Sabtu 14 Jan 2017 11:00 WIB

Senja Terakhir di Kairo

Senja Terakhir di Kairo (ilustrasi)
Senja Terakhir di Kairo (ilustrasi)

Semua orang yang kukenal mengingatkanku agar membatalkan keberangkatanku ke Kairo. Suasana Mesir dalam beberapa hari terakhir semakin panas. Para pendukung maupun penentang Presiden Mursi sama-sama unjuk kekuatan di ibukota Mesir itu.

Berita-berita di televisi maupun koran yang aku baca memperlihatkan para penentang presiden pertama  yang  terpilih secara demokratis itu  terkonsentrasi di Lapangan Tahrir, sedangkan para pendukung presiden berkumpul di Rab’ah Al Adawiyah.

Berita-berita itu juga menyebutkan, pihak militer memberikan waktu kepada presiden terpilih untuk mengikuti skenario yang mereka siapkan yang disebut peta jalan (road map) hari ini pada pukul lima sore waktu Mesir. Kalau presiden terpilih tidak mau mundur, pihak militer berlepas tangan atas apa yang terjadi.

Mengapa akhirnya aku memutuskan tetap berangkat ke Kairo,  ada dua alasan. Pertama, memenuhi permintaan panitia Semesta Menulis yang berasal dari Ikatan Jurnalis Masisir (IJMA) untuk memberikan pelatihan dan motivasi kiat menulis fiksi, baik cerita pendek maupun novel bagi para mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir).

Kedua, aku berpikir justru suasana pergolakan politik yang sangat kencang di antara dua kubu ini merupakan latar (setting tempat) yang menarik untuk menulis novel dengan latar belakang revolusi Mesir jilid 2 (Revolusi Mesir jilid 1 adalah tahun 2011 ketika rakyat Mesir menggulingkan Presiden Husni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun). Tentu saja lengkap dengan berbagai pernak-pernik sejarah, budaya dan suasana kota Kairo yang – menurut berbagai referensi yang aku baca – berdebu namun eksotis.

Lagi pula aku tidak sendiri. Ada dua  penulis terkemuka  lainnya – Pipiet dan Sastri – yang juga memutuskan tetap berangkat ke Kairo apa pun yang terjadi (mungkin karena kami sama-sama penulis dan  menyukai tantangan).

Pesawat Qatar Airlines itu mendarat di Cairo International Airport sekitar pukul 04.15, setelah sebelumnya transit di Doha, Qatar, sekitar satu jam. Yang pertama aku lakukan ketika memasuki terminal kedatangan adalah mencoba mengamati keadaan sekitar. Apakah tampak suasana genting atau tidak? Naluriku mengatakan keadaan masih aman, meskipun aku belum tahu apa yang terjadi di luar sana.

Kami  segera membeli visa di salah satu tempat penukaran uang (money changer) seharga 15 dolar AS per visa. Sekitar setengah jam kemudian urusan imigrasi beres, sehingga kami dapat segera mengambil bagasi. Di luar hari masih gelap. Namun panitia sudah menunggu.

"Assalamu’alaikum, Mas Irwan, Bunda Pipiet, Bunda Sastri.  Terima kasih tetap berkenan datang walaupun situasi politik di Mesir sedang panas," kata Ketua Panitia, Ridho. Dia dan anggota panitia lainnya bergantian menyalami kami dan memeluk aku.

Sepanjang jalan kami mengobrol tentang kondisi terkini Mesir.

"Tadi malam militer mengambi alih kekuasaan, dan presiden kabarnya jadi tahanan rumah," kata Ridho.

"Militer melakukan kudeta?" tanyaku.

"Mereka tidak mau menyebutnya begitu."

"Karena itu, kami mohon maaf kepada Mas dan Bunda, terpaksa tidak jadi menginap di hotel. Sebab hotel yang sudah kami siapkan berada di jalur demo di dekat Rab’ah Al Adawiyah."

"Gak masalah. Kita ini penulis. Di mana saja bisa hidup," kata Pipiet.

"Jadi kita menginap di mana?" tanyaku.

"Di rumah seorang tenaga ahli migas asal Indonesia, di daerah Ma’adi. Insya Allah wilayah tersebut cukup aman."

"Bisa dapat penginapan di sana, bagamana ceritanya?" tanya Sastri.

"Pemiliknya, Pak Ilham pulang ke Indonesia bersama keluarga. Selain karena musim libur, juga karena kondisi Mesir yang sedang bergolak. Perusahaan tidak mau ambil risiko, semua tenaga ahlinya diberikan tiket pulang ke negara masing-masing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement