Sabtu 30 Sep 2017 14:11 WIB
Pengkhianatan G30S/PKI

Peristiwa G30S/PKI yang Menyisakan Luka dan Duka

Royen (44) menunjukkan dan menceritakan kejadian G30S/PKI dengan diorama-diorama yang ada Museum A.H. Nasution, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/9).
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
Royen (44) menunjukkan dan menceritakan kejadian G30S/PKI dengan diorama-diorama yang ada Museum A.H. Nasution, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/9).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahma Sulistya, Ronggo Astungkoro

JAKARTA -- Wilayah Kramat, Senen, Jakarta Pusat, memang menyimpan beribu kisah pilu dan mencekam era sebelum reformasi, tidak terkecuali kejadian dalam dua hari yang terasa bengis. Lima petinggi PKI saat itu, dinilai melakukan aksi yang tidak diketahui anggota-anggota PKI lainnya di Indonesia yakni melakukan upaya pemberontakan dan kudeta pada malam 30 September 1965.

Guna mencari tahu Republika.co.id menyusuri Jalan Kramat V, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Tampak beberapa rumah tua yang tak berpenghuni. Jalan itu dulunya merupakan kediaman beberapa para anggota PKI, selain mereka yang tinggal di Rawasari. Waktu itu tepat pukul 12.00 WIB, dan jalan terasa lengang, tak banyak kendaraan hilir mudik.

Tampak dua lelaki yang sudah berambut putih, duduk di saung depan sebuah rumah. Lelaki yang satu sudah terlihat renta dan memegang tongkat, sementara yang lainnya masih bugar hanya rambutnya saja yang berubah memutih. Lelaki yang memegang tongkat, merupakan warga asli Jalan Kramat V dan tidak mau memberikan keterangan apapun soal gedung bekas CC PKI.

Mendengar PKI, seketika mimik wajahnya berubah yang semula ramah menjadi agak gusar dan membuang muka. "Coba datang ke Panti Jompo Waluyo. Itu isinya mantan orang PKI semua," ujar kakek itu saat ditemui Republika.co.id, Sabtu (23/9). Lelaki lainnya, karena masih jelas diajak bicara, akhirnya mengarahkan Republika.co.id ke panti yang dimaksud.

Begitu hendak masuk, Republika.co.id langsung menyapa seorang kakek berusia 78 tahun, yang hendak keluar pagar. Kebetulan sekali dia merupakan mantan anggota PKI, yang pernah merasakan dinginnya di penjara Pulau Buru. Setelah tidak menjadi anggota PKI, pria bernama Tumiso Nitikardjito, dekat dengan sejumlah cendekiawan Islam walau akhirnya ia harus memilih agama Katolik. Salah satunya adalah Gus Dur, yang juga orang yang meresmikan Panti Jompo Waluyo berisi orang-orang mantan PKI yang beragama Katolik.

"Kita tidak bisa bilang lembaga itu beragama. Misalnya, madrasah apakah itu Islam? Bukan. Yang Islam itu orangnya. Indonesia Islam? Bukan. Penduduk Indonesia yang Islam. Sama dengan PKI. Wong di Pulau Buru itu ada tiga orang Al Azhar. Mari kita tes satu-satu soal agama orang-orang PKI," kata Tumiso sedikit menantang.

Ia lalu menceritakan sebelum meletusnya peristiwa G30S/PKI ada tiga kelompok yang berperan yakni PKI, pengikut Sukarno dan tentara. Ia berkata, Sukarno tidak mungkin berhadapan dengan keduanya, akhirnya PKI dan tentara yang berhadapan. Tumiso menuding, dulu tentara dianggap sebagai kelompok rakus.

Tudingan Tumiso terhadap tentara dibantah sejarawan Ridwan Saidi. Ia menyebut justru partai berideologi komunis tersebut yang gencar melakukan teror sejak 1961 hingga akhirnya digulung rakyat. Karena itu, apabila saat ini PKI betul-betul muncul kembali, hanya ada satu kata. "Lawan!" kata Ridwan saat berbincang dengan Republika.co.id di teras rumahnya, Kamis (28/9).

Dengan menggunakan sarung dan kemeja tanpa dikancing, Ridwan merawikan tentang apa saja yang pernah ia alami ketika muda dulu terkait keberadaan PKI. Menurutnya, banyak kebohongan dan fitnah yang PKI lakukan terhadap musuh-musuhnya.

"Awalnya, tahun 1952 mereka direhabilitasi oleh Soekarno setelah pemberontakan Madiun dengan cara para tokoh PKI diterima menghadap ke Istana. Aidit, Lukman, Tan Ling Djie, mereka diterima oleh Bung Karno," kata pria yang akrab disapa Babe itu.

Setelah itu, PKI melakukan persiapan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 1955. Menurut Ridwan yang hidup di zaman PKI masih diperbolehkan, mereka mengerahkan gelandangan pengemis untuk mendukung mereka. Anggota PKI memenuhi Jakarta.

"Penuh Jakarta itu dengan gembel, dan mereka diproses oleh jaringan PKI di kelurahan untuk mendapatkan KTP. Sehingga, hasil Pemilu itu, PKI menduduki posisi keempat untuk pemilihan anggota DPR," ungkap Ridwan.

Pada Pemilu 1955 tersebut, tiga partai di atas PKI adalah PNI, Masyumi, dan NU. Akan tetapi, pada saat pemilihan DPRD, PKI naik menjadi peringkat kedua.

Ridwan menjelaskan, dalam kampanyenya itu, PKI melakukan suatu kebohongan kepada masyarakat. Saat itu, mereka berkata kepada masyarakat, PKI itu singkatan dari Partai Kiai Indonesia. Bahkan, mereka berkampanye menggunakan gambus.

Sejarawan Ridwan Saidi. (Foto: Gumanti Awaliyah/ Republika)

"Kampanye mereka pakai gambus waktu itu. Itu sudah melakukan kebohongan-kebohongan di situ. Kampanyenya juga menyerang pribadi, dulu nggak ada aturannya kan. Dia melempar kebohongan-kebohongan," tutur dia.

Soal fitnah yang paling besar oleh PKI, menurut Ridwan, adalah fitnah yang dialami oleh Buya Hamka, Ghazali Sahlan, dan Dahlari Umar. Mereka bertiga menghadiri acara khitanan di Mauk, Tangerang. Acara khitanan anak dari salah satu tokoh Masyumi di Mauk bernama Ismaun.

"Lantas PKI melaporkan di sana itu diadakan rapat gelap. Padahal menghadiri khitanan. Ditangkap mereka itu dan baru keluar tahun 1966," kata dia.

Kala itu, Ridwan sempat membesuk salah satu tahanan, yaitu Ghazali Sahlan. Saat itu Ridwan diajak oleh anak Ghazali Sahlan setelah mendapatkan surat dari sang bapak. Ridwan pun melihat suratnya langsung dan melihat kondisi Ghazali Sahlan di penjara.

"Ghazali Sahlan mulutnya disetrum. Selama enam bulan dia cuma makan tetesan air pisang ambon saat ditahan oleh PKI, ya kita anggap PKI-lah. Rezim waktu itu kan dikuasai PKI," tutur Ridwan.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement