Sabtu 21 Jan 2017 12:10 WIB

Tabungan Orang Kecil

ilustrasi cerpen
ilustrasi cerpen

Sam menimang-nimang patung macan yang tengahnya kopong. Lelaki bertubuh jangkung itu sedang mencoba menaksir jumlah recehan yang ia cemplungkan setiap mendapatkannya dari warung saat belanja.

"Mau diapakan si macan, Mas? Katanya tidak mau membolonginya kalau belum penuh." Suara Marni mengejutkan sang suami yang masih asyik dengan binatang tanahnya.

"Ah, tidak diapa-apakan. Aku cuma iseng kepingin menaksir jumlah isi perutnya."

Marni tersenyum tipis sekilas. Di dadanya mendadak ada rasa perih melintas. Suaminya berjuang keras setiap hari sebagai petugas kebersihan kota. Habis salat Subuh sudah mulai mengayunkan sapu lidi di jalan. Jika ada keramaian, pekerjaan Sam akan bertambah karena limpahan sampah akan membanjiri jalan.

Perlahan Sam meletakkan patung macan duduknya di atas bupet kepala tempat tidur kayu model lama. Ia mundur beberapa jengkal dan dengan hati-hati meletakkan pantatnya di pingir dipan.

Mata Sam berpindah pada kalender yang menempel pada dinding kamar yang catnya sudah pudar. Gambar bunga sakura dengan latar langit biru  ditatapnya lekat-lekat. Namun yang ada di benak lelaki itu bukan Fujiyama, tapi hamparan hijau persawahan di desanya.

Ada ayah dan ibunya yang tua keriput dan bermata lelah di desa. Ibunya tiap hari mengangkut kayu bakar yang dikumpulkannya di hutan pinggir sawah. Punggung ayahnya pun sarat bawaan, rumput untuk makanan kambing.

"Ah! Seperti apa nasib orang tuaku sekarang? Tak ada yang mau mengirim kabar padaku. Mungkin saudara-saudaku juga sibuk atau mungkin marah dan benci padaku, karena lama tak menjenguk ayah dan ibu."

Sam merasa telah menjadi pecundang di perantauan. Ia telah menikahi seorang perempuan dan hingga belasan tahun belum pernah perempuan itu kenal mertuanya. Marni, perempuan Jawa yang nrimo, telah melahirkan dua anak. Dan, kedua itu anaknya pun belum pernah bertemu nenek dan kakeknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement