Sabtu 14 Jan 2017 09:00 WIB

Cintaku Lebur di Alexandria

Cintaku Lebur di Alexandria (ilustrasi)
Cintaku Lebur di Alexandria (ilustrasi)

Pesawat Qatar Airways yang membawa Diah Pramesti dari Jakarta akhirnya menukik, menyemburkan dengung di kuping. Sehingga suara-suara di sekitarnya samar-samar dan nyaris tak bermakna. Namun, ada yang bergemuruh dalam dada ini, gumamnya membatin. Tak ubahnya gemuruh massa di lapangan Raba’ah Al Adawiyah, menyuarakan protes keras atas kezaliman dan ketakadilan yang menimpa mereka.

"Jangan datang ke Mesir saat ini, wahai Diah Pramesti. Sungguh akan sangat tidak aman bagi dirimu yang sedang sakit begitu," terngiang kembali suara Ameer melalui ponsel. Kecemasannya terdengar melebihi segala kengerian yang ditimpakan junta militer terhadap dirinya dan pergerakannya.

"Tidak ada waktu lagi, Ameer. Kau tahu, lima dokter ahli yang kukunjungi seolah sepakat telah mengetahui masaku hampir habis," kilah Diah Pramesti gemetar, sesaat terbebas dari dengung bunyi mesin perekam jantung ruangan ICCU.

Berbulan itu, keberadaannya nyaris selalu sendirian. Tiga anak yang telah dewasa dan mandiri semuanya berada di Eropa. Sementara lelaki yang pernah menjadi imamnya telah lama pula pergi, meninggalkannya dalam keadaan sakit. Ia memilih mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri.

"Tinggallah bersama kami, Mama," ajak sulungnya, Salma yang tengah S3 bersama suaminya di Perancis.

"Kami selalu siap menemani hari-hari Mama,” pesan Nadia, putri kedua yang bersuamikan mualaf Belanda. Mereka tinggal di Blaricum, Holland.

"Kapan Mama siap kami jemput?" tanya Qania, si bungsu, tinggal di Inggris bersama suaminya, seorang WNI pebisnis properti.

"Tidak, anak-anak sayang, terima kasih. Mama hanya akan mampir sekali-sekali. Tetapi tetap memilih tinggal di Tanah Air, di sinilah tempat Mama," kilahnya tanpa perlu menyebut alasan lain.

Sejujurnya sebagai seorang seniman Indonesia, Diah tak pernah merasa kerasan berlama-lama tinggal di negeri orang. Demikian yang dirasainya setiap kali dirinya berkelana dengan buku ke berbagai negara. Paling lama ia mampu tinggal selama sebulan di Hong Kong dan Taiwan. Dua negara favoritnya, karena di sanalah dirinya merasa benar-benar dibutuhkan, dihargai dan bermanfaat bagi kaum Buruh Migran Indonesia  (BMI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement