Ahad 22 Jan 2017 16:30 WIB

Dua Lembar Uang Seratus Ribuan

Karyawan Bank Indonesia memerlihatkan uang kertas pecahan Rp. 100.000 baru (atas) dan lama (bawah) usai launching uang tersebut di Bank Indonesia,Jakarta, Senin (18/8). (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan Bank Indonesia memerlihatkan uang kertas pecahan Rp. 100.000 baru (atas) dan lama (bawah) usai launching uang tersebut di Bank Indonesia,Jakarta, Senin (18/8). (Republika/Prayogi)

Lelaki itu membangun rumah entah untuk siapa. Kalau untuk anak-anaknya kelak, kenapa ia tak sempat menulis sepucuk surat wasiat? Sebelum kematian tiba, dia hanya meninggalkan dua lembar uang seratus ribu rupiah di almari tua, yang penuh debu dan dendam.

Uang itu, secara kebetulan, aku temukan seminggu selepas dia dikebumikan. Aku bergetar, nyaris pingsan dan sampai kini masih terus dihantui pertanyaan; apa salah dan dosaku sampai uang itu tidak sempat ia sentuh untuk membeli obat di saat kematian mau menjemput?

Aku terpaksa pulang hari itu seusai ibu menelpon dan bercerita kalau ayah sakit, terbaring di rumah sakit. Ritmis napasnya mirip gerimis yang turun di suatu senja, murung, dan tak bergemuruh ketika aku tiba di rumah sakit petang itu. Kening ayah yang penuh dengan kerut-marut, tanpa aroma, seperti menguapkan kesedihan tatkala aku mendekat dan duduk di ujung ranjang.

Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku tahu ayah tak punya harapan hidup lagi dan air mataku seketika mau tumpah. Sebuah air mata penantian seorang anak yang pulang disambut dengan kebisuan karena ayah tak sadarkan diri, terbaring seperti patung. Karena itu, ibu sengaja membiarkanku terpaku menatap wajah ayah.

Duduk bersidekap sedih di ujung ranjang ayah yang terbaring koma, kembali mengingatku retak kisah sepanjang malam ketika aku masih remaja dulu. Ia nyaris tak pernah keluar malam sampai aku setengah mati membenci ayah.

Dia nyaris hanya menghabiskan malam, selepas dari mushalla untuk menunaikan shalat jamaah, lalu mendengarkan radio tua, menutup koran usang, lalu beranjak tidur. Hari-hari ayah, selalu berlalu dengan ditemani radio tua yang berderak, koran bekas dan sisa napas yang tersengal di ambang malam saat ia terbangun untuk menunaikan shalat tahajud.

Saat itu aku masih remaja. Tapi aku nyaris tak mampu melupakan malam yang melukai kalbu, sewaktu tuntutanku pada ayah untuk masuk STM tak dipenuhi. Aku kemudian menghabiskan malam-malamku di luar rumah, pulang tengah malam atau menjelang pagi. Aku selalu gemetar mengetuk pintu, karena ibu yang selalu membukakan pintu dan bertanya, "Dari mana saja kamu?"

Aku tak pernah merasa perlu untuk menjawab pertanyaan ibu. Aku kemudian menerabas ke kamarku dan menutup pintu dengan rapat. Malam-malamku selalu berlalu dengan kepulanganku yang menyedihkan. Untung kegelapan membuatku berani menatap langit dan tak lagi sakit-sakitan. Jadi, aku tak lagi takut pada malam dan selepas es em u (SMU), aku memutuskan pergi dari rumah.

Dengan doa ibu, aku kemudian kuliah dan bisa lulus. Dan selepas kuliah, aku kebetulan mendapat pekerjaan yang cukup layak di Jakarta. Tetapi, aku seperti anak hilang yang lupa jalan untuk pulang. Aku baru pulang saat ayah sudah terbaring, setelah hampir dua setengah tahun tak menginjakkan kaki di beranda.

Kepulanganku itu bermuasal dari sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan. Aku tiba-tiba terjerat rasa iba, tepat pada hari aku menerima gajian di bulan pertama kerjaku. Aku lalu mengirimkan uang dua ratus ribu rupiah lewat wesel buat ayah karena aku dengar ayah sudah mulai sakit-sakitan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement