Selasa 24 Oct 2017 19:11 WIB

Taufiq Ismail Luncurkan Debu di atas Debu di Seoul

Rep: Maman Sudiaman/ Red: Yudha Manggala P Putra
Taufiq Ismail di Korea Selatan.
Foto: Dok pribadi.
Taufiq Ismail di Korea Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Taufiq Ismail meluncurkan kumpulan karyanya yang diterjemahkan dalam Bahasa Korea berjudul Meonji Wiui Meonji atau Debu di atas Debu. Sastrawan berusia 82 tahun ini sempat membacarakan puisinya di depan 100-an mahasiswa Jurusan Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), pinggiran Kota Seoul, Senin (23/10). Bagaikan anak muda, Taufiq masih 'lantang' dan 'menggelegar'.

Meonji Wiui Meonji merupakan penerjemahan puisi-puisi Taufiq Ismail kedalam bahasa asing yang kesekian. Sebelumnya diterjemahkan dalam bahasa Arab, Inggris, Rusia, China, Bosnia, Perancis, Jerman dan Belanda. Saat usia ke 80, sebagian karyanya sudah diterjemahkan dalam 80 bahasa daerah di Indonesia.

Dalam siaran persnya, M Aji Surya dari KBRI Seoul menyebutkan, seorang doktor bernama Lee Yeon dari Hankuk University of Foreign Studies merampungkan penerjemahan karya Taufiq Ismail ke dalam bahasa Korea dalam waktu setahun. Leon adalah pengajar Bahasa Indonesia dan telah menerjemahkan dua karya sastra Indonesia. Program S3 nya diselesaikan di UI dengan judul “Kepriyayian dan Persepektif Wanita dalam Karya NH Dini”.

Bagi Taufiq Ismail, peluncuran di Seoul memiliki makna tersendiri. Inilah buku yang diharapkan dapat menjadi jembatan pemahaman anak-anak bangsa di kedua negara. “Saya senang tentunya. Semoga memberikan kontribusi bagi hubungan kedua bangsa yang lahir hampir bersamaan,” kata dia.

Malam itu, Taufiq menceritakan bagaimana pedihnya peperangan antara anak bangsa di semenanjung Korea yang berakhir perpecahan. Dua juta orang mati tanpa makna alias sia-sia.

Pada tahun 1970, Taufiq bersama beberapa sastrawan berkunjung ke Panmunjom, wilayah perbatasan kedua negara, dan merasakan betapa pedihnya sisa perang. Ia kemudian membuat puisi terpanjangnya yang berjudul “Panmunjom”. Malam itu, ia membacanya dengan cucuran air mata.

“Puisi Panmunjom merupakan puisi terpanjang saya. Waktu itu saya merasakan betapa peperangan telah menghadirkan keperihan dan kesengsaraan. Dan hebatnya, Korsel sekarang sudah bangkit dan menjadi bangsa yang penuh martabat,. Saya akan bikin puisi lagi,” lanutnya.

Saat membacakan puisi “Panmunjom”, para hadirin dan mahasiswa jurusan bahasa indonesia HUFS hanya bisa menundukkan kepala di tengah keheningan kelas yang mewah. Mereka seolah terbawa ke sebuah masa dimana sebagian besar tidak mengetahuinya.

Dubes RI untuk Korsel, Umar Hadi yang hadir dalam peluncuran buku, menyatakan dirinya sangat komit pada peningkatan kerjasama bidang sosial budaya Indonesia-Korsel. Dalam waktu dekat diharapkan akan berdiri “Indonesian Centre” di beberapa Universitas. “Saya berterima kasih kepada Bapak Dubes atas kesediaannya terlibat dalam urusan pendidikan dan budaya. Apalagi akan mengajar di universitas,” kata Prof. Koh, seorang pengajar senior Bahasa dan Sastra Indonesia di HUFS.

Dalam rangkaian acara peluncuran ini hadir Pemred majalah sastra Horizon Jamal D. Rakhman dan kritikus sastra Maman S. Mahayanan, yang pernah mengajar di Universitas Hankuk 2009-2014 dan menerbitkan kumpulan puisi pengalamannya di Korea berjudul Jejak Seoul (2016).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement