Ahad 12 Jul 2015 03:00 WIB

Sebelum dan Sesudah Menanak Jaket

Red: M Akbar
Cinta (Ilustrasi)
Foto: ookra
Cinta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Doddi Ahmad Fauji

Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Di suatu kafe, gerimis masih rinyai kekasih

burger dan teh sari melati telah kau pesan

sesungguhnya aku masih seperti yang dulu

alergi aroma kapitalisme dan monopolistiknya

tetapi baiklah, terlambat untuk putar haluan

misalkan presiden tidak jadi beli tank Leopard

misalkan besok kiamat, apa yang akan kau pesan?

“Hatiku masih ungu, dan menolak kendali, dan aku

mencandu suspensi dalam komposisi Tchaikovsky

aku punya tanah cukup luas, cukup untuk membuka

pemakaman umum atau mambangun selusin mushola,”

kata-mu yang terkesiap seringai biola sedari belia

kau membeli lira, tapi menyembunyikannya

bertahun-tahun di dalam almari. Harapan dan

keinginan adakalanya harus ditangguhkan

menunggu detik yang baik, hari yang baik

untuk dihelat, dirayakan

Tidak-kah ingin memasan lapangan sepak-bola

tanpa wasit dan tim soraknya, juga tanpa PSSI-nya?

Aku bicara kepada-mu atau aku membujuk-mu

dalam detak jantung, dalam denyar darah

aku keranjingan melestarikan para pemimpi

seperti-mu. Kau yang terkadang autis

kau yang berniat mewaralabakan cuisine

kau yang suka diserang virus moody

“Itu terlalu naif, karena aku ingin memuseumkan

para pemberontak dari seluruh penjuru angin!”

rencana-mu sungguh menakjubkan

setakjub aku pada rempah-rempah Nusantara

sebab rempah-rempah, sebuah pulau eksotis

ditukar guling dengan kota megapolis

Dua estimasi, dua sugyosha, mengepung kota

kau dan aku, gunung dan lembah

Dua hujan yang nanggung pernah kita masuki

hujan cerminan perangai. Para fundamentalis

kelak diganjar banjir bandang. Dan jaketku kuyup

pertanda apakah. Dan dua kali aku terjerembab

betapa bodoh aku menanak jaket dalam kuali

dan terbakarlah saku kanan-bawah

bagian paling puitis yang ingin kuhiasi

dengan raut Fiedel Castro: sang revolusioner

penganjur setiap rumah dijadikan universitas

ia lunas memupus tuna-aksara hingga akar, juga

mengkadali Amerika dengan cerutu dan jenggot

dan kita berenang di madrasah yang sama

di menara gading pencetak kaum hipokrit

Dua entitas, dua sugyosha, mengepung kota

kau hendak  memusat, aku ingin berbagi

Dan selepas kita tertawa-ria untuk kekonyolanku

pada malam syahdu tanpa dialektika amorfati

selepas menjabarkan sejengkal itikad bila ijazah

sudah diraih, lelaplah kau dalam tidur purbawi

sesungguhnya ijazah tak berguna kecuali bagi

himpunan reptilia. Kita memiliki warna paruh

yang sama, dan tidak gemar melata

sekalipun terkadang melakukan hibernasi

seperti ular sawah, sebab malam itu

kau mengenakan warna lain dari pikiran-mu

Pikiran-mu dalam berpakaian kulekati dengan

sudut mata memicing 30 derajat ke arah tenggara

sebuah danau masih perawan pada seragam

kebangsaan-mu, teduh, tapa, tak terusik oleh

Angin Sundal sekalipun. Aku tidak dibenarkan

menurut kepatutan adat, untuk serampangan

merenanginya. Sekalipun sangat ingin

lalu kau dan bibir-mu juga subuh itu

setelah jaketku terbakar

nampak seperti anak kecil merindukan bon-bon

dalam toples di pasar swalayan. Kau memang

telah beranjak tidur, tidur yang pulas dan tulus

bibir-mu menjelma sarang lebah

merangsang sekaligus mengancam

sampai pada tahap ini, biosfer kita memancar

membangun solidaritas dan soliditasnya sendiri

Dua kutub, dua sugyosha, mengepung kota

kau dari utara, aku dari selatan

Dengan cara apa aku akan terbunuh

seribu perang telah kulalui. Aku masih kokoh

dan merdeka. Tapi kau membuatku sakaw

merancang kemasan untuk membungkus

butiran rempah yang telah kuracik

dalam bentuk ekstraks

rempah yang mencerca gelagat para pendungu

gerutuannya menggelitik galaksi Andromeda

“Aku dia-siakan, padahal Tuhan menciptakan

Parahyangan sambil tersenyum. Aku disia-siakan

dan roda perekonomian kalian jadi sebatangkara,”

sahut rempah di Nusa Maluku

di perbukitan Pangalengan

Bangsa yang menyia-nyiakan selalu kualat

ditulah oleh petuah leluhur

karena lengan tak menggenggam

lidah tak menyangga

menggapai tak sampai-sampai

Sejengkal-sejengkal Tanah Parahyangan jatuh

dianeksasi kaum oligarkhi yang

lebih licin dari belut sawah

dan anak-anak masa depan

hanya pandai meratap

meminta minuman kemasan

yang akan melubangi ginjalnya 15 tahun ke depan

sia-sia Tuhan berbaik hati kepada bangsa pengekor

samar-samar kudengar pekik Cikapungdung Kolot

terkubur dalam buaian bundo kanduang

juga jerit pilu melengking di kesenyapan malam

menguar dari daun-daun binahong, sambung nyawa

pohon-pohon cengkeh yang ditebangi satu per satu

karena harganya di pasaran melorot tajam

setajam kolor ABG yang juga melorot karena diburu

ingin bercinta yang menggebu-gebu di kebun tebu

disaksikan gerombolan lebah dan murka Tuhan

Dua ronin, dua sugyosha, mengepung kota

kau menjelma azan subuh

Dalam tidur-mu kau kembali menjadi bayi mungil

yang menggemaskan dengan senyum pekat

senyum dalam lelap, lelap mimpi menolak jadi

pengikut sampah Korea. “Aku mengagumi Korea,

tentu Korea Utara yang liat dan bengal. Aku muak

tatapanku tertumbuk pada tubuh lelaki metroseksual

yang kemayu kebencong-bencongan seperti aktor

Korea Selatan. Tak perlu me-rebonding rambut-mu

peradaban ini tidak dibangun oleh lengan dan

pikiran yang banci!” Begitulah aku menafsir

senyum simpul-mu dalam lelap tidur, dalam ibadat

yang ditangguhkan menunggu reda hujan

Dua dunia, dua sugyosha, mengepung kota

waktu pasti berpihak

Rambut-mu sedari dulu sepirang jenggot jagung

sungguh mengagumkan bila dikepang dua

ada tahilalat di bawah bibir, jadi titik ordinat

bagi mata yang nanar, namun demikian keseluruhan

paras-mu mirip Ka’bah bagi kaum muslimin

membuatku menemukan kiblat baru yang lebih segar

untuk bersujud. Aku konak bersujud pada tubuh putih

Mongoloid-mu, pada puting merah jambu-mu

Neng Li, aku telah membaca kedalaman sukma

namun tak pernah hatam-hatam, mengerem obsesi

yang masih melaju kencang. Kini aku belajar

mengendalikan diri lewat interupsi-mu

yang menghangatkan jantungku

aku serasa menyesap seduhan jahe merah

pada tiap diksi yang meloncat dari lidah-mu

Kekasih, nasehati aku sepanjang-panjangnya

bila dituliskan cukup untuk menerbitkan

sebuah novel aforisma. Aku berdebar-debar

kembali teringat nasihat lama tentang lima

perkara sebelum lima perkara

Dua kata saling bertaut

membentuk kalimat yang menggugat

Dan aku selalu menggelegak, dan aku selalu yakin

dan aku selalu ceria. Telah kudaur-ulang

kemurunganku jadi berlarik-larik sajak lantang

menghajar pikiran-pikiran puritan

supaya segera bangun marwah bangsa yang inferior

Mari, mari bergandengan memecahkan kepompong

hingga lahirlah bangsa yang kembali belia

dengan orok-oroknya yang hiper-aktif

Sesuatu pada tatapan-mu, dan tersenyumlah untukku

hanya untukku, karena hanya aku lelaki yang paling

tabah membangun museum dan menyambut-mu

setabah rimba menyambut burung pelikan

Ada saatnya burung-burung pelikan hinggap

di pucuk bakau. Musim memanen telah tiba

dengan semangat rasa syukur, aku akan datang

ke hamparan dada-mu sebagai petani yang siap

mengetam buah-buah cinta yang telah matang

kulihat di langit awan-awan berarak membentuk

pulau terpencil yang belum dinamai. Aku ingin

sampai ke sana hanya bersama-mu, sebagai dua

trubador yang terhormat. Aku ingin membacakan

madah cinta di Esplanade, diiringi lantunan biola-mu

kekasih, geseklah dawai hatiku

hingga mengalun nyanyian abadi

Sesungguhnya aku selalu muda dan ceria

bersanding dengan-mu. Sesungguhnya di sebalik

bencana tersimpan berkah. Maka sungguhnya

aku mencintai-mu, sesungguhnya

aku telah mencintai-mu!

Catatan:

•    Sugyosha adalah samurai tidak bertuan yang bertarung untuk membela kebenaran.

•    Ronin adalah samurai tidak bertuan yang pekerjaannya merampok.

•    Trubador adalah pengembara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement