Sabtu 07 Jan 2017 10:37 WIB

Perempuan dan Puisi Tuhan

Perempuan Bercadar
Perempuan Bercadar

Segalanya jadi gelap. Seluruh dinding kamarku terasa menjadi hitam legam. Tiba-tiba saja semuanya menjadi kenyataan yang merampas kebanggaan kecil dan pengabdianku. Berhari lalu hatiku masih membunga, jiwaku masih bersorak tentang suatu kemenangan. Tetapi kini semuanya menjadi kedap.

Tidak! Mungkin saja berita itu tidak benar. Kurasa semuanya seperti karangan, terpapar di depan mata. Semuanya masih membayang, seperti barusan terjadi. Seperti tadi.

Kaki-kakiku yang kecil serasa masih basah di pematang sawah. Hidupku masih mencium aroma padi. Langit menampakkan keluasan yang mengandung puisi Tuhan. Rasanya segala keremajaanku yang mekar di tengah kedamaian desa membuat aku jadi peka pada kesedihan.

Ya, desaku yang sunyi damai dan mengandung kenang-kenangan hidup bagiku memang telah kutinggalkan. Kehidupan keluarga kami tidak memungkinkan aku mendapatkan kemajuan masa depan. Sebagai anak nelayan, ayahku tidak mungkin menyekolahkan kami, aku dan adikku lelaki Lutfirahman, ke tingkat yang lebih tinggi. Syukur aku dapat lulus SD.

Apalagi setelah kematian ayahku, ibu yang mendukung hidup kami, kulihat dan kurasakan pundaknya tidak kuat. Sebagai buruh lepas yang mengerjakan apa saja, ia tak mungkin memberikan biaya hidup yang wajar.

Hatiku teriris pedih. Beginilah kami... anak desa yang jauh terpencil, hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Kepada siapa kami mengadu dan meminta bantuan? Masyarakat dusun sama seperti kami, hidup dalam segala kekurangan.

Keremajaanku yang mekar di tengah segala galau kemiskinan seolah terbangun dari mimpi, karena hadirnya seorang lelaki. Ya, ia cintaku yang pertama. Hatiku berbunga dan bunga itu mekar dengan cepat. Secepat aku dibawa ke kota, untuk mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan! Satu kata yang seakan bertuah dalam pendengaran telingaku. Kubayangkan, jika aku telah mendapatkan pekerjaan, aku akan bisa membantu ibu dan menyekolahkan adikku.

Biarlah aku yang terbelenggu dalam segala kekurangan dan kebodohan, tetapi adikku lelaki, Lutfirahman, harus sekolah. Harus pintar dan kemudian bisa mengangkat hidup kami dari lebuh kemiskinan yang amat sangat dalamnya ini.

Tetapi, jahanam! Segala milikku yang paling berharga dirampas, digerayangi tanpa hati. Itu saat kami tiba di kota, saat kepasrahanku bulat penuh pada kecintaanku. Rupanya dia lelaki bejat, penggaet dan penjual orang bodoh seperti diriku. Begitulah aku akhirnya tercampak di tempat ini, di rumah pelesir: di kamar berlampu redup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement