Senin 21 Jul 2014 15:30 WIB

Puisi sebagai Bentuk Perjuangan

Red:

Puisi merupakan bentuk kesusastraan tertua yang ada di dunia. Justru sebelum sastra dalam bentuk tulisan panjang atau prosa ada, puisi telah merasuki kebudayaan manusia dalam bentuk mantra. Mantra digunakan peradaban kuno dalam upacara dan ritual keagamaan mereka.

Masyarakat kuno masih merapalkan mantra dengan lagu dan irama yang mendayu-dayu. Mantra adalah bentuk tertua dari munculnya puisi.

Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi nembang, lirik puisi yang dilagukan. Biasanya, nembang didendangkan pada acara-acara sakral dan penting, seperti acara mitoni dan siraman. Selain lirik puisi, nembang juga bisa menggunakan kisah cerita, seperti kisah Raden Panji, Dewi Nawang Wulan, Jaka Tingkir, dan lainnya.

Puisi tidak hanya dilagukan untuk mengisahkan cerita, puisi juga dapat dijadikan dialog pementasan ludruk, ketoprak, drama tradisional Jawa, atau orang Sumatra Barat menyebutnya randai. Isinya yang mengandung petuah, nasihat, dan pesan untuk pendengar.

Perkembangan puisi di Indonesia dimulai dari tanah Sumatra dengan budaya pantunnya. Pantun, dengan empat bait kalimat berima dan terselip makna denotatif di dalamnya, adalah bentuk sederhana dari puisi. Kemudian lahirlah sajak, pantun dengan beberapa bait sekaligus. Muncullah Raja Ali Haji dengan "Gurindam Dua Belas"-nya.

Kemudian di awal abad ke-20, perkembangan sastra Indonesia sudah berkembang pesat dengan pengaruh pendidikan Eropa di Nusantara. Dalam kurun waktu tersebut, banyak bermunculan sastrawan puisi di Indonesia, seperti Amir Hamzah sebagai raja penyair Pujangga Baru, dan ia disebut oleh HB Jassin sebagai Penyair Dewa Irama, atau JE Tatengkeng yang disebut sebagai Penyair Api Nasionalisme.

Tanpa disadari, pada masa sastra "Balai Pustaka" ini lahirlah sebuah karya puisi yang menjadi bagian sejarah bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 melahirkan teks yang dideklamasikan oleh perwakilan pemuda seluruh Indonesia. Teks Sumpah Pemuda inilah yang sejatinya adalah berupa puisi.

"Kita kadang lupa bahwa puisi pernah sangat berperan dalam jalan panjang kemerdekaan Indonesia. Dari sinilah kemudian kami ingin membuat Hari Puisi Indonesia," ujar Asrizal Nur, seorang penyair kawakan Indonesia yang mencetuskan Hari Puisi Indonesia.

Di era kemerdekaan dan masa peralihan kekuasaan, tema yang diambil dalam berpuisi mengalami pergeseran. Masa itu didominasi oleh sajak demonstrasi atau sajak protes, seperti pada 1966. Penyair seperti Taufiq Ismail dan Rendra, membacakan sajak protes mereka di depan para pemuda.

Untuk mengobarkan semangat aktivitas kreatif angkatan '66, mulai muncul fasilitas sastra, seperti majalah Horison (1966), Budaja Djaja (1968), dan dibangunnya Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menjadi pusat kebudayaan.

Kini, puisi sudah berkembang jauh dengan ditandai munculnya istilah puisi kontemporer. Lahirlah penyair-penyair modern seperti Ahmadun Yosi Herfanda, Sapardi Djoko Darmono, Rida K Liamsi, dan masih banyak lagi dengan karya populernya.

Setelah puluhan tahun tanpa apresiasi, Indonesia kini telah memiliki hari puisi, dan kini memasuki tahun kedua setelah dideklarasikan oleh 40 penyair seluruh Indonesia pada 22 November 2012 di Pekanbaru, Riau. "Kami ingin agar masyarakat dekat dengan puisi. Karena melalui puisi, sebuah kritik sosial bisa disampaikan dengan halus dan sebagai bentuk perjuangan," ujar Asrizal Nur.rep: c85 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement