Ahad 22 Jan 2017 15:33 WIB

Ayah

Ayah dan anak. Ilustrasi
Foto:

"Ayahhh...!," Ranu memekik keras di telingaku.

"Ayah punya tidak?," Pangeranku masih asyik dengan jambangku yang kasar, setiap kali tangan mungilnya diusap-usapkan ke daguku, mataku rasanya hendak terpejam saja.

"Besok pagi ya, Sayang, sehabis shalat Subuh, Ayah akan mengenalkan Ranu dengan ayahnya Ayah, kakek Ranu." Mendengar jawabanku, muka Ranu berpendar penuh bahagia.

"Janji!," Jari kelilingnya diulurkan padaku, aku mengaitkan dengan kelingkingku.

"Iya, asal Sayang besok pagi kalau dibangunkan untuk shalat Subuh tidah susah, janji!," Aku ganti mengulurkan kelingkingku, yang langsung disambut dengan penuh semangat olehnya.

"Janji!," Suara keras Mayang dari dapur membuat kami segera bangkit, aroma kolak pisang bikinannya membuat kami berdua semakin cepat bergegas ke meja makan.

Suara Ranu seperti peluru yang ditembakkan berkali-kali, kegirangan karena makanan kesukaannya sudah matang. Dan aku yakin, esok pagi, kalau aku tunjukkan padanya siapa ayahku, dia pasti akan lebih kegirangan.

Benar, besok pagi, ketika ia berkata, Ayah, sinar mataharinya hangat!, maka akan kujawab, Iya, Nak, karena matahari itu adalah 'ayahku, kakekmu'.

 

 

Justto Lasoo

saat ini bekerja sebagai buruh migran di Taiwan. Selain menulis cerpen, ia juga menjadi penulis salah satu majalah berbahasa Indonesia yang terbit di Taiwan. Cerpen Ayah berhasil menjadi juara pertama Bilik Sastra VOI Award 2016 yang diadakan oleh RRI Siaran Luar Negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement