Ahad 26 Feb 2017 09:20 WIB

Pertemuan di Taman Hening

Ilustrasi KDRT
Foto:

Beberapa hari ini mereka selalu berjumpa di taman itu. Taman rahasia atau taman putih, begitu Sih menyebut taman yang letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggal Kas dan Sih. Di sana memang sepi. Teramat hening malah. Di sana juga putih. Sih sendiri tak mengerti mengapa taman itu seperti bersalju.

Tapi di sana penuh pepohonan dan bunga-bunga sebagaimana seluruh taman di dunia ini. Kupu-kupu, burung-burung kecil melayang-layang. Beberapa di antaranya hinggap di ranting pohon yang coklat atau hijau pekat. Mereka menatap Sih dan lelaki itu seakan mau tahu apa yang mereka perbincangkan dan lakukan di taman hening itu. Ada yang berdesir. Angin rindu di hati Sri. Dan ia menikmati kerinduannya pada lelaki itu.

Sebelumnya selain kepada Gusti Allah, Sih hanya mau bercerita pada bunga, serangga dan burung-burung kecil di sana. Lalu lelaki itu hadir. Ah, ia rindu untuk menimang bayi. Banyak atau satu pun tak apa. Sih terkesiap saat menyadari boleh jadi Kas berpaling karena kerinduan yang mendesak terhadap kehadiran seorang anak. Seorang anak yang hingga kini belum mampu diberikannya.

"Seorang perempuan dihargai karena banyak hal yang membuatnya hadir secara berarti dalam sebuah pentas bernama kehidupan, Sih. Ketiadaan seorang anak tak lantas membuatmu menjadi tak berarti," kata lelaki itu padanya.

Sih memandang lelaki itu dan menikmati setiap ucapannya yang semilir. Ah, andai saja Kas yang berucap demikian. Bukankah Kas dulu pernah mengatakan hal yang hampir mirip?

"Sih...," tangan lelaki itu menyentuh. Sih ingin menggeser duduknya sedikit, tapi ia tak mampu. Burung-burung bercicit ramai di atas dahan-dahan pohon besar yang menaungi Sih dan lelaki itu. Bangku putih menyaksi. Lelaki itu mencium keningnya.

Aku berkhianat, bisik Sih. Tidak. Ya, aku berkhianat. Aku telah mencintai lelaki itu. Kau memang mencintainya, dia mencintaimu. Suamimu kasar, suka menganiaya. Suamiku selingkuh? Ya, di depan matamu. Jadi, kau dan lelaki itu. Aku dan lelaki itu. Ia seperti Kas. Ia bukan Kas. Ia Kas.

"Aku menulis puisi untukmu, Sih," suara lelaki itu terdengar lagi.

"Puisi?" lirih Sih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement