawanan terhadap otoritas kekuasaan yang tidak adil (adil dalam pengertian terminologi Muslim, yakni meletakan sesuatu pada tempatnya; dan yang dikatakan zalim atau menganiaya adalah tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya). Di samping itu, di luar dunia Muslim, yakni dunia yang memandang realitas Muslim adalah bahwa dunia Muslim (cf. teroris), haji (cf. stigma negatif-jahat; oleh berbagai narasi sastra film dan realitas, seperti haji dalam terminologi Pramoedya Ananta Toer), bangsa Minang (stigma bangsa pemberontak) merupakan dunia yang dipinggirkan. Tetapi pada pihak lain, aspek positif dan hakikat kehadirannya merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan dan bagaimana hal itu menyeruak ke dunia internasional.

Simpang Tui, Kuranji, 2014

*) Fadlillah, gelar Malin Sutan, staf pengajar Sastra Indonesia FIB Unand, sedang Studi S-3 Kajian Budaya di Universitas Udayana. Denpasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement